Pinisi

Tahun
2013
Nomor Registrasi
201300052
Domain
Pengetahuan dan Kebiasaan Perilaku Mengenai Alam dan Semesta
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image

Perahu pinisi merupakan jenis perahu tradisional yang merupakan hasil dari teknologi tradisional masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Perahu pinisi mempunyai ciri memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar; tiga buah layar di ujung depan, dua di tengah, dan dua di belakang. Perahu ini memiliki fungsi utama sebagai pengangkut barang antar pulau.

Tidak diketahui secara jelas asal-usul dari nama pinisi, tetapi terdapat dua teori mengenai asal-usul penamaan pinisi. Teori pertama menyatakan bahwa pinisi berasal dari kata Venecia, sebuah kota pelabuhan di Italia. Diduga dari kata venecia inilah kemudian berubah menjadi penisi menurut dialek Konjo yang selanjutnya mengalami proses fonemik menjadi pinisi. Pengambilan nama kota tersebut diperkiran didasari atas kebiasaan orang Bugis Makassar mengabadikan nama tempat terkenal atau mempunyai kesan istimewa kepada benda kesayangannya, termasuk perahu.

Sementara teori kedua berpendapat bahwa nama pinisi berasal dari kata panisi yang memiliki arti sisip.Mappanisi(menyisip) yaitu menyumbat semua persambungan papan, dinding, dan lantai perahu dengan bahan tertentu agar tidak kemasukan air. Dugaan tersebut berdasar pada pendapat yang menyatakan bahwa orang Bugis yang pertama menggunakan perahu pinisi. Lopi dipanisi' (Bugis) artinya perahu yang disisip. Diduga dari kata pinisi mengalami proses fonemik menjadi pinisi.

Untuk bentuk perahu pinisi sendiri diperkirakan merupakan pengembangan dari perahu panjala. Panjala sendiri merupakan perahu yang dipergunakan nelayan untuk menjala (menangkap ikan), namun nama tersebut kemudian menjadi nama jenis perahu. Hubungan antara perahu panjala dengan pinisi terlihat dari bentuk lambung perahu pinisi yang memiliki kesamaan dengan perahu panjala.

Sebelum masuk ke dalam proses pembuatan pinisi, kita terlebih dahulu mengenal sistem menajemen pertukangannya. Hal ini dikarenakan dalam pembuatan perahu diperlukan sekelompok tukang yang tidak sedikit sehingga diharuskan untuk memiliki pola manajemen yang tertata rapi untuk menjaga keharmonisan dalam komunitas tukang. Walaupun struktur ini bukan sesuatu yang resmi, namun ketaatan pada sistem dan struktur kerja tetap dipatuhi. Secara sederhana struktur tersebut terdiri dari punggawa atau panrita (kepala tukang), sawi (tukang) yang terdiri sawi kabusu dan sawi pemula, sambalu (pemilik perahu) dan ledeng yang merupakan dewan musyawarah. Dua unsur terakhir yakni sambalu dan ledeng yang walau tidak terlibat langsung dalam proses pembuatan perahu namun mempunyai andil besar dalam pembuatan perahu tersebut. Pembuatan perahu pinisi sendiri terdari dari tiga tahap, yaitu pengolahan kayu, pembuatan perahu, dan peluncuran perahu. Berikut adalah ketiga tahap proses pembuatan tersebut:

- Pengolahan Kayu

Untuk membuat sebuah perahu pinisi dibutuhkan bahan baku kayu yang diolah dari hutan yang memiliki jenis kayu tertentu. Kayu untuk bahan baku perahu biasanya dipilih yang tidak mudah pecah, kedap air, dan tidak dimakan kutu air (rutusu). Pada umumnya jenis kayu yang sering dipakai adalah jenis Kayu Suryan (Vitoe Cavansus Reinw). Kayu jenis ini merupakan yang paling baik, sebab di samping tahan dan tidak mudah pecah jenis kayu ini juga mudah diperoleh. Selain jenis kayu tersebut juga dipilih Kayu Jati (Tectona Grandis), Ulin (Ensideroxy Lon Zwagerf), Kesambi dan Bayam. Untuk bahan papan, kamar, dan sebagainya dipergunakan Kayu Cokke (sejenis kayu bakau) dan Kayu Cempaga (Petrocarpus Indiculwild).

Selain kualitas dari jenis kayu, kualitas kayu juga dilihat dari umur kayu tersebut. Untuk pembuatan kapal besar misalnya, memerlukan kayu yang berumur sekitar 50 tahun sedangkan untuk pembuatan kapal kecil, kayu yang berumur 25 tahun sudah dianggap memenuhi syarat.

Kayu yang telah dipilih untuk pembuatan perahu itu kemudian dipotong-potong menjadi bentuk balok. Balok-balok tersebut kemudian diangkut ke pinggir sungai atau jalan yang disebut Appaturung. Pengangkutan kayu-kayu ke tempat pembuatan kayu (bantilang) dilakukan dengan menggunakan mobil, tongkang, perahu, atau kapal. Pengangkutan bahan baku ke bantilang biasanya diatur sedemikian rupa dengan mendahulukan komponen yang lebih dahulu dikerjakan.

- Pembuatan Perahu

Hal yang pertama kali dibuat dalam pembuatan perahu adalah pemasangan kalabiseang (lunas). Pada pembuatan perahu tradisional, lunas perahu terdiri dari tiga potong balok dengan ukuran tertentu sesuai dengan kapasitas perahu yang diinginkan. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual tertentu. Lunas tersebut kemudian diperkuat dengan pemasangan papan pangepek serta pemasangan sotting atau linggi.

Setelah pembuatan lunas perahu maka kemudian dibuatlah dinding perahu atau disebut juga dengan badan perahu. Dinding perahu dapat dibedakan atas papan terasa (papan keras atau dasar) dan papan lamma (papan lemah). Papan terasa ialah susunan papan lambung perahu bagian bawah yang selalu terendam air. Oleh karena posisinya itu, maka papan terasa harus terdiri dari jenis kayu yang memenuhi kualitas dan syarat tertentu. Papan lamma atau papan lemah adalah susunan papan dinding perahu bagian atas untuk mengikat papan terasa. Ukurannya jauh lebih panjang dari papan terasa sehingga harus lentur agar mudah dilengkungkan mengikuti bentuk perahu. Papan terasa biasanya terdiri dari sebelas atau tiga belas urat atau susun yang tergantung dari bobot perahu sedangkan papan lamma hanya terdiri dari tiga atau lima susun sesuai bobot perahu. Akan tetapi pinisi dengan ukuran dua ratus ton ke atas biasanya menggunakan papan lamma lebih dari lima lajur tergantung dari lebar papan.

Tahap selanjutnya dalam pembuatan perahu pinisi adalah pemasangan rangka. Rangka pada perahu tradisional hanya sebagai pengukuh atau pengukut dinding perahu. Oleh karena itu pembuatan rangka perahu dilakukan setelah pemasangan dinding perahu. Hal ini berbeda dengan prinsip pembuatan perahu modern yang memasang rangka sebelum membuat dinding perahu.

Rangka perahu terdiri dari dua bagian, kelu dan soloro. Kelu adalah balok yang dipasang melintang pada kiri dan kanan lambung, mirip dengan huruf V. Soloro merupakan bagian yang berada di antara dua kelu, namun dipasang tidak melintang seperti kelu namun ujungnya hanya sampai di pinggir lunas. Balok-balok kelu dan soloro sengaja dipilih dari kayu bengkok alami dan disesuaikan dengan lambung perahu.

Pada tempat tertentu penyambung kelu dan soloro terdapat beberapa batang soloro yang dipasang mencuat ke atas sekitar 40-50 cm melewati papan tarik (pinggir paling atas perahu) yang dinamakan tajuk. Fungsi utama tajuk adalah sebagai tempat mengikatkan tali perahu yang jumlahnya sekitar empat belas buah pada tiap sisi untuk perahu pinisi dengan bobot seratus ton. Pemasangan rangka secara keseluruhan diselesaikan setelah papan lamma dipasang.

Setelah seluruh balok terpasang maka beberapa sawi ditugaskan untuk memasang naga-naga dan bua-buaya. Naga-naga adalah balok khusus yang dipasang membujur searah lunas dari depan dan belakang dan bertumpu pada kelu. Sedangkan fungsi bua-buaya adalah balok yang dipasang di atas kelu mengikuti bentuk muka dan belakang.

Selanjutnya masuk ke pada tahap pembuatan lepe. Lepe adalah lembaran kayu dengan ukuran khusus yang dipasang di atas balok rangka dan berfungsi untuk merangkai/saling menguatkan papasan rangka perahu. Untuk itu diperlukan kayu yang cukup panjang dan lentur dengan lebar yang bervariasi tergantung dari besarnya perahu. Jumlah lajur lepe pada sebuah perahu tidak tetap tergantung dari kapasitas perahu. Sedangkan lajur lepe yang paling atas disebut sebagai lepe kalang, sebab akan berfungsi sebagai sebagai tumpuan balok kalang (dek). Oleh sebab itu lepe kalang dibuat dengan ukuran yang lebih tebal dari lepe biasa.

Dengan lepe kalang, maka balok kalang sudah dapat dipasang. Kalang ialah balok dengan ukuran khusus yang dibentuk agak cembung pada bagian atasnya dan dipasang melintang pada kiri dan kanan perahu. Fungsinya adalah untuk memperkuat dinding perahu dan juga sebagai landasan dari dek perahu. Ujung kalang bertumpu pada lepe kalang dan dikuatkan dengan pasak kayu atau baut.

Setelah pemasangan kalang telah selesai, maka dipasang pula bangkeng salara, yaitu beberapa pasang balok dengan ukuran dan kualitas tertentu, yang akan berfungsi sebagai tumpuan/pondasi tiang utama. Untuk tiang depan terdapat tiga pasang bangkeng salara sedangkan pada tiang belakang hanya terdapat satu pasang. Pemasangan bangkeng salara ini membutuhkan keahlian khusus sebab apabila terjadi kesalahan akan dapat mempengaruhi mobilitas perahu. Ujung paling bawah bangke salara bertumpu pada kelu dan diapit oleh dua balok melintang pada lambung perahu, sedangkan pada bagian atas diapit oleh kalang kemudian diperkuat oleh pallu-pallu.

Pada pemasangan bangkeng salara, beberapa sawi ditugaskan untuk memasang balok pinggiran perahu. Komponen ini dipasang jika balok kalang sudah terpasang seluruhnya. Fungsi balok-balok ini adalah sebagai lis pinggir perahu. Balok-balok dipasang mengikuti bentuk atau lengkunan di pinggir perahu yang bertumpu pada papan tari'dan ujung kalang.

Apabila pemasangan kalang dan balok-balok telah selesai, sebagai sawi ditugaskan untuk memasang papan katabang (lantai dek perahu). Katabang mulai dipasang di pinggir perahu sampai seluruh pemukaan tertutup kecuali pintu. Teknik pemasangan pa pan katabang sama dengan pemasangan terasa, yaitu dirapatkan dengan dan sambungan papan dilapisi agar tidak kemasukan air.

Sesudah pemasangan papan ketabang masih ada tahap pembuatan anjong. Anjong adalah sebatang balok dengan ukuran dan bentuk khusus (bulat) yang dipasang mencuat di bagian depan perahu pinisi. Fungsi anjong ialah sebagai tempat mengikatkan tiga lembar layar depan perahu, selain itu fungsi anjong juga untuk memperindah tampilan perahu pinisi.

Setelah semua pekerjaan telah dilakukan, tahap selanjutnya dalam pembuatan badan perahu sebelum diluncurkan adalah menyumbat seluruh persambungan papan agar tidak kemasukan air. Bagian yang disisip bukan hanya dinding perahu namun juga lantai perahu atau katabang. Setelah seluruh sambungan kayu disumbat selajutnya dipasangi gala-gala yaitu damar yang ditumbuk halus dan dicampur dengan minyak tanah.

Tahap akhir dari pembuatan perahu pinisi adalah allepa. Seluruh permukaan papan terasa ditutup dengan dempul yang dibuat oleh campuran kapur dengan minyak kelapa, kemudian ditumbuk oleh beberapa orang selama beberapa jam.

- Peluncuran Perahu

Peluncuran perahu biasanya dilakukan pada siang hari dengan memilih hari tertentu menurut kebiasaan orang Bugis Makassar. Pada malam hari sebelum peluncuran biasanya diadakan upacara yaitu upacara ammossi' dan appassilli. Beberapa hari sebelum peluncuran dilakukan beberapa persiapan seperti memasang kengkeng jangang di kiri kanan perahu. Kengkeng jangan ialah balok-balok besar dan panjang yang biasanya dipasang agar perahu tidak rebah atau miring saat didorong.

Kegiatan peluncuran ini melibatkan cukup banyak orang dengan biaya yang cukup besar. Untuk mendorong perahu dengan ukuran seratus ton, setidaknya dibutuhkan tenaga manusia Iebnih dari seratus orang. Karena banyaknya orang yang akan membantu, maka pada hari itu pemilik perahu mengadakan pesta dengan memotong kambing atau kerbau. Setelah diluncurkan, maka perahu pinisi tersebut siap untuk mengarungi lautan Nusantara.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047