Jamasan Gong Kyai Pradah

Tahun
2017
Nomor Registrasi
201700531
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

Siraman Kyai Pradah adalah kegiatan memandikan benda pusaka berupa sebuah gong dengan menggunakan air kembang setaman. Dari pencarian informasi oleh Bupati Blitar dan Asisten Kediri pada tahun 1927, mengenai riwayat Kyai Pradah, diperoleh data bahwa sewaktu tentara Demak akan menggempur kerajaan Majapahit, Sunan Kudus mengikuti dari belakang sambil membawa bende (gong) Kyai Macan. Pada saat itu, wilayah sekitar Majapahit masih berupa hutan, sehingga ketika Kyai Macan dipukul, suaranya yang menyerupai harimau menggaum memantul ke segala penjuru. Mendengar suara itu, tentara Majapahit mengira tentara Demak mengerahkan harimau siluman. Banyak di antara mereka ketakutan dan meninggalkan pos penjagaan. Hal itu justru memudahkan tentara Demak masuk ke kota Majapahit dan mendudukinya. Menurut cerita, Sunan Paku Buwono I mempunyai seorang putra dari garwo ampeyan bernama Pangeran Prabu. Sewaktu garwo padmi belum berputra, Pangeran Prabu dijanjikan akan diangkat menjadi raja sebagai pengganti dirinya. Namun, ternyata garwo padmi melahirkan seorang putra laki-laki. Agar tidak menimbulkan perang saudara, Pangeran Prabu diminta pergi ke hutan Lodoyo untuk mendirikan kerajaan. Saat itu, hutan Lodoyo terkenal wingit (menyeramkan), maka Pangeran Prabu diberi gong Kyai Macan sebagai tumbal. Namun karena Pangeran Prabu mengetahui bahwa Sunan Paku Buwono I memiliki niat tidak baik, maka beliau pun kemudian mendirikan pondok dan berpindah-pindah.

Karena seringnya berpindah-pindah maka Pangeran Prabu menitipkan Kyai Macan kepada Nyi Partosoeto dengan pesan agar setiap tanggal 12 Rabiul Awal dan 1 Syawal disiram dengan air kembang setaman dan diborehi (dibalur/dioles). Dikatakan pula bahwa air bekas siraman Kyai Macan dapat dipakai untuk menyembuhkan orang sakit. Setelah Nyi Partosoeto meninggal dunia, Kyai Macan disimpan oleh Ki Rediboyo, lalu tumurun ke Kyai Rediguno, dan tumurun lagi ke Ki Imam Setjo, yang bertempat tinggal di Dukuh Kepek, Ngeni. Ketika disimpan oleh Ki Imam Setjo, terjadi kejadian yang agak ganjil mengenai jiwa penduduk. Setiap ada anak lahir pasti ada orang yang meninggal dunia.

Oleh karena itu kemudian dilaksanakan upacara siraman Kyai Pradah yang dimaksudkan sebagai sarana memohon berkah kepada kekuatan gaib atau roh leluhur yang ada di dalam Kyai Pradah. Mereka percaya bahwa air bekas siraman Kyai Pradah dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan membuat awet muda. Di samping itu saat upacara merupakan saat paling baik untuk membeli alat-alat pertanian karena dengan memakai alat yang dibeli saat upacara akan mendatangkan kesuburan dan tanaman akan terbebas dari hama.

Demikian pula bagi para pedagang. Mereka banyak yang datang dari luar kota Lodoyo untuk ngalap (meminta) berkah. Mereka percaya meskipun pada saat upacara, dagangan tidak banyak terjual, tetapi setelah upacara berakhir, dagangan akan mudah terjual. Jika upacara dilaksanakan tepat pada musim kemarau, siraman ini juga sebagai sarana memohon turun hujan.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2017

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2017

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2017
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2017

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047