Molapi Saronde

Tahun
2013
Nomor Registrasi
201300056
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Gorontalo
Responsive image

Molapi Saronde secara harfiah terdiri dari kata molapi artinya menjatuhkan salentangi (selendang) yilonta (wewangian yang terbuat dari aneka kembang dan dedaunan rempah-rempah yang dicampur dengan minyak kelapa), selanjutnya disebut Saronde. Maksudnya ialah mempersilahkan menari dengan selendang yang harum semerbak kepada calon pengantin laki-laki, dalam acara mopotilantahu (mempertunangkan), sebagai bagian dari tata cara moponika (perkawinan) menurut ketentuan adat Gorontalo.

Rangkaian acara itu (mopotilantahu dan molapi saronde) juga disebut motile huwali (meninjau kamar) dengan maksud memberi kesempatan kepada calon mempelai laki-laki untuk memastikan calon isteri yang akan dinikahi sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Selain itu, calon mempelai laki-laki melalui tarian tersebut berkesempatan meninjau dan memastikan penataan kamar tidur yang dipersiapkan sesuai keinginannya.Tujuannya adalah untuk mewujudkan prosesi perkawinan adat secara ideal sebagai gerbang pencapaian keluarga sejahtera, sakinah mawaddah dan warahmah.

Asal usul sejarah molapi saronde menurut asal histori tak bisa lepas dari masuknya Islam ke Gorontalo (sekitar tahun 1525 M). Bermula dari olongia (raja) Amai yang menjadikan Islam sebagai agama kerajaan, lalu merumuskan prinsip adati hula-hula'a to sara'a, sara'a hula'a lo adati (adat bersendi syarak, syarak bersendi adat). Formulasi itu menimbulkan ketegangan kreatif (Niode, 2007) yang melahirkan butiran-butiran tata peradatan. Secara turun-temurun terdapat 185 butir adat yang terdokumentasi dan diwariskan melalui pemangku adat dan jaringan keluarga. Pada urutan ke-11 tertulis jelas butir adat mopotilantahu (mempertunangkan) dalam adat pernikahan. Molapi saronde adalah bagian dari adat pernikahan yang melekat pada butir mopotilantahu tersebut.

Meskipun demikian, pernyataan tertulis tentang molapi saronde pada era tersebut belum ditemukan. Beberapa kalangan dan pemangku adat berpendapat bahwa molapi saronde adalah konsep yang baru dipraktekkan secara serius di era pemerintahan Eato (1673 M - 1679 M). Pendapat demikian didasarkan atas argumentasi sejarah dan kebudayaan. Secara kultural, pada masa ini ketatanegaraan Kerajaan Gorontalo tegak berdiri mengikuti kerangka demokrasi yang unik. Tacco (1935:80-81) menyebutkan dengan "good ingericht bestuur bezaten'l Sistem ketatanegaraan itu dibangun di atas prinsip adati hula-hula'a to sara'a sara'a hula'a to quru'ani (Adat bersendi syarak, syarak bersendi Qur'an). Detail prinsip tersebut melembaga pada berbagai pranata sosial, termasuk pranata perkawinan, yang didalamnya menginternalisasikan molapi saronde sebagai bagian dari kegiatan mopotilantahu yang diwariskan dari masa pemerintahan Amai.Tentang kuatnya peran pertautan adat dan Islam pada masa transisi pemerintahan kerajaan ke sistem pemerintahan kolonial. Pada masa itu realitas kehidupan masyarakat Gorontalo begitu terikat dengan agama Islam.

Argumentasi sejarah memandang molapi saronde sebagai bagian dari akulturasi kebudayaan Gorontalo dengan kebudayaan Gowa (Sulawesi Selatan). Seperti telah ditulis Bastian (1986) antara kerajaan Hulontolo dengan kerajaan Limutu terjadi perang saudara yang berlangsung lebih dari seratus tahun. Peristiwa itu di Gorontalo disebut lo biyonga (bertindak seperti orang gila). Pada perang tersebut Limutu mendapat bantuan dari Ternate, sedangkan Gorontalo dibantu oleh Gowa. Orang-orang Gowa yang datang ke Gorontalo dapat ditelusuri pada ukiran-ukiran senjata tradisional yang sempat diwarisi oleh perang dikalangan keluarga yang bermukim di bele huangga (gudang senjata), yang sekarang menjadi Bolihuangga (nama kelurahan di Limboto). Mereka datang dan memperkenalkan sejenis tarian yang disebut oleh orang Gorontalo dengan mengutip kata-kata berbahasa Makassar "Saro" (untung), "nte" (kata ini dalam bahasa Gorontalo adalah imbuhan yang berarti menegaskan kata sebelum atau sesudahnya).

Molapi Saronde dilaksanakan pada malam hari "H" pernikahan. Mengikuti prosesi tertentu, molapi sarondedimulai setelah selesai waktu pelaksanaan sholat Isya. Meski demikian, persiapannya dimulai dari rumah calon mempelai laki-laki sebelum ketentuan waktu memulai tarian dilaksanakan. Persiapan itu meliputi pihak-pihak yang akan terlibat, perlengkapan, sarana prasarana dan jalannya upacara. Calon mempelai laki-laki akan menari (molapi saronde) dan berhenti setelah jaabu suluta (dari kata sultan) selesai. Diperkirakan syair/lagu tersebut di "nyanyikan"dengan durasi waktu sekitar 15-20 menit.

Rumah calon mempelai perempuan sebagai tempat pelaksanaan acara akan dipersiapkan berdasarkan tata cara adat. Ruangan yang akan digunakan adalah duledehu (ruang tengah tempat keluarga berkumpul) yang berhadapan langsung dengan huwali lo humbio (kamar tidur pengantin). Calon mempelai laki-laki akan menari berputar-putar di ruangan ini sambil melirik ke kamar mempelai perempuan sebagaimana dimaksudkan dalam tarian.

Berdasarkan status dan jumlah orang yang terlibat serta kategori upacara adat perkawinan, penyelenggaraan teknis molapi saronde diklasifikasikan atas:

(1) molapi saronde pongo- pongo'abe da'a (diselengarakan besar-besaran);

(2) molapi saronde pongo- pongo'abe kiki (diselenggarakan dengan upacara besar);

(3) molapi saronde woo -wo'opo (diselenggarakan dengan upacara sedang) dan

(4) molapi saronde baya-bayahu (diselenggarakan dengan upacara sederhana).

Pada acara Molapi Saronde dihadiri oleh pemangku adat (huhu, baate, kadli, sarada'a) dari seluruh daerah limo lo pohala'a (Suwawa, Hulontalo/kota Gorontalo, Limutu/Kabupaten Gorontalo, Bulango dan Atinggola/Gorontalo Utara). Caton mempelai laki-laki akan didampingi pemangku adat bergelar bilinggata (camat) dan tibawa (camat). Tetapi, pada saat acara menari berlangsung, kedua petinggi (adat) pendamping tersebut tidak akan mendapat giliran untuk dipersilahkan (turut) menari (molapi saronde). Mereka tetap duduk sebagai to tombuluwo (undangan kehormatan).Tentu saja kehadiran pemangku adat dari seluruh daerah ini akan berimplikasi pada terselenggaranya acara yang terkesan sangat besar dan meriah. Oleh sebab itu disebut pongo-pongotabe data (luas cakupannya).

Molapi saronde yang kedua akan dihadiri oleh pemangku adat (huhu, baate, kadli, sarada'a) dari dua daerah (U duluwo), masing-masing dari Hulontalo/Kota Gorontalo, dan Limutu/Kabupaten Gorontalo. Caton mempelai laki-laki akan duduk dan menari didampingi oleh dua orang yang ditunjuk secara adat. Berbeda dengan yang disebut pertama, kali ini kedua pendamping boleh saja diminta untuk menari ketika penari sebelumnya menyerahkan selendang (salentangi), yang harum (yilo-yilanta) kepadanya.

Penyelenggaraan yang ketiga dihadiri pemangku adat dari salah satu daerah duluwo limo lo pohala'a (Suwawa, Limutu, Hulontalo, Bulango dan Atinggola). Caton mempelai laki-laki akan duduk dan menari dengan formasi seperti pada yang disebut kedua.

Pada molapi saronde baya-bayahu, tidak dipersyaratkan untuk dihadiri oleh petinggi adat, tetapi harus dilaksanakan menurut ketentuan adat. Caton mempelai laki-laki akan duduk dan menari seperti pada yang disebut kedua dan ketiga. Umumnya, pelaksanaannya dilaksanakan lebih sering oleh banyak orang sebagai bagian dari pernikahan yang terselenggara secara adat. Patut diingatkan bahwa pada awalnya acara ini hanya diselenggarakan pada upacara pernikahan anak-anak/keluarga para petinggi adat. Setidaknya sampai pada level wali wall mowali (kelas menengah). Makin lama, hingga sekarang telah dianggap menjadi bagian dari upacara adat pernikahan yang bisa diselenggarakan oleh siapa saja yang ingin melaksanakannya.

Adapun pihak-pihak yang terlibat sebagai pelaksana dalam penyelenggaraan acara molapi saronde pada dasarnya terdiri atas tiga kelompok utama. Kelompok pemangku adat akan menjalankan peran fungsinya sebagai pemimpin dan pengatur jalannya acara. Kelompok pendamping adalah orang-orang yang ditunjuk oleh adat untuk mendampingi calon mempelai laki-laki. Selanjutnya, kelompok pengiring yang terdiri atas kaum bapak. Mereka bertugas memukul rebana dengan ritme tertentu. Sedangkan kelompok pengiring yang terdiri dari kaum ibu akan melantunkan jaabu suluta.

Jumlah dan kategori kelompok yang terlibat dalam acara molapi saronde berbeda-beda mengikuti tingkatan penyelenggaraan teknis. Pada level molapi saronde pongo-pongo'abe da'a tentu saja jumlahnya paling banyak kelompok; pemangku adat, pendamping dan pengiring terdiri dari pemangku adat dengan kategori sebagai petinggi-petinggi adat akan dilibatkan sepenuhnya.

Perlengkapan yang digunakan pada acara ini terdiri atas peralatan upacara adat di dalam ruangan, di luar ruangan dan saat melakukan gerak tari. Dahulu, ruangan acara di alas dengan tikar anyam berbahan tintilo atau ti'ohu, sejenis tanaman air yang telah diberi pewarna. Karena tanaman seperti itu makin jarang, maka pembuatan tikar anyam juga semakin sedikit. Sekarang ini, penggunaan karpet sebagai alas lantai ruangan acara molapi saronde lebih banyak dan lebih sering daripada menggunakan tikar. Rebana atau tambur akan dipukul dengan ritme tertentu, sebagai pengiring "lagu/syair"jaabu suluta. Selain itu, tiga macam selendang yang telah diberi wewangian (yilonta) diletakkan di atas baki (sekarang tapahula). Di depan pelaminan disiapkan tempat duduk calon mempelai laki-laki berupa kasur berhias yang terletak di atas permadani.

Sebelum itu, di bagian depan rumah calon mempelai perempuan: tempat pelaksanaan acara adat tepatnya di ruang depan telah ditata sebuah tempat khusus berbentuk persegi yang disebut tambibala/buulita, sekelilingnya dipagari dengan bambu kuning. Selanjutnya, peralatan yang disebut tolitihu (tangga titian) diletakkan di depan pintu masuk rumah, tepatnya pada tangga, sebelum melangkah keruangan. Di samping kiri kanan tolitihu berdiri tegak pohon pinang dan juga sepasang bambu kuning yang dibelah berbentuk mulut buaya, diletakkan dengan kemiringan sekitar 45 derajat menghadap ke depan. Tolitihu didesain sedemikian rupa lengkap dengan pegangan di kedua sisi kiri dan kanan. Anyaman dasarnya terdiri atas bilah-bilah bambu yang diatur menurut ketentuan adat. Seluruh peralatan tolitihu dan perlengkapannya menggunakan bahan bambu kuning. Jika bahkan tersebut tidak tersedia, dapat digunakan bambu berwarna lain atau pipa yang dicat kuning seperti bambu kuning.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047