Ehe Lawn

Tahun
2013
Nomor Registrasi
201300062
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Maluku
Responsive image

Seka Besar merupakan salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Masela di Kabupaten Maluku Barat Daya. Tari Seka Besar secara etimologi dapat dijabarkan dalam beberapa istilah lokal antara lain, Ehe Lawn (ehe: Tari dan Lawn:besar), Nyilai Lewna (Nyilai : Tari dan Lawna : besar), selain itu juga terdapat istilah wneyseka yang artinya menyanyi bergembira dengan menggerakan kaki secara serentak. Sehingga korelasi antara istilah Seka Besar sebagai tari tradisional masyarakat Masela dengan ehe Lawn/Nyilai Lewn/wneyseka berada pada tarian dengan orientasi tumpuhan pada gerakan kaki yang dilakukan secara serentak diiringi dengan irama tifa dan nyanyian adat.

Menurut sejarah yang berkembang pada masyarakat sekitar, penemuan tari ini dimulai dari sebuah perkampungan tua yang bernama Kalewn/Letkil. Di kampung/negeri ini hidup seorang peternak kambing juga seorang seniman bernama Kowjer Penaonde. Sebagai peternak kambing, setiap hari Kowjer menggembalakan kambingnya disekitar hutan yang dikenal dengan nama Amukryene (tempat pemeliharaan kambing). Pada suatu hari, ketika Kowjer menggembalakan kambingnya tergeraklah dalam hatinya untuk memperhatikan binatang-binatang itu. Setelah diperhatikannya, ternyata ada kambing yang hilang. Ia kemudian berfikir bahwa kambing yang hilang itu sudah tentu ada di dalam hutan ini. la merasa gelisah dan muncul niat dalam hatinya untuk mencari kambing yang hilang ke dalam hutan tersebut. Saat berada di dalam perjalanan tibalah is pada suatu tempat yang diberi nama Pipnukra (tempat pemelihara kambing). Dari ternpat tersebut is melihat beberapa ekor kambing sedang bermain dengan asiknya di bawah pohon beringin yang rindang. Kambing-kambing itu bermain sambil sesekali melompat, saling dorong mengadu kekuatan dan sebagainya. Selain itu, tanpa disangka Kowjer juga mendengar kambing-kambing yang bernyanyi. Mendengar kambing yang bernyanyi kemudian membuat Kowjer langsung bersembunyi dalam semak-semak dan terus mengamati gerak-gerik kambing karena ingin memastikan bahwa kambing yang hilang itu ternyata ada dalam kelompok kambing yang sedang melakukan gerakan-gerakan dengan nyanyian. Peristiwa ini membuat Kowjer tertegun dan terinspirasi akhirnya mengilhami lagu dan gerakan-gerakan kambing yang dilakukan secara spontan. Ia kemudian melagukan sebuah lagu dan setelah itu Kowjer kembali pulang. Dalam perjalanan pulang, Kowjerterus menyanyikan lagu dan sesekali melompat mengikuti gerakan kambing, sehingga setiap orang kampung yang berpapasan dengannya berkata bahwa ia kemasukan setan. Namun is tidak peduli dengan ocehan (wanyena) masyarakat yang melihatnya. Hari-hari berikutnya, Kowjer memperlihatkan perilaku yang sama disehingga muncul dugaan dari orang kampung bahwa Kowjer sudah gila (neploa). Akan tetapi mereka berupaya mendekati Kowjer untuk mengetahui lebih dekat mengapa ia berbuat demikian. Hasil pendekatan dimaksud membuat mereka memahami perilaku Kowjer yang sebenarnya dimana ia telah berhasil menemukan gerak tari dari kambing dengan sebuah lagu ciptannya yang diberi judul Pipyo Mkyalimyese Wullyo yang berarti lihatlah betapa indahnya buluh kambing itu. Kesenian ini kemudian dijadikan sebagai tarian sakral bagi para kasatria negeri/kampung yang akan berperang dengan sebuah asumsi bahwa tari seka besar mampuh secara magic melindungi dan menjaga para pejuang negeri yang turun ke medan perang.

Tari ini menjadi gambaran kehidupan masyarakat yang begitu dekat dengan kepentingan menaklukan berbagai wilayah yang ada di Kepulauan Masela. Perang suku yang melibatkan masyarakat tentunya membuat tarian ini menjadi penyemangat dalam memandu para kasatria yang akan pergi dan pulang dari medan pertempuran. Dalam komposisi tari selalu akan terlihat perempuan yang di beri kepercayaan dalam mempertemukan unsur keseragaman dalam perpaduan tari tradisional Seka. Keterwakilan perempuan akan memberikan semangat yang penuh bagi para pejuang yang akan turun ke medan pertempuran.

Dari perspektif sejarahnya Tari Ehe Lawn pada awal penemuannya adalah sebuah tari perang yang sangat sakral dan biasanya ditarikan pada saat-saat tertentu misalnya pada saat terjadinya perang antar kampung di Pulau Masela. Dikatakan demikian karena tari ini digunakan untuk membakar semangat patriotisme para patriot kampung yang akan berangkat menuju medan pertempuran maupun ketika mereka kembali dari medan laga. Karena tari ini berfungsi demikian, maka semalam sebelum prajurit kampung berangkat menuju medan pertempuran mereka mengadakan upacara adat yang disebut Upacara Sopi Mati. Upacara ini pada hakekatnya adalah suatu upacara sumpah setia para prajurit yang akan berperang yang mana disana diikrarkan janji setia satu terhadap yang lain dalam wujud persatuan yang kokoh dan kebersamaan yang utuh untuk menghadapi setiap kemungkinan dan kondisi dalam pertempuran nanti. Sehari sebelum para prajurit berangkat, pagi-pagi subuh Praya lw Lora (tifa besar) diletakkan di pusat kampung kemudian di tabuh berulang-ulang sambil mengumpulkan prajurit dan semua masyarakat kampung. Masyarakat berdiri mengelilingi Praya yang dalam bahasa daerah setempat diberi nama lw Lora. Di atasnya diletakkan sebotol sopi (tuak yang sudah disuling). Sambil berdiri menghadap ke Timur ke arah matahari terbit dimana seorang tetua adat mempunyai tugas untuk memimpin berdoa. Sesudah mereka berdoa maka tetua adat mengedarkan sopi yang ada dalam botol tadi untuk diminum oleh masing-masing prajurit sebagai manifestasi sumpah persatuan dan kebersamaan.

Selanjutnya perlu diketahui bahwa sopi (arak) yang ada dalam botol tadi harus dicicipi sedikit-sedikit oleh semua prajurit, namun diupayakan supaya tidak habis. Sebab bila habis maka mereka akan hancur dalam peperangan. Pada sisi yang lain sopi tadi tidak boleh dihabiskan agar bila mana mereka kembali dari medan pertempuran sisa sopi tadi kembali diminum oleh semua prajurit. Sesudah upacara sopi dilanjutkan dengan lagu kebesaran (Tyarka). Sehabis lagu kebesaran adat (Tyarka), semua prajurit berangkat ke medan pertempuran, sementara itu perempuan-perempuan tetap menarikan Tari Ehe Lawn semalam suntuk untuk memberikan semangat. Ketika perang selesai dan para prajurit kembali mereka melakukan upacara yang sama, dan dilanjutkan dengan menarikan Tari Ehe Lawn secara bersama-sama sebagai tanda suka cita dan sesudah itu barulah mereka kembali ke rumah masing-masing. Dari ulasan di atas maka dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya upacara dimaksud pada satu sisi merupakan upacara untuk membina rasa persatuan dan kesatuan yang mutlak merupakan unsur utama dalam peperangan. Pada sisi yang lain merupakan upacara penyerahan meminta doa restu untuk keberhasilan peperangan serta suatu momentum doa syukur ketika mereka sudah kembali dari medan perang. Puncak penggunaan sebagai tarian perang adalah pada tahun 1916 ketika terjadi perang antar masyarakatTelalora dengan Belanda pada waktu itu dan ketika keamanan sudah terjamin maka tarian ini beralih fungsi menjadi tari hiburan.

Sebagai tarian tradisional, jumlah penarinya tidak terbatas. Semakin banyak orang yang menari, semakin menambah meriah suasana pentas. Usia penari rata-rata yang remaja dan sudah mampu berbahasa daerah karena sangat terkait dengan penguasaan lagu dan memahami arti kata-kata/syair lagu yang dinyanyikan. Sebelum Tari Ehe Lawn ini dipentaskan biasanya dilakukan persiapan penyiapan peralatan tari berupa; tifa, pakaian,salawaku, parang, tombak, sopi dan lainnya. Disamping itu ada latihan-latihan untuk memanaskan lagi peserta ataupun melatih peserta baru, dalam hal ini mereka yang masih dalam taraf belajar menyesuaikan. Setelah latihan-latihan dan peralatan sudah memadai, saatnya Tari Ehe Lawn dipentaskan sangat tergantung pada situasi yang dihadapi. Jika Tari Ehe Lawn ditarikan untuk membakar semangat prajurit ke medan perang maka suasana dalam pementasan selalu menggambarkan kondisi seolah-olah dalam suasana perang. Maksudnya adalah untuk membakar semangat para prajurit tetapi jika tari Ehe Lawn ditarikan untuk hari-hari besar atau untuk menyambut tamu-tamu besar maka suasananya pun berbeda yakni sangat gembira dan bersahabat.

Proses pementasannya, para penari langsung menempati posisi masing-masing dengan peralatan yang digunakan dan biasanya ditarikan di tengah kampong sehingga warga yang sudah biasa berbahasa dapat bergabung, dan jika selesai menari langsung bubar pada tempat yang sama. Kebiasaan menarikan taxi ini untuk perang tidak dilakukan lagi ketika keamanan sudah terjamin dan tidak ada lagi perang-perang antar kampung maka tarian ini kemudian beralih fungsi menjadi tarian hiburan. Dalam prosesnya dapat digambarkan bahwa setiap bunyi tifa besar (praya) akan menandakan sebuah peristiwa penting yang cukup sakral yang akan di lakukan melalui Tarian Seka. Oleh karena itu, pada zaman dauhulu tarian ini tidak sembarang dilakoni oleh semua orang karena unsur kesakralan yang menjadi pertimbangan besar. Adapun jenis-jenis tarian yang berkembang dari rumpun tarian ini beraneka ragam baik dalam gerak maupun dalam istilah dan namanya. Hal ini disebabkan latar belakang peristiwa yang turut membentuk corak dan warna tersendiri sebagaimana diungkapkan di atas. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada tiga kampung ini terdapat beberapa jenis tari antara lain :

- Tari Ehe Lawn yang disebut juga Seka Besar memiliki kesakralan melalui upacara adat sopi ikat yang disumpah oleh tua adat dan diminum sebelum dan sesudah pulang. Tarian ini juga memberikan semangat dan jiwa patriotisme untuk memasuki medan pertempuran.

- Tari Ehe Welkey yang disebut Seka Pukul Bamboo, tarian yang dilakukan saat masyarakat hendak memulai proses bercocok tanam untuk mengetahui musim hujan atau musim panas, karena sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman

- Tari Ehe Lara yang disebut Seka Lara, merupakan Tani Seka garapan baru yang mengisahkan gerakan dalam proses memancing ikan (lara artinya laying-layang)

- Tari Ehe Wneysek yang disebut Seka Biasa yaitu tarian rakyat yang ditarikan saat secara umum oleh masyarakat se-Pulau Masela pada perayaan Natal, KunciTahun,Tahun Baru, proses selesai atap rumah, dll.

- Tari Ehe Lelana yang disebut Seka Muda-mudi, tari khusus masyarakat Iblatmumtah yang di tarikan oleh muda-mudi dalam rangka mencari pasangan (jodoh)

Berdasarkan urut-urutan tari tersebut maka perlu dijelaskan bahwa Tari Ehe Lawn ternyata telah memberikan suatu nuansa baru yang dibentuk dalam tarian adat khususnya pada Kepulauan Masela tetapi juga telah menghasilkan beragam tari yang didesain dalam

- Lagu Pipyo yang artinya kambing. Dikatakan demikian karena waktu lagu itu dikarang atau digubah, disesuaikan dengan irama, gerakan kambing.

- Lagu Yelepe sebagai lagu nonneya mengakhiri tarian.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047