Emping Beras

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800631
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung
Responsive image
Dalam sejarah kebudayaan masyarakat Pulau Belitung terdapat kelompok masyarakat yang bernama Orang Darat. Karakter mereka digambarkan sebagai penurut, suka membantu, ramah, jujur dan rajin. Mereka juga suka membantu, dan kadang-kadang menawarkan untuk membuat sesuatu. Banyak dari mereka yang mahir dalam melebur bijih besi dan juga mungkin yang dihasilkannya adalah kapak sangat baik. Kehadiran mereka yang turun temurun di bumi Pulau Belitung membuat mereka dianggap sebagai Billitonezen atau penduduk asli pulau yang terkenal akan timah ini. Selain itu mereka pun sebagai suku melayu. Dalam perkembangannya, mereka mendapat pengaruh berupa percampuran dengan suku lain, misalnya Bugis dan Keling, sehingga mereka dibedakan dengan Melayu Asli. Seorang berkebangsaan Belanda yang bernama A.G. Vorderman melakukan penelitian dan menyebut mereka sebagai Billiton Maleisch atau Melayu Billiton atau Melayu Belitong. Orang Darat memiliki kebiasaan berladang dan mengumpulkan hasil hutan yang dijualnya kepada pedagang-pedagang Melayu, mereka juga mahir membuat tikar untuk dijual. Diperkirakan, hasil alam yang mereka jual antara lain adalah Damar dan Garu. Tentang berladang, tak berapa jauh dari masa kini, kira-kira dua dekade ke belakang pada masyarakat Belitong masih dapat dijumpai terdapat sistem berladang secara tradisional yang disebut Beume Betaun, sedangkan ladangnya sendiri disebut dengan Ume Taun, yang bermakna Ume adalah Huma dan Taun yaitu Tahun. Penamaan ladang tersebut sesuai dengan siklus perladangan yang dilaksanakan dalam satu Tahun. Siklus satu tahun tersebut, kemudian melekat pada nama tradisi tersebut yaitu, Ume Taun. Kata Ume yang berarti Uma atau Huma, sedangkan Taun yaitu tahun. Sedangkan puncak dalam tradisi agraris ini adalah Maras Taun, Maras yang berarti memotong dan Taun yang berarti tahun, dengan demikian ritus ini bermana ‘memotong’ atau mengakhiri satu tahun masa panen. Pelaksanaan ritus ini, merupakan bentuk syukuran atas panen padi yang telah didapat. Dalam hal lainnya, tradisi ini sebagai momen untuk mengakhiri masa satu tahun berladang dan mengawali masa tanam di tahun yang baru. Adapun tanaman utama dalam dalam sistem berladang tersebut adalah Padi Cerai, yaitu padi atau beras yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Berikutnya adalah Padi Pulut atau Padi Beras Ketan, yang digunakan untuk membuat berbagai macam penganan makanan khas. Dalam perayaan Maras Taun, masyarakat biasanya menghidangkan makanan khas berupa Lepat, juga terasa lebih lengkap jika didampingi dengan Emping Beras, keduanya menggunakan bahan yang sama yaitu Beras Pulut, hasil ladang mereka. Lepat dapat disajikan tanpa Emping Beras, tetapi Emping Beras dibuat hanya untuk mendampingi Lepat, yaitu sebagai kuahnya. Dalam konteks kekinian dengan berbagai sebab masyarakat tidak lagi melangsungkan Ume Taun akan tetapi beberapa sub tradisi yang berkaitan dengan hal tersebut masih dilangsungkan seperti ritus Maras Taun yang merupakan puncak berladang sebagai ucapan terima kasih kepada Yang Maha Esa dan merayakan hasil tanam secara bersama-sama. Hilangnya tradisi Beume Betaun mengakitkan hilangnya jenis ketan lokal sebagai bahan untuk Emping Beras. Namun masyarakat menggunakan beras ketan produksi sawah yang dikelola secara modern dan pengerjaannya sama seperti pada umumnya. Akan tetapi cara lama masih dilestarikan dalam mengolahnya. Adapun tahapannya sebagai berikut: Pembuatan emping beras dilakukan dengan 4 tahapan yaitu, pertama, persiapan yang mana bulir padi dibersihkan sehingga terpisah dari ampas atau kotoran kemudian direndam selama semalam. Kedua, padi disangrai hingga terdengar suara dari kulit padi yang merekah. Tetapi tidak semua padi disangrai harus demikian, hanya sedikit saja sebagai tanda bahwa padi siap untuk ditumbuk. Ketiga, bulir padi ditumbuk untuk memisahkan antara isi dan kulit. Pengerjaannya pun harus cepat jangan sampai bulir padi dingin. Setelah ditumbuk inilah bulir padi berubah bentuk menjadi pipih menyerupai emping. Disinilah fase terciptanya Emping Beras. Keempat, padi ditampi menggunakan tampah atau sejenisnya dengan tujuan supaya kulit terpisah dari isi. Biasanya, untuk memastikan supaya betul-betul bersih Emping Beras yang sudah jadi dipilih-pilih lagi. Setelah jadi Emping Beras mentah maka dilanjutkan dengan pembuatan kuah yang menggunakan bahan-bahan air putih, santan, gula merah, gula pasir, garam dan Daun Pandan. Adapun cara membuatnya adalah 1. Masak air putih hingga mendidih, 2. Masukkan santan secukupnya, 3. Masukkan gula merah secukupnya, 4. Masukkan gula pasir secukupnya, 5. Masukkan Garam secukupnya, 6. Masukkan Daun pandan secukupnya, 7. Setelah kuah mendidih secukupnya, 8. Tunggu bebeberapa saat setelah itu tuangkan kuah pada emping Beras dan siap untuk dinikmati. Kuliner ini masih didapati pada beberapa kelompok masyarakat yang menyelenggarakan Maras Taun, misalnya Desa Balok Kecamatan Dendang, Desa Jangkar Asam dan Desa Air madu yang terletak di Kecamatan Gantung. Kuliner ini memang sulit ditemui pada hari biasa karena proses pengerjaannya melibatkan orang banyak pada saat yang dibuat khusus sebagai hidangan pada ritus Maras Taun. Dengan demikian kuliner ini terbilang makan istimewa dan dapat ditemui pada moment tertentu saja.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047