Angklung Buncis

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800678
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Barat
Responsive image
Angklung Buncis adalah salah satu jenis seni pertunjukan musik angklung tradisional yang memiliki banyak varian. Konon, menurut riwayat yang turun temurun, penamaan kesenian buncis dikaitkan dengan salah satu lirik lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu "cis kacang buncis nyengcle ... ", dst. Atas dasar lirik lagu inilah kesenian ini dinamakan buncis. Dari berbagai variannya, kesejarahan angklung buncis di setiap wilayah perkembangannya memiliki versi yang berbeda-beda, akan tetapi secara fungsi awalnya memiliki persamaan. Pada awalnya angklung buncis lebih banyak difungsikan untuk siklus penanaman padi, yang sangat erat kaitannya dengan kepercayaan lama masyarakat agraris tradisional, yaitu berhubungan dengan kehadiran sosok Dewi Sri sebagai dewi padi. Nanang Zaenudin dalam tulisannya menerangkan bahwa, Sejak zaman Kerajaan Sunda atau bahkan sebelumnya, alat musik angklung sudah hidup sebagai salah satu hiburan bagi raja dan seluruh isi kerajaan. Herdini (2012:45) menjelaskan, pada naskah-naskah kuna, Carita Parahiangan (tahun 1527), Sewaka Darma (sekitar akhir abad ke-17), 52 Bujangga Manik (akhir tahun 1400-an), dan Sanghyang Siksa (ng) Kandang Karesian (1518) ditemukan nama-nama jenis alat musik dan ragam jenis kesenian seperti: kawih, tatabeuhan, gamelan, pantun, kacapi, canang, goong, wayang, kumbang, angklung, dan tarawangsa. Angklung buncis di Cigugur Kuningan. Berbicara mengenai asal usul angklung buncis di Cigugur, sampai saat ini penulis belum menemukan tulisan-tulisan yang bisa mengungkapnya secara eksplisit. Pada bahasan ini penulis hanya akan mengulas sedikit berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa sumber primer yang penulis temui, yaitu: Pangeran Djati Kusumah (80) yang merupakan sesepuh Sunda Wiwitan di Cigugur, dan Utju Djarkasu (62) yang merupakan pembuat angklung buncis di Cigugur, dan dianggap oleh masyarakat Cigugur sebagai Angklung Buncis adalah salah satu jenis seni pertunjukan musik angklung tradisional yang memiliki banyak varian. Konon, menurut riwayat yang turun temurun, penamaan kesenian buncis dikaitkan dengan salah satu lirik lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu "cis kacang buncis nyengcle ... ", dst. Atas dasar lirik lagu inilah kesenian ini dinamakan buncis. Dari berbagai variannya, kesejarahan angklung buncis di setiap wilayah perkembangannya memiliki versi yang berbeda-beda, akan tetapi secara fungsi awalnya memiliki persamaan. Pada awalnya angklung buncis lebih banyak difungsikan untuk siklus penanaman padi, yang sangat erat kaitannya dengan kepercayaan lama masyarakat agraris tradisional, yaitu berhubungan dengan kehadiran sosok Dewi Sri sebagai dewi padi. Nanang Zaenudin dalam tulisannya menerangkan bahwa, Sejak zaman Kerajaan Sunda atau bahkan sebelumnya, alat musik angklung sudah hidup sebagai salah satu hiburan bagi raja dan seluruh isi kerajaan. Herdini (2012:45) menjelaskan, pada naskah-naskah kuna, Carita Parahiangan (tahun 1527), Sewaka Darma (sekitar akhir abad ke-17), 52 Bujangga Manik (akhir tahun 1400-an), dan Sanghyang Siksa (ng) Kandang Karesian (1518) ditemukan nama-nama jenis alat musik dan ragam jenis kesenian seperti: kawih, tatabeuhan, gamelan, pantun, kacapi, canang, goong, wayang, kumbang, angklung, dan tarawangsa. Angklung buncis di Cigugur Kuningan. Berbicara mengenai asal usul angklung buncis di Cigugur, sampai saat ini penulis belum menemukan tulisan-tulisan yang bisa mengungkapnya secara eksplisit. Pada bahasan ini penulis hanya akan mengulas sedikit berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa sumber primer yang penulis temui, yaitu: Pangeran Djati Kusumah (80) yang merupakan sesepuh Sunda Wiwitan di Cigugur, dan Utju Djarkasu (62) yang merupakan pembuat angklung buncis di Cigugur, dan dianggap oleh masyarakat Cigugur sebagai pemain angklung buncis generasi pertama sejak kemunculan angklung buncis di Cigugur. Pada tahun 1974 atas keinginan Djati Kusumah munculah kesenian angklung buncis di Cigugur, yang dibawa oleh Enoch Atmadibrata31 dari Bandung. Enoch yang pada saat itu memimpin Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional daerah Jawa Barat membawa satu set angklung yang terdiri dari 9 buah angklung dan diajarkan kepada masyarakat adat di Cigugur. Selanjutnya angklung tersebut dinamakan angklung buncis oleh masyarakat adat Cigugur, karena merujuk pada salah satu lagu yang sering dimainkan oleh masyarakat, yaitu: lagu buncis. Sejak tahun 1974 angklung buncis mulai dimainkan sebagai bagian dari upacara Sérén Taun, yang merupakan upacara syukuran masyarakat adat Cigugur yang dilaksanakan pada tanggal 18 sampai dengan tanggal 22 Rayagung sebagai puncaknya. Sejak saat itu juga angklung buncis bahkan telah menjadi kesenian khas Cigugur, khusunya dalam upacara Sérén Taun. Pertunjukan angklung buncis dalam upacara Sérén Taun di Cigugur,merupakan puncak upacara Sérén Taun tanggal 22 Rayagung. Angklung buncis dalam upacara Sérén Taun dilihat dari bentuk pertunjukannya termasuk dalam jenis pertunjukan di tempat (statis). Angklung buncis disajikan pada arena pertunjukan di depan Paseban Tri Panca Tunggal. Para pemain angklung buncis memainkan lagu-lagu dan melakukan atraksi di dalam arena pertunjukan tersebut. Sebenarnya arena pertunjukan tersebut adalah jalan umum untuk kendaraan, tetapi setiap upacara Sérén Taun berlangsung jalan tersebut dijadikan sebagai arena pertunjukan untuk kepentingan upacara Sérén Taun. Struktur atau tahap pertunjukan angklung buncis dalam upacara Sérén Taun di Cigugur yang akan dibagi menjadi tiga bagian, terdiri dari: bagian awal pertunjukan, bagian puncak pertunjukan, dan bagian akhir pertunjukan. Sejalan dengan perubahan paradigma masyarakat, baik kepercayaan dan pengetahuan, fungsi angklung buncis mengalami perkembangan. Angklung buncis tidak hanya difungsikan sebagai kelengkapan upacara ritual penanaman padi, tetapi juga difungsikan dalam siklus kehidupan sosial masyarakatnya. Seperti pertunjukan Angklung Buncis di Darmaraja Kabupaten Sumedang yang ditulis oleh Asep Maryana tahun 2014 yang menerangkan bahwa, Angklung buncis difungsikan pada acara ritual Sunatan dan pada acara Darmaraja Festival. Terdapat tiga tahapan pada acara ritual khitanan yang berlangsung selama tiga hari, yaitu ngembang (ziarah kubur), iring-iringan (helaran) dan turun ka cai. Lebih lanjut Asep Maryana mendalami kajian fungsi Musik berdasarkan teori fungsi musik Alan P. Meriam (1964: 219-227) diantaranya adalah: The function of emotional expression (fungsi sebagai ungkapan emosi), seperti halnya mengungkapkan emosi rasa kegembiraan atas rezeki dan nikmatnya melalui angklung Buncis. The function of entertainment (fungsi sebagai hiburan), angklung Buncis dijadikan masyarakat Darmajaya sebagai pelepas rasa penat dari rutinitas keseharian. The function of communication (fungsi sebagai komunikasi), Selain bentuk komunikasi dengan yang gaib, angklung Buncis Desa Darmajaya juga sebagai komunikasi, memberitahu warga sekitar bahwa akan ada anak yang hendak di sunat. The function of symbolic representation (fungsi sebagai perlambangan), salah satu simbol yaitu pada jumlah sembilan angklung yang merupakan simbol dari sembilan para wali, dan The function of contribution to the integration of society (fungsi sebagai pengintegrasian masyarakat), angklung Buncis ini dimiliki oleh turun temurun dari keluarga bapak Sueb, namun untuk penabuhnya tidak ada ketentuan yang membatasi, apakah itu usia maupun jenis kelamin. Dalam perkembangan selanjutnya, angklung Buncis juga pernah dipertunjukan pada rangkaian acara Darmaraja Festival, pada cara ini angklung Buncis merupakan sebuah pertunjukan yang merupakan hiburan, bentuk pertunjukannya digarap disesuaikan dengan kebutuhan panggung, dalam arti disesuaikan dengan tema acara. pertunjukan angklung buncis akan memiliki struktur yang berbeda apabila dipertunjukkan dalam acara-acara di luar upacara Sérén Taun. Angklung buncis yang dipertunjukkan di luar upacara Sérén Taun biasanya berbentuk helaran atau arak-arakan, stuktur pertunjukannya pun tidak baku, dalam artian selalu berubah-ubah yang disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. Para pemain angklung buncis hanya memainkan lagu-lagu dan senggak sambil berjalan kaki, dan tidak melakukan atraksi apa-apa. Berbicara tentang asal-usul angklung buncis di Cireundeu, Nanang menemukan beberapa literatur yang membahas tentang hal ini. Ninda Wastini dalam skripsinya berjudul “Tari Pada Kesenian Angklung Buncis Dalam Upacara Tutup Taun Ngemban Taun Kampung Adat Cireundeu Kota Cimahi” (2011: 62), mengatakan bahwa: “Kesenian Angklung Buncis ada sejak tahun 1918, yang dipelopori oleh Bapak Haji Ali yang kemudian dikembangkan oleh masyarakat kampung Cireundeu sampai sekarang ini. Alat Musik Angklung yang mereka mainkan dibuat sendiri oleh masyarakatnya”. Sedangkan dalam literatur lain yang penulis peroleh dari http://kabarcimahi.blogspot.com (2011) menjelaskan bahwa: Menurut Ketua Adat Kampung Cireundeu, Asep Abbas, sejak zaman nenek moyang, angklung buncis ini selalu dimainkan terutama dalam acara ritual seperti peringatan 1 Sura. Masyarakat Cireundeu memang menganut kepercayaan Sunda wiwitan. Dikatakannya, angklung buncis merupakan alat kesenian asli dari karuhun Sunda, yang keasliannya terjaga sejak 600 tahun silam. Namun, kedua keterangan tersebut memberikan penjelasan yang berbeda tentang asal-usul angklung buncis di Cireundeu. Untuk mengklarifikasi keterangan-keterangan tersebut penulis mewawancarai beberapa sumber primer di Kampung Adat Cireundeu, di antaranya: Bah Emen (80) sebagai pupuhu Kampung Adat Cireundeu dan Bah Widi (50) sebagai ais pangampih Kampung Adat Cireundeu. Menurut informasi yang penulis peroleh, keberadaan angklung buncis di Kampung Adat Cireundeu ternyata tidak lepas dari terjalinnya kembali tali persaudaraan antara masyarakat adat Cireundeu dan masyarakat adat Cigugur. Atas jasa seorang warga adat Cigugur bernama Ira Indrawardana, akhirnya pada tahun 2000 hubungan masyarakat adat Cireundeu dan masyarakat adat Cigugur bisa terjalin kembali, setelah berpuluh-puluh tahun tidak berkomunikasi. Pertemuan itu ternyata menjadi titik awal perkembangan kesenia. di Cireundeu, khususnya angklung buncis. Bah Asep (45) sebagai salah satu sesepuh masyarakat adat Cireundeu memiliki keinginan agar di Cireundeu bisa hidup berbagai kesenian seperti halnya di Cigugur. Setelah itu masyarakat adat Cigugur banyak mengajarkan berbagai kesenian kepada masyarakat adat Cireundeu, di antaranya: cianjuran, karinding, celempung, gondang, dan angklung buncis. Dari berbagai macam kesenian yang diajarkan oleh masyarakat adat Cigugur kepada masyarakat adat Cireundeu, angklung buncis menjadi kesenian yang paling berkembang di Cireundeu. Angklung buncis di Cireundeu dibuat oleh seorang warga adat Cigugur bernama Utju Djarkasu atas permintaan Bah Asep. Angklung buncis Cireundeu dibuat pada tahun 2001 di Cireundeu, setelah itu Utju mengajarkan kesenian ini kepada masyarakat adat Cireundeu.17 Keberadaan angklung buncis di Cireundeu mulai dikenal masyarakat luas, terutama setelah masyarakat adat Cireundeu menjadikan angklung buncis sebagai kesenian yang wajib ditampilkan dalam upacara satu Sura yang disebut upacara Tutup Taun Ngemban Taun. Angklung buncis bahkan telah menjadi icon bagi masyarakat adat Cireundeu khususnya dalam bidang kesenian, di samping makanan pokok mereka yang berbahan dasar singkong yang disebut rasi. Keberadaan angklung buncis pada masyarakat adat Cireundeu memang belum cukup lama. Apabila dihitung dari awal kemunculannya pada tahun 2001 sampai dengan sekarang, maka angklung buncis di Cireundeu pada saat ini baru berumur 12 tahun. Kendatipun demikian, kebanyakan masyarakat khususnya di sekitar daerah Kota Cimahi tidak banyak mengetahui tentang asal-usul keberadaan angklung buncis di Cireundeu. Tidak sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa angklung buncis di Cireundeu merupakan kesenian asli Cireundeu. Dalam perkembangan selanjutnya, angklung buncis di Cireundeu tidak hanya dimainkan dalam upacara Tutup Taun Ngemban Taun. Angklung buncis mulai sering dimainkan dalam acara-acara di luar upacara Tutup Taun Ngemban Taun, seperti: hari-hari besar nasional, ulang tahun Kota Cimahi, pemilihan mojang jajaka, dan acara-acara lain yang biasanya diadakan oleh pemerintah daerah Kota Cimahi. Dalam upacara Tutup Taun Ngemban Taun, angklung buncis di Cireundeu memiliki tiga tahap struktur pertunjukan yang mirip dengan tahapan di Cigugur, yaitu terdiri dari: bagian awal pertunjukan, bagian puncak pertunjukan, dan bagian akhir pertunjukan. Seperti halnya kesenian varian seni angklung lainnya, nilai dan makna yang terkandung dalam kesenian angklung buncis adalah memuat masalah nilai kebersamaan, gotong royong, kedisiplinan, tengang rasa, serta berbagi tugas sama rata dan sama rasa dalam kehidupan bermasyarakat.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047