Sate Maranggi

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800688
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Jawa Barat
Responsive image
Tidak diketahui secara pasti tanggal berapa nama kuliner Sate Maranggi dipopulerkan. Data yang diperoleh dari informan menyebutkan bahwa seorang penjual Sate Maranggi bernama Bustomi Sukmawirdja atau dikenal dengan sebutan Mang Udeng, telah berjualan Sate Maranggi pada tahun 1962 di Kecamatan Plered. Informasi tersebut sekaligus mematahkan permasalahan lokasi asal mula Sate Maranggi yang sebelumnya juga diklaim oleh Kecamatan Wanayasa. Adapun angka tahun awal adanya Sate Maranggi di Wanayasa adalah lebih muda dibandingkan dengan angka tahun informasi keberadaan Sate Maranggi di Plered, yaitu tahun 1970, atau lebih muda 8 tahun. Informasi atau data awal mula adanya penjual Sate di Wanayasa datang dari seorang dengan nama panggilan Mak Unah. Beliau menyebutkan bahwa sekitar tahun 1970 beliau telah berjualan sate. Tidak lantas beliau mengistilahkan dengan nama Sate Maranggi. Beliau hanya menyebutkan Sate Panggang. Dan, beliau juga telah mengetahui bahwa di Plered sebelumnya juga telah ada yang berjualan sate, yaitu Mang Udeng. Daging yang digunakan kala itu berasal dari daging sapi atau kerbau. Mak Unah melanjutkan bahwa, ia memang sebelumnya juga menggunakan bahan daging yang sama (sapi dan kerbau). Sekitar tahun 1965, beliau mencoba menggunakan jenis daging lain dalam racikan bumbunya, yaitu daging domba. Menurut beliau bahwa racikan bumbunya yang dimasak dengan menggunakan daging domba lebih enak jika dibandingkan dengan menggunakan jenis daging yang lain. Mengkaji dari data sejarah tersebut di atas, antara Wanayasa dan Plered terdapat sebuah sinergi yang mencuatkan nama Maranggi sebuah sebuah kuliner yang kemudian mengemuka dan menjadi ikon Kabupaten Purwakarta. Memang dalam melihat angka tahun, Wanayasa memang lebih muda dibandingkan dengan Plered. Namun dilihat dari jenis daging yang digunakan membuat kedua daerah tersebut dapat dikatakan sebagai awal mula adanya Sate Maranggi di Kabupaten Purwakarta. Wanayasa merupakan “pencipta” dari Sate Maranggi dengan menggunakan bahan dasar daging domba, sedangkan Plered merupakan “pencipta” Sate Maranggi” dengan menggunakan bahan dasar daging sapi dan kerbau. Awal mula bahan dasar sate maranggi adalah daging kerbau. Saat ini bahan dasar mulai bervariasi yaitu menggunakan daging kambing (domba), dan daging ayam. Daging kerbau banyak digunakan penjual sate maranggi di Plered, sedangkan daging kambing banyak digunakan penjual sate maranggi di Pasawahan hingga Wanayasa. Pengolahan diawali dengan mengiris daging kecil-kecil kemudian dibungkus dengan daun pepaya dan diamkan selama kurang lebih tiga jam dengan tujuan daging menjadi lebih empuk. Setelah itu, buat bumbu yang terdiri dari bumbu penyedap, gula merah, dan garam. Aduk hingga lumat kemudian campurkan bersama dengan daging. Aduk kembali hingga merata. Proses tersebut diakhiri dengan memasukkan tiga atau empat iris daging ke tusuk sate. Pemasakan dilakukan dengan cara memanggang. Beberapa kali sate maranggi dibolak balik di atas panggangan dengan tujuan agar tingkat kematangan merata. Penyajian sate maranggi yang telah matang adalah dengan cara ditaruh dalam balastrang (baki). Pembeli mengambil satu persatu sate maranggi dengan tidak lupa menaruh kembali tusuk sate bekasnya di atas piring. Tujuannya adalah memudahkan penghitungan berapa jumlah sate maranggi yang disantap untuk dikalikan dengan harga per tusuknya yang saat ini sekitar Rp. 1.500 sampai dengan Rp. 4.000. Pelru dicatat bahwa pola penjualan seperti itu sudah mulai jarang digunakan. Saat ini pesanan yang biasa dilakukan oleh pembeli adalah per porsi (10 tusuk). Kuah atau bumbu cair sebagai penyedap rasa sate maranggi terdiri dari dua jenis yaitu kuah kecap dan kuah kacang. Bahan yang digunakan untuk membuat kuah kecap adalah: bawang merah, tomat, cabe rawit, bumbu penyedap, dan kecap. Bahan bumbu di atas diolah dengan cara sebagai berikut: terkecuali bumbu penyedap dan kecap, ketiga bahan yang lain digerus sampai benar-benar halus. Selanjutnya bumbu yang sudah halus tersebut ditumis sampai mengeluarkan bau wangi/harum. Berturut-turut kemudian dimasukkan kecap dan bumbu penyedap. Bahan yang digunakan untuk membuat kuah kacang adalah: kacang tanah, cabe merah, bawang putih, kemiri, dan daun salam. Cara pengolahannya adalah: bawang putih dan kemiri ditumis dengan menggunakan sedikit minyak goreng. Setelah tumisan berbau harum diangkat lalu digerus bersama cabe merah dan kacang tanah. Terkecuali kacang tanah yang digerus cukup agak kasar saja, bumbu lainnya digerus hingga benar-benar halus. Selanjutnya bahan diolah di katel dengan menggunakan sedikit minyak goreng dan diolah hingga mendidih. Cara pemakaian atau penggunaan kedua kuah tersebut adalah mencelupkan satu per satu sate cukup sekali saja dalam satu tusuk ke dalam kuah. Apabila hendak dicampur dengan nasi, sudah tersedia sendok pada setiap wadah kuahnya. Dua jenis kuah tersebut hanya ada pada penjual sate maranggi di daerah Plered dan Pasawahan (termasuk pondoksalam dan Wanayasa). Sementara di Cibungur hanya menyediakan kuah kecap saja. Agak berbeda dengan penjual sate maranggi pada umumnya, satu porsi sate maranggi di warung milik Hj. Yetty menyertakan sambal tomat. Adapun bahan yang digunakan adalah: Cabe rawit, Tomat merah, Garam, dan Gula putih. Cara pebuatannya adalah: cabe rawit, garam, dan gula putih digerus kasar lalu tambahkan tomat merah yang telah diiris dan aduk hingga rata. Karena menggunakan bahan mentah, daya tahan sambal tomat tidak terlalu lama. Oleh karena itu, proses pembuatan dilakukan begitu ada pesanan. Acar mentimun juga menjadi sajian pelengkap kuliner sate maranggi. Sajian pendamping tersebut memang kerap ada. Jawaban dari sang penjual biasanya memang terjadi begitu saja sementara mereka tidak mengerti betul fungsi medis dari sajian pendamping tersebut. Mungkin ada sedikit persamaan dengan kuliner pada masyarakat Aceh yaitu sajian segelas air es yang ditambah parutan mentimun sebagai sajian pendamping dari kuliner gule kameng (Gulai Kambing). Bahan yang digunakan untuk membuat acar mentimun adalah: Bawang merah, Cabe rawit, Mentimun, Wortel, Gula pasir, Garam, dan Cuka makan. Proses pengolahan untuk membuat acar cukup mudah. Pertama, Bawang merah dan wortel dikupas kulitnya. Setelah itu bersama mentimun, lalu dipotong kecil-kecil dengan ukuran yang hampir sama. Tabur dan aduk gula pasir, garam, dan cuka ke dalam potongan-potongan bahan tersebut hingga merata. Nasi dan ketan menjadi salah satu bagian yang yang tidak terpisahkan dari kuliner sate maranggi. Nasi yang digunakan tersaji dalam bentuk timbel, sedangkan ketan sebelum disantap harus dibakar dahulu. Sate Maranggi sebagai sebuah karya budaya adalah murni tidak memiliki latar belakang ritual. Kemunculan kuliner ini lebih didasarkan pada nilai ekonomi dan kreativitas masyarakat pada waktu itu yang ingin menambah wawasan budaya kuliner pada menu olahan daging. Efek yang ditimbulkan ternyata bermakna positif dan membuat Sate Maranggi menjadi salah satu aset budaya yang memberikan keuntungan ekonomi serta menjadi kuliner kebanggaan khususnya pada masyarakat di Kabupaten Purwakarta.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047