Uyeg

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800693
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Barat
Responsive image
Menurut keterangan Abah Ita salah seorang bekas pimpinan –terakhir Uyeg-Lama, asal-usul kelahiran seni Uyeg ini, sebagaimana tuturannya dalam bahasa sunda : “Ari diadegkeunana kasenian Uyeg mah, anggeus tibabaheula keneh ku para karuhun menak-menak Bogor” (didirikannya kesenian Uyeg ini, sudah semenjak lama oleh leluhur para bangsawan Bogor). Keterangan lain dari tokoh seorang Tokoh Pajajaran Bogor (Rd. Muchtar Kala, alm), kesenian Uyeg selalu ditampilkan pada upacara “Seuren Tahun Tutug Galur” di Pakwan Pajajaran, sebagai salah satu upacara mengagungkan Ambu Sri Rumbiyang Jati (dewi kesuburan padi) dan Sang Ayah Hyang Guru Bumi (dewa kesuburan tanah). Pelaksanaannya pada waktu malam purnama, setelah delapan hari sebelumnya diawali oleh kegiatan upacara Gondang Pupulur, Gondang Balabar, Gondang Papag Pasang (nyampeur), Gondang Matuh Dumuk (nyalikkeun). Informasi lain yang bisa memperkuat kedua keterangan di atas, yakni sanggahan ADENAN TAUFIK (Seniman/ Karyawan Museum Sejarah Perjoangan Bogor) atas ceramah Drs. WAHYU WIBISANA pada acara pertemuan para budayawan Wilayah – II Bogor dengan para Budayawan Jawa barat bulan Oktober 1987 di pendopo Kabupaten Bogor. Pada forum tersebut Wahyu Wibisana pada ceramahnya mengutarakan tentang kesenian Uyeg sebagai puncak kesenian daerah Kota Sukabumi yang telah cukup terkenal, baik di forum Jawa Barat maupun Nasional. Pada kesempatan itu Adenan Taufik memberikan sanggahan, kalau Seni Uyeg aslinya berasal dari Bogor. Sebagai pembuktian sanggahannya, diutarakan pula bahwa pada waktu itu (Oktober 1987) seni Uyeg-Asli masih ada dan hidup lestari di kampung Leuweung Kolot – Kabupaten Bogor. Dari keterangan-keterangan diatas, semuanya menjelaskan, bahwa seni Uyeg berasal dari Bogor. Hal ini diakui lebih dahulu oleh Abah Ita (Alm) sebelum munculnya kedua informasi dari Rd. Muchtar Kala dan Adenan Taufik. Seni Uyeg yang dipimpin Abah Ita, merupakan rombongan generasi IV dari seni Uyeg “Ayah Akung” dari Cianten - Kabupaten Bogor. Setelah mengarungi perjalanan yang panjang melalui beberapa tempat, seni Uyeg bawaan Ayah Akung ini berakhir di kampung Citepus daerah Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi dan menemui kemusnahannya pada tahun 1950-an dalam pimpinan Abah Ita. Beranjak dari data-data informasi di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa asal-usul seni Uyeg dapat dipastikan merupakan “Kelahiran Bogor”, setidak-tidaknya pernah hidup serta mengalami kegemilangannya di Bogor. Dalam kaitan dengan proses kelahirannya, informasi dari Rd. Muchtar Kala dihubungkan dengan dasar-dasar filosofi dari ciri-ciri mithis yang masih lekat dan utuh pada setiap repertoirenya, memiliki proyeksi penanganan terrencana. Pakwan Pajajaran sebagai sentra peristiwa-peristiwa seremonial yang lekat dengan bias pengaruh keraton, akan besar pula pengaruhnya kepada nilai serta mutu ritual Seni Uyeg yang difungsikan sebagai salah satu wahana pengagungan “Sri” dan “ Guru Bumi” pada masa itu. Dalam arti, seni Uyeg yang difungsikan sebagai pengisi upacara ritual, proses pelahirannya tidak terlepas dari konsep-konsep hasil pemikiran manusia-manusia yang telah mapan. Figur mithis Sri dan Guru Bumi (Kuwera) sangat melekat (inherent) dalam pandangan hidup ritus masyarakat agraris ladang, seperti kini masih bersisa di lingkungan masyarakat kanekes (Baduy) dan beberapa daerah Banten Selatan lainnya. Secara hipotesis, ketatnya sikap religi inilah yang mampu mempertahankan ciri-ciri mithis arkaik pada kesenian Uyeg yang punah pada dasawarsa tahun 1950-an Misi filosofis dibalik ciri–ciri mithis arkaik seni Uyeg, mengandung tuntutan bagi manusia sebagai makhluk jagat raya yang mesti yakin atas kekuasaannya Sang Maha Pecipta, antara lain: Ciri Pertama : makna filosofis kata “Uyeg”. Uyeg = Oyag (goyang, bergerak). Kata Uyeg dimaknai gambaran Alam-Semesta serta isinya, yang atas kodratnya masing-masing tiada henti bergerak. Bulan, matahari, bumi, angin, air, bahkan fikiran manusia terus bergerak tak pernah beku. Ciri Kedua : makna filosofis kain backdrop dwi-warna Hitam Putih yang disebut “Peundeung”. Warna hitam melambangkan “Buana Peteng” dan warna putih lambang “Buana Padang”. Dua sifat alami yang berlawanan : siang dan malam, hujan dan kemarau, jantan dan betina, susah dan senang, hidup dan mati, salah dan benar. Kain peundeung dalam setiap pergelaran, senantiasa goyang, baik disengaja digerak-gerakkan oleh para pemain yang menunggu dibelakangnya, atau karena tanpa sengaja ditiup angin. Bergerak kain ini sebagai menifestasi dari gambaran uyegnya “Alam Uyeg” (Alam Semesta). Ciri Ketiga : adanya peran karakter “tetap” dalam seluruh repertoir, yakni peran “Raja Uyeg” (lengkapnya Sanghyang Raja Uyeg). Tokoh karakter ini pemunculannya selalu tiga kali dalam setiap cerita, yakni pada awal cerita mau dimulai, interval ditengah-tengah cerita dan pada catastrophe (akhir cerita). Tokoh ini melambangkan “Penguasa Alam Uyeg”, berkuasa melahirkan (pemunculan pertama), menghidupkan dan menghidupi (pemunculan ditengah cerita) dan memusnahkan (pemunculan akhir) Ketiga ciri utama diatas membuktikan kejelasan adanya persistensi konsepsi dari pada pelahir awal Seni Uyeg, dalam proses pelahirannya. Dari penggunaan kain backdrop berwarna “Hitam-Putih” pun disisi makna filosofis sebagaimana dipaparkan diatas, ini pun ada misi terselubung dari sikap ketaatan kepada makna lambang keagungan “Pajajaran” yang diwujudkan dalam bentuk “Umbul-Umbul Hitam Putih” (Bendera Pajajaran). Beberapa generasi Seni Uyeg serta nama-nama tokoh dan daerah kegiatannya, yang sampai kepada Abah Ita sebagai pimpinan Seni Uyeg (Lama) terakhir, antara lain : Generasi 1: Seni Uyeg Cianten – Kabupaten Bogor, pimpinan “Lurah Panjak” AYAH AKUNG Generasi 2: Seni Uyeg Kampung Palanggaran – Kabupaten Sukabumi, pimpinan Lurah Panjak AKI SATIM (Aki Satim anak Ayah Akung, setelah Ayah Akung meninggal, Aki Satim menggantikannya memimpin Uyeg Cianten, yang kemudian membawa pindah rombongannya lalu menetap di Kampung Palanggaran) Generasi 3: Seni Uyeg Cikelat – Kabupaten Sukabumi, Pimpinan AMBU SINAH. (Ambu Sinah seorang Ronggeng Uyeg Satim ia dipercaya oleh anggota rombongannya untuk menggantikan pimpinan. Kemudian Ambu Sinah pun membawa pindah rombongannya ke kampung Citepus daerah Pelabuhanratu) Generasi 4: Seni Uyeg Citepus – Kabupaten Sukabumi, Pimpinan ABAH ITA. (Abah Ita anak Ambu Sinah hasil perkawinannya dengan Aki Satim). Ia menggantikan ibunya memimpin Seni Uyeg Citepus, karena Ambu Sinah bersuami lagi dengan Ki Aryana orang Kampung Cikaret dan menetap di Cikaret). Generasi 5: Seni Uyeg Kota Sukabumi, pimpinan Anis Djatisunda, diteruskan oleh keturunan Anis Djatisunda yaitu Isma Sundamaya dan Wilang Sundakalangan.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047