Bedhaya Kuwung-Kuwung

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800700
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image
Bedhaya Kuwung-Kuwung adalah salah satu karya tari klasik gaya Yogyakarta dan menjadi salah satu karya pusaka di Kraton Yogyakarta. Dalam lirik kandha, disebutkan bahwa Bedhaya Kuwung-Kuwung lahir pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (lahir 4 Februari 1839, naik tahta 13 Agustus 1877). Selain itu disebutkan pula dalam lirik sindenan di dalam awal tarian seirama Gendhing Kuwung-Kuwung, ”...murweng gita, Kaping sapta, Sayidina Nungsa Jawa Adiningrat...”, Artinya,....telah siap perhelatan, (Sultan) yang ke tujuh, pemimpin bangsa Jawa Adiningrat. Daftar gerakan tari berupa deskripsi, pola lantai, dan pencocokan dengan gending beserta siklus gongannya digunakan naskah yang ada di Kraton Yogyakarta, yaitu Naskah K.159d-B-S 42, berisi naskah-naskah Cathetan Beksa Ringgit Tiyang, Bedhaya sarta Srimpi, pada naskah Beksa Bedhaya Kuwung-Kuwung(halaman 51-60). Naskah K.140 –B/S 19 yang berisi teks Serat Pesidhenan Bedhaya Utawi Srimpi, diantaranya Bedhaya Gendhing Kuwung-Kuwung (hal. 1-11) dan naskah K.145 –B/S 24 yang berisi teks Serat Kandha Bedhaya Utawi Srimpi dalam naskah Bedhaya Gendhing Kuwung-kuwung (9-14). Ketiga sumber tersebut menyebutkan bahwa naskah Bedhaya Gendhing Kuwung-Kuwung yang direkonstruksi tahun 2005 ini dari naskah yang disusun di masa Sri Sultan HB VII dan HB VIII. Gerakan tariannya dari sumber HB VII sementara rias busana dan iringan gendingnya dari Sultan HB VIII. Rias busana Bedhaya Kuwung-Kuwung tidak menggunakan model paes-basahan-berkemben melainkan sudah menggunakan jamang, bulu-bulu, dan baju tanpa lengan berbahan beludru. Bedhaya Kuwung-Kuwung lahir dan dipergelarkan pada masa perubahan besar dunia pendidikan bagi kaum pribumi, pertumbuhan seni-budaya yang makin terbuka dan demokratis, serta dukungan bagi kemajuan pergerakan kebangsaan di era Sultan HB VII. Kata ”kuwung” dalam Kamus Bahasa Jawa (2001;439) dimaknai sebagai (1) kuwung, jegong melengkung kaya wanguning wajan Lsp; Kekuwungen keluwihan kuwunge;(2) kuwung, glodog ut bolongan kanggo pasangan glathik Lsp;(3) kuwung (kuwung-kuwung), kluwung;(4) kuwung, kekuwung KN teja;sorot;nguwung (ngenguwung) sumorot; mawa sorot. (artinya 1. Kuwung, lengkung sebagaimana terlihat pada lengkung wajan penggorengan;kekuwungen, terlalu lengkung, 2. Kuwung, lubang yang digunakan untuk sepasang burung gelatik.3. Kuwung-kuwung, pelangi. 4. Kuwung, kekuwung, cahaya, sinar. Nguwung atau ngenguwung, bercahaya, bersinar penuh). Bedhaya Kuwung-Kuwung juga diartikan sebagai deskripsi ”keindahan pelangi” untuk menggambarkan keindahan Bedhaya sekaligus melambangkan cahaya keindahan di bawah kepemimpinan HB VII, kepemimpinan yang terpayungi ”aura tujuh warna indah”. Oleh sebab itu, Bedhaya Kuwung-Kuwung adalah Bedhaya yang mengangkat keindahan agung penari Kraton, bergerak gemulai bagaikan pelangi menebarkan cahaya penuh warna. Cahaya indah tujuh warna membentuk lengkung busur di langit seakan berfibrasi yang memberi daya arah ke dalam ranah penghayatan atas kharisma Sultan sebagai pemimpin rakyat. Bedhaya Kuwung-Kuwung dipergelarkan oleh Sultan HB VII untuk sajian perayaan ketika ia mendapatkan ”Agem ageman Bintang Ageng Kunendor” dari Gubernen sebagai pencapaian strategi politik atas diplomasi budaya yang telah dilakukan. Rangkaian tarian Bedhaya Kuwung-Kuwung terbagi dalam beberapa sub. Pertama, seluruh bagian dalam tarian ini yakni para niyaga dan warang-waranggana siap diantara instrumen gamelan, duduk di belakang instrumen gangsa, menghadap Dalem Ageng, para penari Bedhaya berdiri berjajar dari arah kiri memasuki pendhopo; Keprak menjadi tanda dimulainya tarian dengan diiringi lirik Lagon Pelog Barang Wetah yang dirambah dengan iringan aksentuatif beberapa instrumen saja utamanya gender dan rebab. Setelah selesai lagon pertama, kemudian dikumandangkan gending Gati Helmus, berderam diimbuh debur snar drum yang berderap penuh getar bak langkah prajurit, yang terpadu dengan pola tiupan terompet dan tabuhan mantap gagah berkharisma. Bersamaan dengan itu sembilan penari Bedhaya Kuwung-Kuwung berbareng dalam jajaran baris dan melangkah ritmis menuju tengah pendapa. Mula-mula berjalan menuju arah tengah pendapa di antara empat saka guru. Langkahnya perlahan tapi tegas dan pasti, tubuhnya tegak, tapak kakinya meski dilangkahkan dengan karakter feminin, namun tampak lembut mantap, sementara kedua belah lengan tiap-tiap penari tetap terjaga posisi dan jaraknya, lurus ke bawah searah tegap badan mereka. Sesaat setelah seluruhnya berada di tengah pendapa, para penari bersalin arah hadap ke arah Dalem Ageng. Lalu mereka perlahan duduk di lantai pendapa, bersila dan bersiap serapi mungkin sebelum mulai menari. Duduk taksim dan diam, Kedua, ketika para penari telah duduk rapi berjajar dalam formasi awal bedhaya, berjajar di garis tengah sebanyak lima penari, sementara itu dua lainnya berjajar dekat di belakang serta dua lainnya duduk berjajar berada di depan. Saat formasi duduk awal ini sudah terbentuk, gending Gati Helmus berhenti dan langsung disusul Lagon Pelog Barang Jugak. Posisi penari masih duduk dengan sikap yang tegus dalam posisi siap menari. Kemudian dilanjutkan dengan Pamaos Kandha yang diisi dengan lirik Kandha Bedhaya Kuwung-Kuwung. Selesai tahap ini dilanjutkan waranggana menembangkan Sekar Mengatruh sebanyak dua bait dan disambung Gending Kuwung-kuwung. Penari terus bergerak dalam sesembahan dodok dan ditahap ini Bedhaya Kuwung-kuwung dianggap telah benar-benar dimulai. Penari terus bergerak, gending terus mengalir dan lirik sindenan melantun ritmis bersama menyatunya gerak dan gending. Gerak diirit keprak, gending mengikut keprak, gerak Bedhaya terus mengalir tanpa putus, tanpa henti seakan para penari merambati alir dan alun nada dalam gerak yang lembut, halus, dan pelan terjaga. Ketiga, setelah sesembahan dhodok, sembilan penari mulai berdiri dan bergerak merambati nada irama gamelan dalam gerak sambung-menyambung antara begitu banyak ragam tari Bedhaya dan teknik pencapaian estetiknya. Bergerak dari Ngeceng Encot disusul Impang-Nggurda-Impang Encot berulang dengan berbagai variasi ragam berikutnya sampai juga ragam Lampah Semang dan seterusnya merambah ragam-ragam tari Bedhaya berikutnya, membangun suatu komposisi dalam beragam formasi perubahan bentuk, varian-varian lajur dan deret, irisan simetris atau diagonal, sehadap atau ungkur-ungkuran bersama atau berseliringan, bahkan putaran manggilingan yang terus bergerak mengalir tanpa putus. Bedhaya Kuwung-kuwung tidak saja indah menawan, tetapi juga sarat makna berikut pesan-pesan moral hidup berkesetaraan, hidup berdampingan, dan saling menghargai. Bedhaya Kuwung-kuwung menjadi bagian penting dalam melestarikan kesenian sebagai bagian dari strategi diplomasi kebudayaan yang mampu mempersatukan masyarakat.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047