Macapatan Yogyakarta

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800706
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image
Macapat merupakan tradisi melagukan tembang pada Masa Jawa Baru. Sebelum dikenal tradisi macapat, pada masyarakat Masa Jawa Kuno dikenal tradisi kakawin dan kidung. Tradisi kakawin yang berasal dari kata “kawin” merupakan tradisi melagukan tembang dengan aturan-aturan yang berasal dari India, sedangkan pada masa jawa pertengahan masyarakat mengenal adanya tradisi kidung yang masih memiliki sedikit kesamaan dengan Kakawin yakni dengan melagukan tembang yang masih memiliki pengaruh india, namun aturan atau mentrumnya merupakan aturan jawa. dalam pembacaan kidung dan kakawin para penyair harus memperhatikan car abaca panjang-pendeknya suatu teks seperti dalam pembacaan Al-Qur’an. Pada masa Jawa Baru kemudian masyarakat mulai mengenal tradisi macapatan dengan nada yang lebih sederhana dibanding Kakawin dan Kidung serta memiliki aturan notasi tersendiri. Terdapat perbedaan antara tembang Kakawin, Kidung dan Macapat, jikalau Tradisi Kakawin dan Kidung tidak terlalu mempermasalahkan Guru Gatra dan Guru Lagu, dalam Tradisi Macapat aturan tersebut sangat diperhatikan. Macapat memiliki tiga metrum atau aturan baku yang harus selalu dijadikan sebagai patokan yaitu; 1) Guru gatra merupakan jumlah baris dalam satu baris; 2) Guru Wilangan merupakan Jumlah suku kata dalam tiap baris; 3) Guru Lagu merupakan vokal terakhir dalam setiap baris. Bahasa yang digunakan dalam macapat tergantung bahas yang ditulis dalam naskah, babad atau serat yang akan dilagukan. Akan tetapi pada umumnya, Bahasa yang digunakan merupakan Bahasa Jawa Baru. Tradisi macapat dikenalkan dan dipopulerkan secara luas oleh para wali sebagai salah satu jalan dakwah untuk menarik masyarakat Jawa menganut agama Islam. Hal ini didukung dengan kajian antropologi yang telah dilakukan dengan metode kajian naskah yang menunjukkan bahwa Tembang Asamarandana dan Tembang Pocung telah dikenal oleh masyarakat sebelum kemudian diperkenalkan kembali oleh para wali. Menurut Bagus (Mahasiswa Filologi UI) mengatakan bahwa mungkin saja, setelah keruntuhan Majapahit Para Wali mulai menciptakan jenis tembang macapat lainnya dan kemudian diperkenalkan kepada masyarakat. Menurut Bapak Romo Pradja Suwarsana, metode yang digunakan oleh para wali merujuk kepada hal-hal atau sesuatu yang digemari masyarakat ketika itu. Oleh karena itu, masyarakat mengenal macapat sebagai salah satu tradisi yang diperkenalkan oleh para wali. Manfaat Macapat 1.Digunakan untuk membaca doa”Ana kidung remokso ing wengi, teguh ayu luput ng loro luput o billahi kabeh, jin syetan datang purun, paneluhan tan ono wani….” (Doa dijauhkan dari bala atau bahaya). 2.Bisa untuk membaca sejarah seperti membaca Babad Majapahit, Mataram, Padjajaran dan lain sebagainya. 3.Bisa membaca serat (nasihat-nasihat yang ditulis oleh para pujangga). 4.Bisa untuk kepentingan masa kini seperti perayaan pesta rakyat atau sponsorsip. Makna Macapat Pemaknaan macapat tergantung pada orang yang melagukan atau membacakan syair macapat. Pada umumnya setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda. Seperti makna yang dipahami oleh Bapak Rama Pradja Suwarsana, bahwa macapat mengandung nilai kehidupan yang terkandung di setiap tembangnya yang dijelaskan sebagai berikut: 1.Tembang Mijil menggambarkan bayi yang baru lahir 2.Tembang Kinanthi merupakan gambaran balita atau masa yang menyenangkan dan membahagiakan. 3.Tembang Sinom merupakan gambaran anak yang beranjak remaja 4.Tembang Asmaradana merupakan tembang yang menunjukkan timbulnya benih asmara antara laki-laki dan perempuan. 5.Tembang Gambuh menunjukkan pertemuan dua sejoli dengan pasangan atau jodohnya. 6.Tembang Dhandhanggula menunjukkan kehidupan setelah menikah yang masih dipenuhi perasaan bahagia tanpa memikirkan kesengsaraan atau kesedihan. 7.Tembang Durmo menunjukkan lika-liku kehidupan setelah berumah tangga dalam kondisi sedih dan sengsara. 8.Tembang Pangkur menunjukkan kehidupan lansia sehingga dalam tembang ini menasehati orang supaya menurangi emosi dan ambisi duniawi. 9.Tembang Megatruh menunjukkan berpisahnya raga dan ruh atau kematian. 10.Tembang Pocung menunjukkan ketika orang yang sudah meninggal diberikan kain kafan. 11.Tembang Maskumambang menunjukkan sebuah teka-teki dengan adanya kehidupan setelah mati dengan dua pilihan masuk surga atau neraka. Ke-11 tembang tadi merupakan filsafah yang dibuat seseorang atau sebuah rekayasa seseorang. Sifat tembang yang telah dijelaskan di atas tidak selalu benar karena terkadang terdapat tembang yang penulisannya tidak sesuai dengan karakter atau sifat tembang tersebut, namun pada umumnya tembang-tembang ditulis sesuai dengan karakternya. Jikalau penulis sudah mengetahui karakter tersebut maka penulis akan menyesuaikan dengan sifat dan karakter tembang. Tembang Macapat pada umumnya ditulis oleh para pujangga atau penyair di suatu daerah. Saat ini tembang dapat ditulis oleh siapapun, tidak ada larangan atau aturan bahwa macapat merupakan milik seseorang atau status social tertentu. satu hal yang harus ditaati bahwa penulis harus tetap mengikuti aturan-aturan baku yang sudah ada dalam macapat. Perkembangan Tradisi Macapat Pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, Tradisi Macapat mulai dipopulerkan kembali. Sultan HB VII yang sangat peduli tentang pendidikan, industry dan kesenian mewajibkan para keluarga kerajaan untuk mempelajari dan melestarikan tradisi macapat. Pada awal perkembangannya, Macapat hanya diperuntukkan oleh keluarga istana seperti anak, adik dan kerabat raja, namun lama kelamaan para abdi dalem keraton mulai mempelajari dan menyukai tradisi tersebut kemudian dikenal oleh masyarakat luas sehingga pada tahun 1960-an didirikanlah sekolah khusus Macapat bagi masyarakat. Selain di Keraton Yogyakarta, berdasarkan Babad Pakualaman dijelaskan bahwa tradisi macapat telah dilakukan sejak PA I-PA IV setiap hari jum’at di Pendhapa Pakualaman, macapat dibacakan oleh abdi dalem di hadapan adipati atau raja dan keluarga kerajaan serta terdapat orang yang bertugas untuk membedah atau menjelaskan isi dan maksud dari macapat tersebut. Pada umumnya macapat yang disyairkan berasal dari serat atau babad yang berisi tentang nasihat-nasihat, namun saat ini tradisi tersebut sudah tidak ada dan rencananya akan dihidupkan kembali pada hari sabtu kliwon. Macapat merupakan kesenian vokal tanpa iringan. Macapat kemudian berkembag menjadi “gendhing” yaitu tembang yang ditambahkan iringan atau instrument, dan semakin berkembang menjadi capmpursari atau gendhing yang diiringi dengan instrument gamelan. Teks yang digunakan dalam macapatan berganti-ganti berupa babad, serat atau nasihat yang dimiliki keraton yang isinya lebih ke nasehat karena intinya ditujukkan untuk memberikan nasihat.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047