Benthik Yogyakarta

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800707
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image
Benthik adalah permainan anak, yang mempergunakan dua ranting kecil. Saat kedua ranting ini beradu maka muncul suara “thik, thik” sehingga berdasar proses onomatope permainan ini disebut “Benthik”. Benthik dimainkan dengan dua ranting kayu yang berukuran panjang (sekitar 30 cm, disebut “benthong”) dan yang berukuran pendek (sekitar, disebut “janak”) . Keduanya memiliki diameter sekitar 1 cm. Ranting panjang dipergunakan untuk memukul ranting yang lebih pendek. Permainan ini memerlukan halaman yang bersih (tidak ada tumbuhan), rata dan cukup luas. Benthik diawali dengan membuat lowakan atau ceruk kecil di tanah tempat janak dtempatkan dalam posisi melintang di atasnya.Agar tongkat tidak mudah patah saat digunakan, hanya kayu berstruktur ulet dan kuat yang boleh dipakai, seperti kayu pohon Jambu Biji, kayu pohon Mangga, kayu pohon Klengkeng, kayu pohon Kemuning, atau sejenisnya. Kerapkali kami harus blusukkan ke dalam kebun untuk mendapatkan ranting kayu yang memenuhi syarat dengan resiko bentol-bentol digigit nyamuk atau gatal-gatal terkena ulat bulu. Ranting pohon kemudian dipotong menjadi dua bagian dengan panjang masing-masing 30 cm dan 10 cm. Kulit kayu dikelupas dengan hati-hati menggunakan pisau untuk membuat kedua permukaan tongkatlebih halus. Pembagian tugas jelas berlaku di sini. Biasanya ada yang menghaluskan tongkat kayu, sedangkan yang lain menggali luwokan, lubang luncur pada permukaan tanah dengan panjang kurang lebih 15 cm dan lebar 5 cm. Permainan Benthik diawali dengan hongpimpa. Tentunya siapa yang menang, maka ia akan memperoleh giliran main yang pertama. Sementara itu, pihak yang kalah mau tidak mau harus jaga. Lalu bagaimana Benthik dimainkan?. Nah, inilah caranya. Pertama, sang pemain memasang tongkat yang pendek di atas lubang luncur secara melintang. Lalu, tongkat ini harus didorong sekuat tenaga dengan bantuan tongkat panjang supaya dapat melambung sejauh mungkin. Dalam bahasa Jawa, ini disebut dengan istilah nyuthat. Bila lawan berhasil menangkap tongkat pendek yang melambung tersebut, maka ia akan mendapatkan poin. Pihak lawan biasanya akan berusaha mati-matian untuk dapat menangkap tongkat pendek supaya bisa mencuri poin sebelum mendapat giliran untuk bermain. Besarnya poin ditentukan dari cara pihak lawan menangkap tongkat pendek; 10 poin untuk menangkap dengan dua tangan, 25 poin untuk menangkap dengan tangan kanan, dan 50 poin apabila berhasil menangkap dengan tangan kiri. Kemudian, sang pemain diminta meletakkan tongkat panjang di atas lubang luncur dengan posisi melintang. Sedangkan, pihak lawan bertugas melempar tongkat pendek yang telah dilontarkan tadi ke arah tongkat panjang tersebut. Bila tongkat pendek mengenai atau menyentuh tongkat panjang, maka giliran bermain akan berganti ke pihak lawan. Tahap kedua dari permainan Benthik adalah namplek. Pada tahap ini, konsentrasi penuh diperlukan. Sang pemain harus melempar tongkat pendek ke udara terlebih dahulu, lalu dipukul sekuat tenaga dengan tongkat panjang sejauh mungkin. Pihak lawan yang jaga harus melempar tongkat pendek ke arah sang pemain. Di sini, ketangkasan sang pemain benar-benar diuji apakah mampu memukul balik tongkat pendek atau tidak. Penghitungan poin bagi sang pemain dilakukan dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke lubang menggunakan tongkat panjang. Semakin jauh tongkat pendek jatuh, maka semakin banyak poin yang didapatkan. Namun, poin yang dikumpulkannya akan hangus begitu saja jika lemparan tongkat pendek dari pihak lawan malah masuk ke dalam lubang. Inilah momen yang paling ditunggu-tunggu banyak pemainuntuk membuat bangkrut lawan. Lanjut ke tahap ketiga, Nuthuk, bila sang pemain berhasil mengumpulkan poin dalam tahap sebelumnya. Pada tahap ini, sang pemain harus meletakkan tongkat pendek pada lereng lubang luncur dengan posisi miring 45 derajat. Ia harus memukul ujung tongkat pendek yang menyembul ke permukaan tanah dengan tongkat panjang agar dapat mengudara, lalu dipukul lagi sejauh mungkin. Biasanya, sang pemain akan mendapatkan kesempatan kedua, bila pukulan pertama tidak berhasil. Jika ternyata masih gagal lagi, maka giliran bermain jatuh ke tangan pihak lawan. Akan tetapi, dalam tahap ketiga ini, sang pemain berkesempatan untuk mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya yang ditentukan oleh berapa kali ia memukul tongkat pendek. Nah, tahap ini merupakan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan angka atau untuk bisa memenangkan permainan. Kecekatan berhitung para pemain pun dituntut di sini. Bila sang pemain berhasil memukul tongkat pendek saat tongkat tersebut melayang di udara, maka ia memperoleh multiple poin yang dihitung dari perkalian antara angka pengkali berdasarkan jumlah pukulan (10 poin untuk satu kali pukulan, 20 poin untuk dua kali pukulan, dan seterusnya) dengan poin yang dihitung dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke arah lubang. Sebagai ilustrasi, seorang pemain berhasil memukul tongkat pendek dua kali, maka ia memperoleh angka pengkali sebesar 20 poin, sedangkan jarak jatuhnya tongkat pendek ke lubang adalah 15 kali tongkat panjang. Maka total poin yang ia kumpulkan dalam tahap ini adalah 20x15=300. Cukup besar bukan? Ketiga tahap permainan Benthik tersebut akan diulangi dari awal dalam beberapa kali putaran sesuai kesepakatan diantara para pemainnya. Pemain yang menang adalah yang berhasil mengumpulkan poin terbanyak dalam ketiga tahap di atas. Yang tak kalah menarik di sini adalah adanya hukuman bagi yang kalah, misalnya kewajiban menggendong pemain yang menang oleh pemain yang kalah dari satu tempat ke tempat lainnya. Meski terdengar rumit, tapi permainan ini sungguh asyik untuk dimainkan. Pelajaran moral di balik permainan Benthik Permainan Benthik tak sekedar menyenangkan, namun di dalamnya juga terkandung falsafah kehidupan yang dapat kita petik dan semai pada kehidupan nyata. “Hongpimpa Alaium Gambreng”, kalimat yang biasa diucapkan oleh para pemain sebelum permainan dimulai untuk menentukan siapa yang berhak bermain dahulu memiliki makna agung “Dari Tuhan, Kembali ke Tuhan, Mari Kita Bermain. Kalimat ini merupakan sebuah pengingat saat bermain sekalipun bahwa manusia adalah milik Tuhan. Karena kita ada yang memiliki, maka dari itu setiap perbuatan akan dipertanggung-jawabkan kepada Dzat Pemilik kita, yaitu Tuhan YME. Semua permainan tradisional memiliki peraturan yang disepakati, meskipun peraturan itu tak tertulis. Apakah itu terkait dengan giliran bermain, aturan nilai, atau mekanisme reward and punishment. Merupakan suatu kewajiban bagi yang memainkannya untuk menaati semua peraturan agar permainan dapat berjalan dengan tertib dan lancar. Bayangkan saja bila masing-masing pemain menuruti keinginannya saja, pasti permainan akan bubar. Hal ini mengajarkan kepada anak-anak untuk selalu mematuhi peraturan, serta menjaga harmoni hubungan sosial dengan orang lain. Sikap semacam ini sangat sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Jawa, crah agawe bubrah-rukun agawe santosa. Semua pemain tentunya ingin menang dalam setiap permainan Benthik, namun cara-cara yang ditempuh untuk mewujudkannya harus dilandasi rasa kejujuran. Maka di sini, kerja keras dan sportifitas sangat ditekankan. Untuk mencetak poin, ketangkasan dan kecekatan berhitung juga tak boleh dilupakan. Dalam sebuah permainan, akhirnya akan ada pihak yang menang, begitu juga ada pihak yang kalah. Sikap mengakui kemampuan pihak yang menang dengan menerima kekalahan atau legowo perlu ditunjukkan oleh pihak yang kalah. Bagi yang menang, sikap rendah hati, tidak sombong atau andap-asor kepada yang kalah juga harus dimunculkan. Melestarikan Benthik dari rumah kita sendiri Seperti permainan tradisional lainnya, Benthikseolah tenggelam oleh berbagai permainan modern yang kini lebih digandrungi anak-anak pada umumnya. Bahkan, kebanyakan dari mereka tidak mengenal sama sekali apa itu permainan Benthik. Padahal, Benthik sangat bermanfaat untuk membangun karakter positif mereka dalam hal interaksi sosial. Sedangkan permainan modern, terutama online games, playstation (PS)dangameselektronik yang mengandalkan kecanggihan komputer berpotensi membentuk sikap asosial anak terhadap lingkungannya karena biasanya permainan berlangsung secara individual. Apabila berlangsung berkelompok pun, interaksi sosial antar anak sangat terbatas, sehingga keterlibatan emosi sang anak minim. Dalam tahap usianya, anak-anak tetap saja membutuhkan media untuk mengenali lingkungan sosialnya dengan baik dengan cara-cara yang menyenangkan. Permainan tradisional bisa direvitalisasi kembali untuk memenuhi tugas tersebut, serta membentuk karakter positif anak-anak kita. Bila belum secara luas terealisasi di tengah-tengah masyarakat, kita dapat memulainya dari rumah kita sendiri. Ketimbang bepergian ke mall, anak-anak dapat kita ajak bermain aneka permainan tradisional di halaman rumah untuk mengisi liburan, misalnya dengan bermain Benthik. Jangan lupa juga untuk membawa anak-anak menggali nilai-nilai moral yang terkandung dalam setiap permainan tradisional, dan bagaimana kemungkinan penerapannya dalam kehidupan nyata. Bila setiap keluarga mau mempraktikkan hal di atas, bukan tidak mungkin permainan tradisional tetap akan lestari. Dan yang tak kalah penting, kita bisa mentransfer falsafah hidup yang berharga kepada anak-anak kita melalui media yang jauh dari kata membosankan

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047