Saparan Wonolelo

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800709
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image
Pelaksanaan upacara adat Saparan dilatarbelakangi oleh rasa penghormatan masyarakat Wonolelo kepada leluhur atau kepada pepunden, khususnya Ki Ageng Wonolelo. Ki Ageng Wonolelo adalah pahlawan yang telah berjasa dalam menanamkan norma-norma dan nilai budaya pada masyarakat Wonolelo. Selain itu, upacara Saparan juga bertujuan agar masyarakat mendapatkan keselamatan dan ketenangan batin. Selanjutnya, dalam rangkaian upacara saparan tersebut, terdapat kirab pusaka Ki Ageng Wonolelo yang konon ceritanya pusaka-pusaka tersebut berkaitan erat dengan asal usul Pondok Wonolelo. Ki Ageng Wonolelo atau nama lain Syekh Jumadigeno merupakan anak dari Syekh Khaki (Jumadil Qubro), cucu dari Pangeran Blancak Ngilo, dan cicit dari Prabu Brawijaya V. Syekh Jumadigeno memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Wasibageno dan Panembahan Bodo. Syekh Jumadigeno dan Syekh Wasibageno berguru kepada kakeknya, Syekh Jumadil Qubro di daerah Turgo dan kepada pamannya, Syekh Jimat. Setelah memiliki ilmu yang cukup, keduanya ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam di tempat yang berbeda. Syekh Wasibageno ditugaskan untuk berjalan ke arah timur sampai ke hutan Dwarawati di daerah Jatinom, Klaten; sedangkan Syekh Jumadigeno berjalan ke arah hutan (Wono) yang terlihat jelas (Malelo) (www.Navigasi-budaya.Jogjaprov.go.id). Di sanalah kemudian Syekh Jumadigeno membabat hutan itu dengan menggunakan baju ontrokusumo dan bandil (Sukesthi, 2013). Orang yang pertama kali menggagas upacara adat Saparan ialah: Bapak Purowidodo (Pak Lurah Widodomartani) bersama Kepala Dukuh Pondok Wonolelo pada tahun 1967. Keduanya memiliki ide dan gagasan untuk melangsungkan upacara dengan mengumpulkan trah atau keturunan Ki Ageng Wonolelo dan merancang kegiatan yang akan dilaksanakan. Setelah bermusyawarah dan masyarakat bersepakat, semua keturunan Ki Ageng Wonolelo diundang dan diminta untuk mengumpulkan pusaka yang tersebar di beberapa tempat untuk disatukan dan diarak keliling kampung sampai ke tujuan akhir, yaitu kompleks makam Ki Ageng Wonolelo. Pusaka tersebut disimpan di dalam rumah Tiban. Warisan Pusaka Ki Ageng Wonolelo meliputi : 1.tombak, teken (tongkat) dan baju Ontrokusumo, disimpan di Pondok Wonolelo; 2.kitab suci Al-Qur’an yang ditulis tangan oleh Ki Ageng Wonolelo, disimpan di Kalasan 3.potongan Kayu Mustaka Masjid, disimpan di Cangkringan; 4.bandil, disimpan di Jatinom, Klaten; dan 5.kopyah, disimpan di Umbul Martani. Pada awal pelaksanaannya, upacara Saparan dimulai dengan kirab pusaka Ki Ageng Wonolelo, lalu dilanjutkan dengan tahlilan dan do’a bersama trah. Setelah itu, upacara diisi dengan nyekar (berziarah) dan pada penghujung upacara diisi dengan penyebaran apem untuk masyarakat sekitar. Upacara dilaksanakan pada malam hari dengan menggunakan petromaks atau lampu minyak sebagai penerang. Suasana upacara pada zaman dahulu terkesan sangat khidmat dan mistis ditambah lagi lingkungan Pondok Wonolelo yang masih berupa hutan dan terkesan masih “wingit” seram atau menakutkan. Ketika kirab pusaka berlangsung, suasana di sekitar tempat upacara hening, pasar malam tidak ada yang berani membuka dagangannya, pargelaran kesenian dihentikan, dan para pengunjung terdiam tidak ada yang berani bersuara selama arak-arakan pusaka berlangsung. Seiring dengan perkembangan zaman, upacara Saparan semakin meriah dengan disertai rangkaian acara yang padat. Pembukaan upacara adat Saparan diawali dengan pengajian akbar yang diselenggarakan di Masjid Ki Ageng Wonolelo. Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan rangkaian kegiatan lainnya seperti: (1) pertunjukan Jathilan; (2) pengajian; (3) pentas seni anak; (4) pasar malam; (5) pentas musik dangdut; (6) pentas musik campur sari; (7) pertunjukan tari-tarian; (8) senam; (9) pagelaran macapat; (10. Srontol; (11). Kethoprak; (12). Sholawatan; (13) Acara puncak kirab pusaka dan pembagian apem kepada masyarakat; dan (14) wayang kulit. Seluruh rangkaian acara tersebut dilaksanakan selama dua minggu berturut-turut, dan acara puncaknya berupa kirab pusaka dan pembagian apem yang dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon. Komponen yang mesti ada di dalam upacara Saparan ialah apem dan sesaji. Apem adalah sejenis makanan yang terbuat dari kelapa dan tepung ketan. Apem mulai diperkenalkan oleh Ki Ageng Wonolelo saat seusai menunaikan ibadah haji. Apem sendiri berasal dari kata Afuwun atau ampunan. Pembagian kue apem bertujuan untuk memberikan nasihat kepada masyarakat jika pergi kemanapun dengan memiliki perasaan penuh ampunan maka tidak akan mendapatkan musuh atau masalah. Dalam arti, jika orang memiliki sifat penuh dengan ampunan dan mudah untuk memaafkan orang lain, dia akan memiliki banyak teman dan kawan. Sesaji merupakan “makanan” yang disiapkan untuk dipersembahkan kepada roh leluhur, terutama Ki Ageng Wonolelo yang memiliki jasa yang sangat besar bagi masyarakat Pondok Wonolelo. Sesaji terdiri atas sembilan komponen, diantaranya adalah (1) tumpeng robyong, berupa nasi tumpeng yang dibuat dengan 3 tingkatan; (2) ingkung ayam panggang; (3) pisang raja; (4) kembang telon yang terdiri dari kembang mawar, melati, dan kanthil; (5) buah-buahan terdiri dari 2 buah apel, 3 buah jeruk, dan 3 buah salak; (6) daun kluwih 5 lembar; (7) tumpeng; (8) sembilan telur ayam kampung; (9) kerupuk udang atau peyek. Makna dari semua sesaji ialah harapan masyarakat terhadap pencipta semesta supaya diberikan kebaikan, ketentraman, kebahagiaan, kemudahan, kelancaran untuk semua urusan. Selain itu, makna sesaji juga sebagai rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan kepada masyarakat Pondok Wonolelo. Upacara Saparan Ki Ageng Wonolelo memiliki peran penting dalam masyarakat. Pertama, upacara Saparan menjadi sarana untuk mendoakan, mengenang, dan meneladani perjuangan Ki Ageng Wonolelo, supaya keturunan Ki Ageng Wonolelo bisa menjadi orang yang berbakti kepada para leluhur (pepunden). Kedua, uapacara Sarapan mampu menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan seni yang dimiliki Pondok Wonolelo serta sekitarnya (Kabupaten Sleman dan D.I.Yogyakarta). Ketiga, upacara Saparan mampu mendukung Pondok Wonolelo sebagai desa wisata religious. Keempat, upacara Saparan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai pelaku ekonomi dengan adanya Upacara Adat Saparan Wonolelo dan Kirab Pusaka Ki Ageng Wonolelo. Dengan penyelenggaraan yang dilakukan selama dua minggu berturut-turut membuat proses produksi meningkat. Banyak masyarakat yang berjualan dan menjajakan makanan khas upacara ini, yakni apem. Partisipasi masyarakat menjadi tinggi dengan adanya upacara adat Saparan ini, masyarakat bergotong royong bersama, saling membantu satu sama lain supaya acara dapat terlaksana dengan baik.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047