Rebo Pungkasan

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800710
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image
Upacara Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan. ini diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Sapar. Kata Sapar ini identik dengan ucapan kata Arab syafar yang berarti bulan Arab yang kedua. Selain itu, kata syafar juga identik dengan kata sapar atau nama bulan Jawa yang kedua dan jumlah bulan yang dua belas. Sejarah hadirnya tradisi ini ditelaah dalam berbagai versi. Pertama, Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih tetap dilestarikan. Pada jaman itu hidup seorang kyai yang bemama mBah Faqih Usman. Tokoh kyai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit dan diceritakan memiliki kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit. Pada waktu itu masyarakat Wonokromo meyakini bahwa mBah Kyai mampu mengobati penyakit dan metode yang digunakan atau dipraktekkan mBah Kyai dalam pengobatan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat AI-Qur’an pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya sehingga pasien tersebut dapat sembuh. Berkat ketenaran mBah Kyai Faqih, maka lama kelamaan sampai terdengar oleh Sri Sultan HB I. Untuk membuktikan berita tersebut kemudian mengutus empat orang prajuritnya supaya membawa mBah Kyai Faqih menghadap ke kraton dan memperagakan ilmunya itu. Temyata ilmu mBah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena memang setelah masyarakat yang sakit itu diobati dan sembuh.Sepeninggal mBah Kyai, lalu masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman, sehingga setiap hari Rebo Wekasan masyarakat berbondong-bondong untuk mencari berkah. Versi kedua tidak jauh berbeda, hanya saja Upacara Rebo Wekasan ini tidak terlepas dari Kraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkraton di Pleret. Upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600. Pada masa pemerintahan Mataram terjangkit wabah penyakit atau pagebluk. Kemudian diadakan ritual untuk menolak bala wabah penyakit ini dan Rebo Pungkasan ini diadakan sebagai wujud doa. Versi ketiga, Kyai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo yang juga disebut Kyai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rapak (daun tebu). Mereka ini mendatangi Kyai Welit supaya membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab. Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat. Versi ketiga, Kyai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo. Kyai Faqih ini juga disebut Kyai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rumbia. Mereka ini mendatangi Kyai Welit supaya membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab. Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat. Adat tersebut kemudian dinamai malam Rebo Pungkasan. Sebelum proses adat ini dilakukan biasanya terdapat pasar malam di Lapangan Desa Wonokromo yang diadakan seminggu sebelum malam puncak Rabu Pungkasan.. Upacara tersebut tersusun atas sambutan takmir masjid, pembacaan sholawat, dan doa bersama yang dipimpin salah seorang sesepuh desa Wonokromo. Setelah doa bersama Lemper raksasa yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diameter 80 cm dan Gunungan tersebut diarak dari Masjid Karanganom hingga ke Balai Desa Wonokromo. Lemper dan Gunungan tersebut, diarak oleh beberapa pasukan atau bregodo (dalam bahasa jawa), bregodo Sembrani, bregodo Abang, bregodo Umbul-umbul bregodo Gamelan dan bregodo Mburi. Bregodo Sembrani berjumlah sekitar 28 orang. Bregodo Mburi berjumlah 40 orang dan dipimpin oleh kapten bregodo. Bregodo Abang yang bertugas memikul berjumlah 20 orang, bregodo Gamelan berjumlah 10 orang yang terdiri dari satu peniup terompet, dua peniup seruling, 2 penabuh bendhe, 2 penabuh tambur dan 2 penabuh Jedog, sedangkan bregodo Umbul-umbul berjumlah 10 orang. Komando pusat dipegang oleh seorang Panji atau panglima perang. Panji yang tersebut bertugas mengatur pasukan yang mengawal Lemper Agung dan Gunungan tersebut sampai di hadapan Kepala Desa Wonokromo dengan aman.Adapun rute arak-arakan tersebut melewati jalan Imogiri Timur dan menempuh jarak sekitar 2 kilometer. Selama prosesi lemper raksasa diusung dari depan masjid dan dikirabkan, setelah itu lemper diturunkan di kantor balai desa. Di lokasi sudah banyak para tamu undangan yang menunggu kehadiran lemper raksasa tersebut. Setibanya di balai desa Wonokromo, Lemper dan Gunungan dinaikkan ke atas pendhopo balai desa. Dihadapan pendopo telah menunggu ribuan warga dari berbagai wilayah untuk berebut lemper dan gunungan tersebut. Setelah lemper Agung dan Gunungan tersebut naik diatas pedhopo, diadakan upacara pemotongan lemper. Diawali dengan sambutan Kepala Desa Wonokromo, pemaknaan dari perayaan tersebut oleh sesepuh lalu doa bersama dan dilanjutkan pagas lemper atau pemotongan lemper oleh Bupati Bantul, Camat Kecamatan Pleret dan Kepala Desa Wonokromo. Setelah diadakan pemotongan lemper raksasa oleh pejabat tinggi yang merupakan puncak dari acara tersebut. lemper tadi lalu dibagi-bagikan kepada tamu undangan yang hadir dan pengunjung, dan kekurangannya ditambah dengan lemper biasa yang sengaja dibuat oleh panitia guna menutupi kekurangan. Demikian pula Gunungan yang dibawa tadi juga dipotong dan dibagi-bagikan pada pengunjung bahkan untuk rebutan seperti yang terjadi dalam acara sekaten di Kraton Ngayogyakarta itu. Setelah itu Upacara Rebo Wekasan selesai, hanya saja untuk stan-stan seperti ombak banyu, para penjual dan sebagainya itu tetap masih ada kira-kira seminggu lamanya. Acara arak-arakan ini berlangsung sekitar empat jam, dimulai pukul 19.00 WIB – 22.000 WIB. Makna yang terkandung tradisi ini adalah Tolak Balak dan Ngalap Berkah. Tolak Balak adalah upaya untuk menghindari berbagai malapetaka yang mungkin muncul. Rabu Wekasan dalam sejarah Islam oleh orang-orang Jahiliyyah sering disebut sebagai bulan sial sehingga tradisi ini juga dimaksudkan sebagai ruang doa bersama dalam menghindari berbagai malapetaka. Sedangkan konsep Ngalap Berkah ada karena bentuk kehormatan kepada sosok ulama yang menjadi cikal bakal tradisi ini. Keterkaitan Kyai Welit sebagai tokoh sentral dalam sejarah Rabu Pungkasan dianggap memiliki kemampuan linuwih yang juga memiliki kharisma dan sosok ulama besar. Masyarakat Wonokromo yang sebagian besar warganya adalah kalangan santri sangat terikat oleh konsep Ngalap Berkah ini. Bentuk penghormatan kepada ulama akan menjadi jalan keberkahan di dalam hidup orang. Upacara Rabu Wekasan juga menjadi ruang silaturahmi antara ulama dengan desa. Ketentraman kehidupan bermasyarakat akan terjaga mana kala bisa menjaga keutuhan kehidupan beragama.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047