Tayub Yogyakarta

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800714
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image
Menurut R.T Kusumakesawa (!980) kesenian Tayub berawal dari dalam kraton saja yaitu tarian yang dilakukan oleh raja apabila sedang memberikan pelajaran tentang kepemimpinan (Astha Brata). dari kepada putera mahkota. Tidak ada orang lain yang masuk dan melihat prosesi ini. Lebih lanjut diceritakan pada catatan Mangkunegaran terdapat sebuah dongeng tentang raja dari negeri Purwacarita yang bernama Prabu Kano dimana di negeri tersebut terdapat peraturan yang disebut Badudakan yaitu jejamuan perkawinan maka baik keluarga perempuan maupun laki-laki sama-sama menari (Claire Holt, 1967;112). Studi pada catatan lain (1980) terdapat keterangan bahwa nayub itu berasal dari kata tayub yang terdiri dari dua kata yaitu mataya yang berarti tari dan guyub yang berarti rukun bersama sehingga terjadi perubahan dua kata menjadi satu kata: mataya dan guyub menjadi tayub dan berubah menjadi nayub. Di Yogyakarta sendiri ada juga tradisi semacam nayuban disebut sebagai beksan pangeranan. Tarian ini hanya memuat satu penari tanpa ada orang yang mengiringi atau nglarahi dan nampak hanya berdua saja dengan ledhek. Tayub juga dikenal di dalam Serat Centini yang menyebutkan tayub sebagai tari pergaulan yang berpusat pada penari wanita yang mempunyai beberapa istilah seperti ronggeng, taledhek (tledek,ledhek), tandhak. Istilah-istilah tersebut merujuk pada arti penari wanita. Kesenian Tayub Lebdho Rini. di Dusun Badongan, Desa Karangsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesenian tayub sebagai refleksi kehidupan manusia yang mencerminkan adanya kedekatan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya, yakni detak jantung kehidupan individu-individu dalam kolektivitas masyarakat pemiliknya. Keakraban seperti ini mendapat bentuknya yang paling mesra dan homogen dalam masyarakat pertanian tradisional. Menurut cerita Sayem (Seorang perempuan di Dusun Bandongan) menerima bongkokan padi dan kemudian diletakkan di samping gamelan. Kemudian Sayem mulai menari sendiri menurut pada gendhing yang dimainkan oleh para penabuh. Gendhing pertama yang dipakai sebagai pengiring pertama sewaktu membawa padi ke hadapan penari ledhok atau disebut dengan istilah tandhak adalah gendhing Sri Boyong atau disebut dengan gendhing Boyong saja. Hal ini dimaksudkan untuk mengiringi upacara boyongnya Mbok Sri (Dewi Padi) yaitu pelindung kaum tani agar dewi itu tetap kembali ke tengah-tengah mereka yaitu berupa panen yang melimpah. Kesenian ini memiliki tata cara Tayuban/Ngibing yaitu (1) mengikuti aturan yang ditentukan oleh plandang (seseorang yang memimpin dan mengatur jalannya Tayuban, dengan mengutamakan urutan dan keadilan agar tidak terjadi perselisihan yang bias mengganggu jalannya Tayuban;(2)menjaga jarak satu meter dengan penari tayub;(3) tidak membawa senjata saat menari;(4) tidak merokok saat menari;(5) memberikan saweran (uang);(6) tidak minum minuman keras. Tata aturan diatas harus dipahami oleh para pemain yang ada di dalam tari Tayub yaitu, (a) penari Tayub yaitu seseorang atau beberapa orang perempuan yang melakukan kegiatan menari secara professional sebagai bentuk ekspresi seni;(2) plandang adalah seseorang yang memimpin dan mengatur jalannya Tayuban, dengan mengutamakan urutan dan keadilan agar tidak terjadi perselisihan yang bias mengganggu jalannya Tayuban;(3) Pengibing adalah seseorang yang mendapat kehormatan atau ketiban sampur dan menari bersama penari Tayub dengan lebih dahulu memberikan saweran;(4) Penglareh adalah seseorang atau beberapa orang yang ikut menari menemani seorang pengibing dengan tidak membelakangi yang pegang selendang atau sampur/pengibingnya;(5)Pengrawit adalah beberapa orang yang melakukan kegiatan mengiringi Tayuban dengan instrument gamelan yang merdu dan indah;(6) Pesinden adalah seseorang atau beberapa orang perempuan yang mengalunkan gendhing-gendhing seiring bunyi gamelan sehingga tercipta sebuah irama yang merdu dan indah. Prosesi pertunjukkan Kesenian Tayub ini diceritakan oleh Suharto (1980) diawali dengan tarian model Gambyong yaitu penari tayub menari dan menyanyi sendiri. Setelah itu, pengibing diminta tampil dalam ibingan pertama sekaligus sebagai ibingan kehormatan. Ketika tarian sudah habis penonton akan berteriak minta Gendhing Caogletek. Setelah selesai biasanya penonton bias pula meminta gendhing jenis lain untuk diperdengarkan misalnya Gendhing Bindri, seorang penonton akan masuk ke dalam lingkaran tersebut dengan mengibaskan selendang atau sampur yang diminta dari ledhek, untuk langsung mengepak-gepakkan kaki dari memutar-mutar badan untuk mengikuti irama gamelan dan mendekat ke ledhek yang dengan enaknya menari dengan menyelingi tembang. Demikian proses pergantian gendhing terus terjadi seiring pergantian pengibing atau permintaan penonton. Tidak ada aturan khusus untuk tarian ini hanya mengikuti music gamelan yang ditabuh. Karakteristik petani Gunungkidul yang menanam palawija (singkong, jagung, padi gaga, dan kacang tanah) adalah individu-individu dalam kolektivitas masyarakat petani tradisional dengan kondisi lingkungan alam yang gersang dan tandus tanpa sistem pengairan modern tampaknya mereka tidak pernah menyerah, tetapi hidup dicoba disiasati dengan kesenian tayub sebagai media ritual kesuburan, sebagai ungkapan ekspresi batin agar mampu ‘menjadi’ sesuatu yang bermakna dan ketergantungannya dengan yang absolut, yaitu “Tuhan”. Relasi dan keakraban kesenian tayub adalah kesadaran kolektif sebagai pencerminan nilai-nilai gotong royong dalam mitos kesuburan Dewi Sri agar hidup lebih bermanfaat bagi manusia dan lingkungannya. Oleh sebab itu, kesenian Tayub memiliki fungsi kultural yang memuat relasi antara pelaku upacara dengan warga masyarakat, terutama makna simbolis penari tayub sebagai media pengantar upacara dan pengiring sebagai wakil jemaat, yakni sebuah ritus yang bersifat magis simpatetis atau magis yang mempengaruhi kesuburan manusia dan alam sekitarnya. Di samping fungsi ritualnya, kesenian tayub memiliki fungsi sosial sebagai sebuah hiburan bagi masyarakat, terutama para pengiring dari kalangan laki-kali, sehingga kesenian tayub juga disebut sebagai tari pergaulan pria dan wanita. Eksistensi tayub sebagai ekspresi kolektif pada hakekatnya mencerminkan aktualisasi eksistensi estetis, eksistensi etis, dan eksistensi religius.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047