Nini Thowong Yogyakarta

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800720
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image
Nini Thowong Seni spiritual Nini Thowong telah lama usianya. Penduduk seempat mengisahkan bahwa seni sudah ada sejak jaman Mataram dipimpin oleh Panembahan Senapati. Wilayah Pundong, memang menjadi daerah yang depat sungai Opak, di mana Panembahan Senapati gemar bertapa di sungai itu. Maka sejak jaman keraton Mataram berkembang, karya ini telah ada. Semula, ketika Panembahan Senapati sudah usai bertapa di tempuran Sungai Opak dan sungai Oya, beristirahat di daerah Pundong. Di situ dia menjadi peminta-minta, dan secara kebetulan melihat segerombolan anak-anak yang dolanan boneka. Di bulan purnama yang cerah itu, Panembahan Senapati minta minuman pada anak-anak yang dolanan itu, namun tidak diberi. Lalu dia pergi, tiba-tiba anak yang bermain tadi bersorak-sorak, karena mainan bonekanya bergerak terus, mengayun-ayun, mengikuti perjalanan Panembahan Senapati menuju ke tepi sungai. Namun, raja besar itu sekejap hilang dari pandangan anak-anak. Sejak itu, boneka jadi-jadian itu tenang lagi. Dari waktu ke waktu, setiap akan bermain boneka yang konon disebut jalangkung itu, anak-anak semakin hati-hati dan ada rasa takut. Atas dasar kejadian itu, orang tua sedikit melarang kalau anak-anaknya bermain boneka malam hari. Apalagi anak-anak selalu menceritakan kejadian yang baru saja dialami. Orang tua mereka justru merespon negatif dengan ucapan: “Engko digondhol nini-nini.” Dalih orang tua agar anaknya tidak digoda makhluk halus. Namun, anak-anak tetap bermain boneka tersebut, dan sampai sekarang ucapan nin-nini itu oleh anak-anak dinamakan Nini Thowong. Awalnya dia menganggap nini itu sebagai hantu. Namun, lama-kelamaan jadilah hantu ayng menyenangkan, karena bisa diajak komunikasi. Nini Thowong disebut Thothok kerot karena memang menggunakan ubarampe yang berupa bathok kelapa (thothok). Thothok juga berarti keras, kuat, dan sakti. Sesuai dengan namanya, maka amat logis jika seni spiritual Nini Thowong berupa permainan yang menggambarkan seorang nini muda, gadis muda bermuka thowong, yang sakti. Thowong maksudnya putih sekujur mukanya (Jawa = meblok-meblok). Nini Thowong adalah tokoh yang dibuat-buat, seolah-olah hidup, memiliki nyawa, dan berdaya gaib. Nama Nini Thowong terkesan menakutkan tetapi juga ada unsur lucu. Nini Thowong adalah suatu permainan yang dibuat dari siwur (gayung air terbuat dari tempurung bertangkai panjang). Siwur ini dianggap seolah-olah kepala, kemudian badannya terbuat dari icir (bubu = alat penangkap ikan). Siwur tadi dihias seperti wajah anak perempuan, dan badannya pun dihias dengan baju wanita, selendang, kain, dan setagen (ikat pinggang). Permainan ini di daerah lain dikenal pula dengan nama Nini Thowok, Nini Edhok, Nini Dhiwut, Cowongan, Jailangkung, dan lain sebagainya. Pada masa dahulu sebenarnya Nini Thowong bukan sekedar permainan biasa, tetapi adalah suatu upacara untuk memanggil hujan, pengobatan, pesugihan, atau mencari barang yang hilang (Dharmamulya, 2004:107). Melalui ritual tersebut menandai bahwa orang Jawa masih banyak memuja roh. Seni spiritual yang terkategorikan dolanan rakyat itu sekarang telah bergeser fungsinya. Dari waktu ke waktu seni spiritual ini justru menyedot perhatian berbagai pihak untuk mengemas sebagai aset wisata mistik. Kekhasan seni dalam menghadirkan roh, justru dapat menarik berbagai pihak untuk berduyun-duyun hadir menyaksikannya. Lebih jauh lagi, seni spiritual Nini Thowong juga melukiskan hakikat hidup pemiliknya. Hidup yang berproses dari ada ke tiada, ternyata mengandung berbagai nilai kejawaan tersendiri. Kerumitan dunia roh yang berhubungan dengan dunia nyata, menyebabkan seni ini juga memuat ngelmu lung. Di balik ngelmu lung itu, sebenarnya tersimpan ngelmu ling dan ngelmu leng, yang akan membangun peradan manusia itu sendiri. Ketiga ngelmu itu tidak lain adalah simbol wacana peradaban manusia Jawa yang unik. Setiap gerak hidup orang Jawa, ternyata disandikan lewat ketiga ngelmu tersebut. Penguasaan atas tiga ngelmu itu, menyebabkan orang Jawa akan slamet. • Ngelmu Lung: Eksotik, Mistik, dan Pragmatik Dikatakan “ngelmu lung” karena berasal dari kata lokal Jawa “lung”, yaitu sejenis tumbuhan pala kependhem (tela pendhem), yang batangnya selalu merambat, berkelok-kelok, melilit-lilit, lalu disebut ngelung. Ngelung artinya membelit-belit. Oleh orang Jawa, kata lung itu diambil sari pati pengertiannya menjadi “lungit”. Lungit, artinya tersamar (semu) atau simbolik. Maka tradisi lisan Nini Thowong dapat dipandang memiliki prosesi seni ritual, estetika, legenda, lagu rakyat, dan mistisisme yang pelik (lungit). Kelungitan seni spiritual ini ditandai dengan kekuatan magis Nini Thowong, yang dapat menjawab untuk: mengobati penyakit, pesugihan, urusan pangkat, dan arah keberuntungan manusia. Kata lung juga sering dimaknai atas dasar jarwodhosok “ulung-ulung” (memberi dengan ikhlas. Ulung-ulung bermakna memberikan petunjuk atau sasmita. Nini Thowong pada saat tertentu, mampu memberikan sinyal (ulung-ulung) pada nasib seseorang. Pemberian tanda-tanda gaib itu biasanya dianut oleh pendukungnya. Ulung-ulung itu. disampaikan secara terselubung, wingit, penuh tanda (ngelung), yang perlu diterjemahkan oleh pendukungnya. Manakala tanda gaib yang berupa sasmita ngelung (ting penthalit) dapat terwujud, berarti benar-benar tumelung. Tumelung artinya segala sesuatu yang diminta oleh orang yang bermain mendapat berkah. Yang perlu disadari bahwa ngelmu lung demikian halus, penuh hal-hal rahasia. • Ngelmu Ling: Roh, Lagu, dan Harmoni Kosmos Ngelmu ling dari kata ling (eling). Artinya, ngelmu ini berupaya mengingatkan pada pendukung Nini Thowong agar ingat bahwa dirinya dapat menjadi roh. Manusia pada gilirannya akan mati. Ketika menjadi roh nglambrang, manusia dianggap belum sempurna. Maka, untuk menyempurnakan roh yang ngengslupi Nini Thowong, dilagukan nyanyian spiritual. Ketika roh nglambrang berarti suasana kosmos tidak harmoni. Suasana kosmos terganggu, sehingga membutuhkan negosiasi. Negosiasi dapat dilakukan menggunakan irama atau lagu tertentu yang sering dimanfaatkan dalam seni Nini Thowong. Dengan lagu-lagu itu roh akan eling, sehingga mau kembali kepada asal-usulnya. Roh yang masih mengitari hidup manusia, dianggap bisa marah, bisa mengganggu maka perlu dijinakkan dengan estetika. Lagu dianggap sebagai mantra yang bisa merambat ke alam roh. Maka, selain keindahan simbolik, Nini Thowong juga memuat aspek rekreatif (entertainment) dan supranatural. Dolanan spiritual ini sering menampilkan lagu rakyat yaitu berjudul: Kidung Reksamulya, Bocah Bajang (berupa pantun Jawa), Mbok Lara, Nini Thowong, Ilir-ilir Gumanti, Ilir-ilir Guling, Ilir-Ilir Tandure Sumilir, Ceplik Epring, Kranjang ayun-ayun, Wong ayu, Cublak Suweng, Turi Putih, diiringi dengan rebana. Belakangan iringan juga berkembang dengan gamelan. Hiasan iringan semakin keras ketika Nini Thowong menjelang menyampaikan batangan atau jawaban atas pertanyaan pendukungnya. Sesaji ritual berupa kembang telon, air setaman, dan kemenyan. Kepaduan sesaji dengan iringan selalu ritmis, sehingga suasana tampak sakral, tetapi estetis. Warna seni spiritual sebagai peninggalan leluhur nampak pada berbagai elemen tradisi sesaji. Pemakaian lagu-lagu rakyat amat mendukung pelaksanaan seni spiritual ini. Dengan lagu-lagu rakyat yang bernilai lokal, dapat mengangkat seni tersebut sebagai warisan nenek moyang yang konon pada mulanya Nini Thowong adalah seorang wanita biasa menjadi terhormat. • Ngelmu Leng: Seksualitas dan Ruwatan Kosmos Ngelmu leng, dari kata leng (lubang). Leng yang berarti lubang, menandai bahwa manusia secara kosmis akan dimasukkan ke lubang. Manusia akan kembali ke asal-usulnya. Leng juga bermakna pergi jauh, bertujuan yang jauh, yaitu kematian (sangkan-paran). Seni spiritual Nini Thowong, ternyata memuat ngelmu leng ini demikian estetis simbolik. Sakralitas seni ini memang tampak sekali sejak awal permainan. Dalam posisi bermain dengan roh, pendukungnya telah belajar ngelmu leng. Ternyata, Nini Thowong itu diyakini berasal dari kematian roh yang tidak wajar. Kematian yang tidak jelas arahnya menyebabkan roh tidak tenteram. Ada pendapat, awalnya Nini Thowong itu berasal dari perempuan yang oleh tetangganya disihir menjadi roh halus dan dinamakan Nini Thowong. Ada pula yang mengatakan bahwa Nini Thowong adalah berasal dari kama wurung (benih manusia yang tidak jadi) yang sebelumnya telah mengalami kama salah. Kama wurung (kamasalah) itu pada akhirnya harus diubah menjadi kama laras, dengan jalan melakukan ritual Nini Thowong di bulan purnama. Ritual ini juga sekaligus sebagai sebuah ruwatan desa atau bersih desa, yang dilaksanakan pada hari sakral Malem Jumat Kliwon di bulan Ruwah (arwah). Tempat penyelenggaraan ritual memilih lokasi yang dipandang angker (dihuni roh halus), antara lain pundhen desa, di bawah pohon besar, dan dekat sungai Opak. Tempat tersebut ditata dalam bentuk mandala (keblat papat lima pancer). Nini Thowong berada di tengah, dan pemain lain mengelilingi menyerupai bujur sangkar, seluruhnya berpakaian Jawa. Kisah kosmis ini menandai perwujudan tentang sangkan paraning dumadi manusia. Manusia berasal dari anasir yang kelak akan kembali ke anasir lagi. Anasir hidup yang terdiri dari geni, tanah, banyu, dan angin. Keempat anasir itu akan menjadi raga manusia yang disebut wrangka (leng). Wrangka itu dapat hidup karena ada emanasi Tuhan yang disebut suksma (curiga). Anansir itu yang akan membentuk nafsu hidup manusia. Dalam kaitan ini, ubarampe itu menjadi simbol pengendalian nafsu amarah, supiah, aluamah, dan mutmainah manusia. Pada saatnya nanti, konsepsi ini mengingatkan perumpamaan mistik berbunyi kodhok ngemuli leng. Leng dalam kiasan ini berarti raga manusia, sedangkan kodhok adalah roh yang teremanasi dzating Pangeran. Jadi, “ngelmu leng” dapat diartikan sebagai ilmu kejawen tentang bersatunya roh dengan raga, yang dikenal dengan sebutan ngraga suksma, yaitu proses manunggaling kawula-Gusti di kelak kemudian hari. Ungkapn semacam ini sejajar dengan wrangka manjing curiga, curiga manjing wrangka, lenyap keadaannya. Akhir-akhir ini, seni spiritual Nini Thowong telah diolah menjadi sebuah kolaborasi antara ritual, performance, komoditi wisata, dan pembentukan kampung budaya. Apalagi di wilayah Pundong juga dikenal dengan desa kerajinan gerabah setelah Kasongan. Berbagai kerajinan pun akhirnya ada yang dipoles menyerupai Nini Thowong, yang akan menjadi souvenir berharga bagi wisatawan. Atas prakarsa masyarakat, dibantu oleh MTB(Masyarakat Tradisi Bantul), dan Dinas Pariwisata, Nini Thowong sengaja dipoles menjadi sajian wisata budaya. (sumber Makalah seminar International Tradisi Lisan VI, di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 1-3 Desember 2008 oleh Suwardi )

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047