Celurit Madura

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800730
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image
Celurit atau Clurit (Are’ = Bahasa Madura) bukan sekadar senjata tradisional khas dari Madura namun tak dapat dipisahkan dari budaya dan tradisi masyarakat Madura. Celurit itu adalah simbol kejantanan laki-laki. Menurut Budayawan D. Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosofi, dari bentuknya yang mirip tanda tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu. Namun ada penafsiran lain, bahwa karena Celurit itu bentuknya bengkok, mirip dengan tulang rusuk manusia yang berkurang itu. Karena itu agar kejantanan laki-laki tidak berkurang maka mengganti tulang rusuk yang hilang itu dengan celurit yang diselipkan di pinggang bagian kiri. Mien A. Rifai menyebut Celurit sebagai identitas orang Madura. Kemanapun orang Madura pergi tidak terlepas dari celurit. Dalam skripsinya Matroni menyimpulkan, celurit memiliki relasi yang kuat dengan faktor budaya, struktur sosial, kondisi perekonomian, agama, dan pendidikan yang sudah dibangun oleh masyarakat. Senjata tradisional ini memiliki bilah terbuat dari besi berbentuk melengkung mirip bukan sabit sebagai ciri khasnya. Pada umumnya clurit diwadahi sarung terbuat dari kulit sapi atau kerbau yang tebal, memiliki gagang (hulu) terbuat dari kayu. Bilah Celurit memiliki ikatan yang melekat pada gagang kayu serta menembus sampai ujung gagang. Ada beberapa macam jenis celurit, diantaranya Are’ Takabuwan, yang biasanya digunakan untuk carok, yaitu perkelahian yang biasanya dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya dilecehkan. Carok dan Clurit ibarat mata uang logam dengan dua gambar. Istilah ini terus bermetamorfosa hingga pada tahun 70an. Carok telah mengalami pembengkokan makna, dari mekanisme penegakan harga diri menuju ritus balas dendam dan penyaluran agresi semata-mata. Berbeda dengan suku Bugis yang memiliki resolusi konflik (maddeceng atau mabbaji) untuk mencegah ritual balas dendam dan memutus mata rantai kekerasan. Menurut Latief Wiyata, jenis celurit untuk keperluan kegiatan pertanian dan rumah tangga dapat dengan mudah dibedakan dengan celurit untuk carok dengan hanya melihat bentuknya yang tidak melengkung sempurna dari batas pegangan hingga ke ujung. Selain itu, karena bukan terbuat dari baja murni dan cara pengerjaannya yang terkesan tidak rapi maka permukaannya nampak kasar dan agak hitam. Celurit untuk carok permukaannya sangat halus dan putih mengkilap yang menandakan tingkat ketajamannya sangat tinggi. Are’ Takabuwan adalah jenis celurit yang sangat diminati oleh banyak orang Madura, khususnya di kawasan Madura Barat. Nama Takabuwan berasal dari nama desa pembuatannya, Takabu. Selain bentuknya cukup bagus, tingkat ketajamannya dapat diandalkan karena terbuat dari bahan baja campuran besi berkualitas baik. Jenis clurit yang lain adalah Are’ Dhang Osok berbentuk seperti buah pisang (Dhang = ­gedhang = pisang), biasanya bukan untuk keperluan rumahtangga melainkan untuk alat pertahanan diri, yang hanya ditaruh di rumah karena bentuknya melebihi ukuran celurit pada umumnya sehingga tidak dapat dibawa bepergian. Ada lagi yang disebut tekos bu-ambu (bentuknya seperti tikus sedang diam), Are’ Bulu Ajem (bulu ayam, lancor ayam), atau yang bergagang sangat panjang disebut Are’ Lancor dan Calo’ Kodi’. Sedangkan Sabit atau Are’ Tane, yang bentuknya lebih sederhana biasanya digunakan sebagai alat pertanian. Demikian pula Bendho, Calo’ Bhirang atau Biris yang menyerupai pisau besar (parang), hanya sebagian kecil ujungnya saja yang melengkung, koner, larang dan tumbak (tombak). Perkembangan disain clurit sendiri baru mulai betul-betul khusus untuk membunuh, diperkirakan pada masa revolusi 1945. Dimana  resimen 35 Joko Tole yang memberontak pada Belanda di pulau tersebut. Belanda yang dibantu pasukan Cakra (pasukan pribumi Madura) kerap berhadapan dengan pasukan siluman tersebut. Meski tidak semua pasukan resimen 35 Joko Tole ini memiliki senjata Clurit, namun kerap terjadi pertarungan antara pasukan Cakra dengan resimen 35 Joko Tole ini kedua belah pihak sudah ada yang menggunakan senjata Clurit, meski hanya sebatas senjata ala kadarnya. Disain clurit yang sekarang ini kita lihat merupakan disain dari peristiwa Bere’ Temor (barat-timur) yang menghebohkan ditahun 1968 hingga 80-an. Pada masa ini disain clurit mulai dikenal dengan berbagai bentuk, seperti Kembang Turi dan Bulan Sabit. Sejarah asal mula Clurit belum ditemukan. Yang ada justru legenda dari Pasuruan yang bukan berada di pulau Madura. Konon seorang mandor tebu beretnis Madura bernama Sakerah melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda menggunakan clurit yang biasanya hanya digunakan sebagai alat pertanian. Ketika kemudian lelaki asal Bangkalan itu dihukum mati, warga Pasuruan yang mayoritas berasal dari suku Madura marah dan mulai berani melakukan perlawanan pada penjajah dengan senjata andalan berupa celurit. Sehingga celurit mulai beralih fungsi menjadi simbol perlawanan, simbol harga diri serta strata sosial. Jika data ini benar, berarti Clurit sebagai senjata tradisional masih relatif baru, yaitu pada masa Hindia Belanda atau sekitar abad ke-18. Sejak masa Raden Segoro hingga Banyak Wide (1269), pangeran Joko Tole (1415) hingga ke masa Cakra Ningrat atau kyai Pragolbo (1531) senjata Clurit masih belum ada. Mereka hanya mengenal senjata tombak, pedang, keris dan panah sebagaimana umumnya prajurit-prajurit kerajaan. Hingga permulaan berdirinya Majapahit yang didukung oleh kerajaan Sumenep, maupun sebelumnya pada masa Tumapel hingga Singasari yang jatuh oleh kerajaan Gelang-Gelang Kediri yang dibantu pasukan Madura, senjata Clurit masih belum ada. Bahkan pada masa penyerbuan ke Batavia oleh Fatahillah yang dibantu pasukan Madura, juga mereka masih bersenjatakan Keris atau yang lainnya (bukan Clurit). Bahkan pada peristiwa Branjang Kawat dan Jurang Penatas, sama sekali tak ada senjata clurit disebut-sebut. Bagi warga Madura, Clurit tak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian. Kemanapun mereka pergi selalu membawa Clurit yang diselipkan di pinggangnya. Bukan untuk persiapan perkelahian namun manakala tidak membawa celurit justru dianggap bukan lelaki jantan. Namun belakangan hal itu sudah tidak dilakukan lagi karena alasan keamanan. Sementara minimal sebuah Clurit selalu ada di setiap rumah sebagai sekep, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perampokan, pencurian dan semacamnya.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047