Reog Cemandi Sidoarjo

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800734
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image
Reog Cemandi bukan seperti Reog Ponorogo yang menggunakan dhadhak merak. Seni pertunjukan tradisional ini menggunakan instrumen utama berupa kendang yang ditutup satu sisi saja. Mirip dengan Reog Kendang dari Tulungagung dan Reog Bulkio dari Blitar atau juga Reog Dogdog dari Sunda. Sajian musik dari kendang ini mengiringi beberapa orang yang menggunakan topeng utuh menutup semua kepala yang menari sambil berjalan. Penampilan seni jalanan ini mirip dengan Dungkrek dari Madiun. Dinamakan Reog Cemandi karena kesenian tradisional ini tumbuh dan berkembang hanya di desa Cemandi, Kecamatan Sedati Kabupaten Sidoarjo. Menurut Susilo (65), pewaris Reog Cemandi generasi ke-5, kesenian ini berawal dari seorang yang bernama Abdul (Dul) Katimin pemilik pondok di kawasan Sidosermo Panjang Jiwo Surabaya yang merupakan generasi pertama pencetus kesenian Topeng Cemandi. Konon, sekitar tahun 1917 Katimin yang merupakan santri di pesantren Tegalsari Ponorogo telah selesai dari kegiatan pesantren melakukan perjalanan pulang ke Sidoarjo dengan berjalan kaki. Ketika melewati Pagerwojo  Katimin bertemu dengan para petani muda yang sedang menabuh kendang yang mengerjakan pertanian menunggu melaksanakan shalat ashar berjamaah, tetapi para pemuda tersebut kurang begitu paham melakukan shalat. Katimin kemudian mengajarkan agama Islam kepada para pemuda tersebut yang ternyata pernah menjadi gemblak seorang warok di Ponorogo. Setelah beberapa bulan di Pagerwojo Katimin berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke Sidoarjo, tetapi para pemuda tersebut berkeinginan mengikuti dan menemani Katimin. Setelah sampai di desa Cemandi Katimin dan para pemuda membuka lahan dan membangun surau untuk beribadah, tetapi para pemuda yang merupakan mantan gemblak itu tidak meninggalkan kebiasaannya menabuh kendang serta menari-nari. Kemudian oleh Katimin hal itu malah digunakan sebagai dakwah Islam yang dilakukan di dalam surau. Cara menabuh kendang diubah menjadi seperti menabuh rebana sehingga banyak warga yang tertarik masuk ke dalam surau untuk shalat berjamaah. Pada tahun 1920an, aktivitas warga Cemandi diketahui Belanda sehingga mereka diwajibkan bayar pajak setelah panen dengan mengirim tentara Pribumi Oost Indische Leger atau OIL. Berbagai cara dilakukan tidak berhasil untuk mengusir utusan Belanda tersebut. Kemudian Katimin menyuruh beberapa warga Cemandi mencari kayu nangka sebanyak enam batang dengan ukuran masing-masing 50 cm. Juga kayu randu dengan panjang satu telapak kaki orang dewasa. Dari kayu nangka itu kemudian dibuat kendang dan dari kayu randu digunakan untuk topeng yang menyerupai wajah buto cakil dengan dua taring. Setelah itu, masyarakat setempat melakukan tari-tarian untuk mengusir penjajah kompeni yang akan memasuki desa Cemandi. Ketika utusan Belanda memasuki desa Cemandi untuk menarik hasil pajak kepada warga, Katimin dan para pemuda dari Pagerwojo mementaskan kesenian barongan dan kendang. Tentara OIL pun mendatangi ikut berjoget dalam keramaian dan disaat itulah prajurit OIL Belanda dihajar beramai-ramai hingga tidak berdaya. Setelah itu Belanda tidak pernah berani lagi memungut pajak ke desa tersebut. Kemudian pada tahun 1922 tarian itu dinamakan reog Cemandi mengambil nama reog Ponorogo karena sama-sama meriah dan mampu mengusir Belanda. Reog Cemandi terdiri dari dua tokoh topeng barongan yakni: Barongan Lanang, Topeng ini terbuat dari kayu nangka dengan paras pria yang menyeramkan berwarna merah dan berkumis. Barongan Lanang berpakaian serba hitam seperti pemain Ponorogo, kaos lorek atau polos merah dengan membawa pedang. Sedangkan Barongan Wadon mengenakan kebaya dan kain panjang. Reog Cemandi terdiri dari beberapa pemain 6 hingga 11 orang dengan mengenakan pakaian serba hitam yang dipadu kain warna cerah. Reog Cemandi saat ini selalu dipentaskan ketika ada acara Bersih Desa Cemandi setiap tahun untuk mengusir roh jahat dan berbagai bentuk keburukan. Seperti saat mereka tampil di pendopo Sidoarjo, pria bertopeng itu berdiri dengan gagah. Badannya berlenggak-lenggok mengikuti irama gendang. Tangan kanannya mengayunkan golok seakan menebas lawan yang datang. Lantas kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Sorot matanya menatap tajam. Ini adalah sekilas adegan yang sedang dimainkan oleh penari Barongan Lanang, salah satu tokoh dalam pertunjukan reog Cemandi. Dalam Reog Cemandi tidak ada warok. Irama musik yang dimainkan pun cukup sederhana. Hanya memainkan angklung dan kendang kecil. Kendang dan angklung itu ditabuh mengikuti irama. Dua penari yang memakai topeng Barongan Lanang (laki-laki) dan Barongan Wadon (perempuan), enam penabuh gendang dan tiga pemain angklung. Beberapa pemain diantaranya sudah lanjut usia dan ada yang sudah meninggal dunia. Peralatan yang digunakan saat tampil adalah peralatan asli sejak kesenian reog Cemandi ini lahir. Enam gendang, dua topeng dan tiga angklung digunakan pemainnya selama turun temurun hingga generasi kelima yang dipimpin Susilo saat ini. Tiap malam Jumat peralatan itu diberi uba rambe (sesajen) agar tetap awet. Saat memainkan tarian ini, dua penari Barongan Lanang dan Barongan Wadon mengiringi penabuh gendang yang ada di tengahnya. Enam penabuh gendang itu membentuk formasi melingkar sambil mengikuti irama. Dua penari itu berlenggak-lenggok disamping penabuh gendang. Selain untuk mengusir penjajah pada waktu itu, tarian tersebut juga sebagai himbauan kepada masyarakat sekitar untuk selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa. Anjuran itu tersirat dalam syair pangelingan (pengingat)  yang dilantunkan sebelum memulai pertunjukan. "Iki reog, reog Cemandi..Reoge wong Sidoarjo. Ayo konco podo nyawiji, bebarengan bangun negoro. Lakune wong urip, eleng gusti Niro. Tansah ibadah ing tengah ratri, suci diri jiwo miwa rogo. Sumingkiro barang olo sing nggudho riko. Eleng gusti niro sing sayup sing rukun". Kini pertunjukan reog Cemandi itu sudah berubah fungsi. Masyarakat sekitar biasa mengundangnya untuk hajatan mantenan, sunatan atau acara lainnya. Selain itu masyarakat sekitar percaya bahwa tarian reog Cemandi bisa untuk menolak balak (membuang sial). Reog Cemandi ini terdiri dari beberapa unsur yakni banjari, reog, musik patrol, gong, bonang dan jaranan. Formasi dalam pementasan Topeng Cemandi yakni dua topeng perempuan dan laki-laki, pemukul kendang ada enam orang serta pemain angklung ada dua orang. Kalau zaman dulu untuk kostum memakai bahan seadanya seperti karung goni warna putih sedangkan sekarang sudah memakai baju dengan warna hitam seperti baju Sakerah lengkap dengan aksesoris seperti selendang dan ikat kepala. Topeng Cemandi ini pernah tampil di perayaan Hari Jadi kota Surabaya, acara 1 Suro di Probolinggo mewakili kabupaten Sidoarjo dalam festival kesenian pesisir utara, acara IPBNU dan peringatan 1 Muharam. Bahkan saat ini sudah mulai dilahirkan generasi ke-6 dengan konsep baru ditambah musik patrol dengan gaya sedikit anak muda namun tetap tidak menghilangkan keaslian dari Topeng Cemandi. (*)

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047