Sandur Bojonegoro dan Tuban

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800735
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image
Pada mulanya Sandur berasal dari hiburan masyarakat agraris seusai lelah seharian bekerja di sawah kemudian berkembang menjadi produk kesenian yang bertumpu pada upacara ritual. Di dalamnya terdapat unsur cerita (drama), tari, karawitan, akrobatik (kalongking) juga terdapat unsur-unsur mistis, karena dalam setiap pementasannya selalu menghadirkan danyang (roh halus). Sebagai upacara ritual, pertunjukan diadakan di tanah lapang sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang dicapai. Tidak diketahui bagaimana asal muasal sandur, namun para pelaku meyakini sandur sudah ada sejak zaman kerajaan yang terkait dengan kepercayaan animisme. Kata Sandur itu sendiri berasal dari kata san yang berarti selesai panen (isan) dan dhur yang berarti ngedhur (sampai habis). Namun sumber lain mengatakan bahwa sandur berasal dari bahasa Belanda yaitu soon yang berarti anak-anak dan door yang berarti meneruskan. Versi lain lagi menyebutkan bahwa Sandur yang terdiri dari berbagai cerita tersebut dengan sandiwara ngedhur, artinya kesenian itu terjadi karena berisi tentang berbagai macam cerita yang tak akan habis sampai pagi. Atau ada lagi yang menyebut rangkuman dari kata beksan dan mundur. Sandur adalah seni pertunjukan rakyat yang sederhana. Bentuk pementasannya hanya dilakukan di tanah lapang dan dibatasi pagar tali berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 8 x 8 meter yang disebut Blabar Janur Kuning, diberi hiasan lengkungan janur kuning dan digantungi aneka jajan pasar, ketupat dan lontong ketan atau lepet. Dua batang bambu ori ditancapkan dengan ketinggian kurang lebih 10 – 12 meter, dan di antara bambu tersebut dipasang tali besar yang menghubungkan keduanya untuk adegan Kalongking yang mistis.  Tata cahaya menggunakan obor mrutu sewu, yaitu sejenis obor yang lubang untuk menyalakan apinya terdapat lebih dari 3 lubang. Obor ini terbuat dari bambu ori, dipasang di sekeliling arena pertunjukan. Kemudian dibacakan mantera dan sesaji dengan tujuan agar acara dapat berjalan dengan lancar dan sukses. Sesaji yang dipersiapkan antara lain, beras, dupa, cikalan yang bagian tengahnya diberi gula merah, kembang setaman dan kembang boreh. Durasi pertunjukan Sandur tidak memiliki batas waktu tertentu, bisa disajikan 3 hingga 5 jam pertunjukan. Namun Sandur sebagai ritual biasanya disajikan pada malam hari mulai pukul 21.00 WIB hingga selesai menjelang subuh atau sekitar jam 03.00 WIB. Jumlah pendukung pementasan sekitar 20 sampai 25 orang, yang terbagi dalam perannya masing-masing yaitu, 2 orang sebagai pemain musik atau Panjak Kendang dan Panjak Gong, 10 sampai 15 orang sebagai Panjak Hore, 1 orang pemain Jaranan dan 1 orang Srati (pawang/dukun), 5 orang sebagai pemeran tokoh (Germo, Cawik, Pethak, Balong, Tangsil) dan 1 orang sebagai pemain Kalongking. Pemilihan pemain untuk tokoh Balong, Pethak, Cawik dan Tangsil tersebut adalah empat anak laki-laki yang belum dikhitan karena dianggap masih suci. Instrumen musik yang digunakan adalah Gong Bumbung dan sebuah Kendang Batangan/Ciblon yang dibantu dengan Panjak Hore dan berperan sebagai pelantun tembang serta tukang senggak. Tembang yang digunakan dalam seni pertunjukan Sandur sangat fungsional, selain sebagai pengiring keluar-masuknya pemain juga berfungsi sebagai mantera pemanggil roh halus. Sedangkan kostum dalam Sandur membedakan karakter peran satu dengan karakter peran lainnya. Kostum yang digunakan oleh para peran merupakan ciri bagi pemerannya yang mempunyai sifat khusus. Sandur terdiri dari delapan adegan yang terdapat dalam tiga babak, sedangkan pergantian babak selalu ditandai dengan tembang yang dilantunkan oleh Panjak Hore. Dalam seni pertunjukan Sandur tembang berfungsi sebagai pengiring keluar masuknya peran dan pergantian adegan, selain itu tembang juga berfungsi sebagai mantera pemanggil roh atau bidadari. Fungsi yang lain adalah sebagai narasi perjalanan tokoh peran. Sandur ini hanya mempunyai satu lakon atau cerita yaitu hanya menceritakan tentang pertanian berdasarkan cerita turun temurun dan mitos yang berkembang di daerah tersebut. Dalam pertunjukan Sandur ini biasanya dilakukan dengan berjalan memutar searah dengan jarum jam dalam sebuah tanah lapang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Ngoko tetapi tidak jarang juga menggunakan bahasa Jawa Krama. Disela-sela pementasan juga ada sebuah parikan atau pepatah yang disampaikan seperti cangkriman dan dandang gulo. Pepatah ini berusaha untuk menasehati manusia yang hidup di dunia intinya adalah kita hidup sebagai makhluk sosial tidak boleh semena-mena, harus berhati-hati, tidak boleh sombong dan harus bersedia hidup bergantian dengan yang lain. Kita hidup di dunia juga membutuhkan orang lain. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kesenian ini mempunyai arti yaitu kehidupan masyarakat pertanian tradisional yang di dalamnya terdapat berbagai macam kejadian. Ada tahap-tahapan yang menceritakan kehidupan manusia dari dalam kandungan manusia hingga meninggal dunia. Selama hidup di dunia mereka mengerjakan pertanian mulai dari membersihkan sawahnya, ditanami padi, hingga panen. Pada kesenian ini juga banyak menceritakan berbagai macam sifat dalam diri manusia. Melalui sifat itu manusia akan terdorong ke arah baik dan buruk. Dengan adanya sifat itu manusia akan mempunyai rasa bersyukur atas segala apa yang telah dimiliki saat ini. Pengungkapan rasa syukur tersebut dilakukan dengan dipentaskannya kesenian ini dengan segala bentuk tata busana, tarian, tahapan dan perlengakapan yang ada. Terdapat sajen dalam perlengkapan itu sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada leluhur atas apa yang dimiliki saat ini. Serta selalu berdoa dan memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar selalu diberi kesehatan dan rejeki yang lancar. Adegan puncak yang paling ditunggu adalah Kalongking, yaitu seorang pemain memanjat bambu dan bermain acrobat di sebuah tali yang dibentangkan di antara dua bambu, kemudian turun melalaui bambu satunya dengan posisi kepala di bawah. Namun dalam perkembangan terakhir, ketika Sandur menjadi seni pertunjukan, adegan ini dihilangkan. Cerita juga sudah berkembang mengenai persoalan kekinian dan menggunakan naskah tertulis. Pada sekitar tahun 1960-an kesenian ini mengalami kejayaan, hampir di setiap desa di Bojonegoro memiliki kelompok kesenian sandur, juga di Tuban dan Lamongan. Tetapi setelah peristiwa G30S kesenian Sandur mengalami kemunduran yang drastis karena Sandur dicurigai disusupi oleh Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. Hingga pada tahun 1978 kesenian ini muncul kembali, dan baru pada tahun 1993 Sandur mulai dipentaskan kembali pada festival kesenian rakyat. Cerita yang tertulis dalam bentuk teks/naskah pertama kali dibuat pada tahun 1993 saat Sandur mengikuti pagelaran yang diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Di dalam naskah ini, tertulis urutan keluar masuknya para tokoh peran dan urutan tembang yang disajikan. Sutradara dalam Sandur ini biasanya berperan sebagai tokoh Germo yang berfungsi sebagai dalang dan sekaligus dukun yang mengobati para pemain Jaranan yang sedang trans. (*)

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047