Bebelen/ Bebalong/ Babili

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800769
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Kalimantan Utara
Responsive image
Pada zaman dahulu di abad ke 5, kala itu Kalimantan di sebut Warnadwipa terbentang daerah yang bernama Muara Kaman dan Berayu. Daerah Muara Kaman terletak di Kalimantan bagian timur yang sekarang menjadi Kebupaten Kutai Katanegara. Pada zaman purba, Muara Kaman merupakan kerajaan Hindu tertua bersama Berayu. Daerah Berayu saat ini sudah menjadi kabupaten dan kota yang ada di Kalimantan Utara. Pada waktu itu daerah Berayu dipimpin oleh seorang Raja perempuan. Kehidupan masyarakat penuh kedamaian, kebudayaan maju pesat, pemerintah berjalan adil bijaksana. Namun masyarakat pada waktu itu belum mengenal Agama, mereka masi animism. Namun tiba-tiba….. Pada suatu saat, sebagai penyebab Sang Ratu lupasegalanya… Sekonyong-konyong bencana yang sangat dahsyat dating menerpa, menyerang, menerjang tiada ampun…. Alam gelap gulita…. Sunami melanda…… Sang Ratu berusaha menguatkan diri dengan menggunakan perahu dayung damn kedabangnya yang dating menjelang Namun apa yang terjadi Sang Ratu terkulai dalam perahu kebesarannya dan digulung dipusaran air. Sang Ratu lenyap bersama Tenggilan Sakti pujaanya. Tiba-tiba dipermukaan air muncul kedabang kebesaran Sang Ratu berputar-putar dan kemudian bersabda…… Sabda itulah yang di sebut Bebelen Tuhan semesta Alam, Tuhan Yang Maha Agung….. telah menampakan seluruh Kuasa dan KodratNya….. Alam sekitar membisu sepi, seketika itu jiga Minjelutung Musnah dan sirna…. Sampai kini hanya tinggal kenangan…… Sekitar 300 meter dari tepian pantai Minjelutung di tengah arus yang dalam di dasar Sungai Sesayap, antara lain terdapat seonggak Batu sebesar rumah terkubur didalam air sebagai saksi bisu Sang Ratu…….. Bersyu………Kini hanya tinggal kenangan….. menjadi legenda….. Setelah berakhirnya masa itu, masuklah para pedagang dan musafir dari negri Cina dan Arab. Mereka bardagang sambil berdakwah membawah ajaran agama Islam. Meraka sejak itu orang Tidung yang pertama memeluk agama Islam adalah dari keturunan Niril, Nala, Yanduk dan Piyau yang dimandikan di atas batu di tepian sebuah sungai yaitu 2 bersaudara bernama Amir Saludin dan Amir Tajudin. Pada masa sekarang suku Tidung khususnya di Kabupaten Malinau yang sudah beragama islam lebih menyesuaikan dengan Program Pemerintah yaitu Pembangunan melalui GERAKAN DESA MEMBANGUN ( GERDEMA ),namun syair karangan yang dimuat dalam bebelon selalu ditampilkan dalam seni budaya dan kehidupan sehari-hari. Salah satu peranan suku Tidung yang dapat ditampilkan dengan seni budaya yang berkaitan dengan kesenian Bebelen terdapat dalam Program Gerakan Desa Membangun yaitu meningkatkan peranan pertanian. Suku Tidung sebagian besar hidup dan bermata pencaharian dari nelayan dan betani atau bercocok tanam. Tradisi orang Tidung dalam bercocok tanam baik berkebun, berladang dan bersawah yang kita kenal adalah mulai dari membersihkan lahan, menanam, memlihara dan memanen. Dalam bercocok tanam tersebut pada jaman dahulu mereka melakukan dengan menggunakan syair dan bebelen yang dilakukan gaya khas bersahut-sahutan yang syair-syair aslinya mengandung suasana yang serius. Jaman dulu untuk membuka lading selalu dilakukan proses rembug tokoh kampong di bawah pimpinan kepala adat. Biasanya lokasi kampong berada pada satu hamparan wilayah. Pekerjaan berladang (gumo) terdiri dari beberapa tahap dan menggunakan teknologi yang berbeda-beda dan dilaksanakan dengan melihat Bintang Priama yang kemudian dilakukan secara bergotong royong. Mula-mula lahan dibuka dengan memotong kayu-kayu atau tumbu-tumbuhan kecil. Kegiatan ini disebut “nebas”. Nebas dilanjutkan dengan “intagad” (menebang pohon). Jaman dulu menebang pohon dilakukan dengan mengunakan “usoi” (beliung), sejenis kapak yang diikat dengan rotan pada tangkainya. Pohon-pohon (biasanya ukuran sedang sampai besar) yang sudah ditebang dengan usoi harus di potong-potong dahannya agar mudah kering dan terbakar. Kegiatan memotong dahan itu disebut “ngelada” .Bila bekas tebang sudah kering, maka dibakar dan sisa-sisa pembakaran dibersihkan (bekukup/bekakes). Seluruh pekerjaan ini menggunakan peralatan yang digunakan tradisional yaitu melantik, bangkung, gayang dan kapak. Setelah bersih barulah “ nugal” (menanam padi). Menanam padi dengan cara “nugal” ini dilakukan dengan menggunakan tongkat pembuat lobang pada tanah yang disebut “tetugal”, sementara penabur benih menggunakan “lanjung” (sejenis baku) untuk membawa benih. Kemudian gegulung beranda, kelibung dari kulit kayu, ayam bantungan dibuat dari rotan, ambil dari daun nipah, binis (bakul kecil), batai (bakul besar) Padi dalam Bahasa Tidung disebut bilod. Padi yang ditanam orang Tidung baik biasanya diadakan ritual atau upacara religi yang disebut “ Timpunan” yaitu kegiatan yang dilakukan sebelum membuka lahan yang terdiri dari 7 rumpun padi yang dilakukan sebelum membuka lahan yang terdiri x 1meter. Dalam upacara ini enam potong kayu ditancapkan di tanah, dua di antaranya di tengah dan diikat dengtan kain merah dan putih atau panji-panji. Kayu itu bukan semberangan kayu, melainkan kayu “memali” (Bhs.Tidung) yang batangnya berduru dan tumbuh di daerah basah di tepi sungai. Kemudian dimulailah ritual dengan membawa dupa dan membaca doa memohon berkah untuk hasil panen yang baik dan mensejahterakan. Demikian juga disaat mau panen atau mengetam dibentangkan panji-panji atau bendera sepanjang kira-kira 10 meter, dengan warna umumnya kuning dan jingga, hitam dan putih beraneka warna. Para tetua membawa dupa dan berputar-putar membacakan mantra dan doa Kepada Yang Maha Kuasa. Selanjutnya setelah padi menguning dan dipanen, hasil padi tersebut dibawa para wanita Tidung engan membawa binis yang dipimpin olehorang yang tertua yang disebut “manaba”. Mereka pun menggeti (memotong) dengan masing-masing menggunakan alat pemotong padi yang disebut “ingkapan”, setelah itu dilakukan ngegussel yaitu membuangt tangkai padi. Bila masing-masing sedah penuh maka setiap laki-laki pemuda mengambil binis, lalu dituangkan dalam satu tempat yang dibuat dari pelepah rumbia yang disebut batai (bakul besar yang mengerucut dari atas kebawah) yang isinya bias mencapai 30 sampai dengan 40 binis padi. Pada saat batai inilah biasanya dimuat sampai berlebihan padi dan diinjak-injak. Disitulah telah siap beberapa penggawa yang mengangkat…… bahkan karena sudah terlalu berat binis ini sampai tidak terangkat sehingga mereka biasanya menggunakan ilmu kenuragan dan tenaga dalam Kemudian dibawa dan diletakan diatas gegulangberanda yang dibuat untuk tempat menjemur. Apabila padi di tanah sudah habis, maka dilakukanlah proses nabing yaitu membuang hampa padi dan kemudian dimasukan kedalam kelibung ( dari kulit kayu ). Dalam proses kelibung tersebut dilakukan selama 3 hari. Disekitar kelibung itu banyak terdapat duoa, air, damn kayu yang diikat lampu, tikar rotan serta seraping liyaban. Kegiatan selanjutnya adalah secara bergotong royong dan beramai-ramai (tenguyun) menumbuk padi, membuat amping dari padi yang dorendam, tapai, kelupisan imbeyuku (ketupat) Didalam upacara menumbuk padi ini para gadis remaja menumbuk sambil memainkan tutu pada tutuan (alu dan lesung), maka terdengarlah suara yang indah saling bersahutan antara gubuk yang satu dengan yang lain, antara lesung yang satu dengan lesung yang lain, selain bersaing membuat suara lesung yang indah. Hal ini dilakukan untuk mendapat pujian siapa yang paling terbaik membuat suara yang indah. Bila sudah berakhir, satu sama lain secara umum bias menghasilkan padi dari 50 kaleng sampai dengan 300 kaleng. Setelah mereka berhasil melaksanakan panen, biasanya sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa mereka mengeluarkan zakay sesuai ketentuan yang berlaku. Demikian sekilas budaya masyarakat Tidung dari sejak jaman dahulu kala sampai dengan saat ini yang selalu mengutamakan sehari hari yang dituangkan dalam adat seni budaya yang dapat menjadikan kreatifitas nasionalisme kebangsaan dalam mewujudkan budaya sebagai Karakter Bangsa.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047