Gambus Ogi

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800777
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image
Musik gambus adalah salah satu musik tradisi yang ada di Sulawesi Selatan. dengan kurangnya sumber informasi tertulis sehingga sejarah musik gambus menjadi kabur. meski demikian musik gambus masih diyakini sebagai musik tradisional Sulawesi Selatan. pasalnya, lirik-lirik yang menggunakan yaitu Bahasa Makassar bahkan permainan hampir menyerupai permainan kacaping (alat musik tradisi bugis Makassar). Kondisi musik gambus saat ini mengalami perubahan yang cukup jauh dimana musik tersebut sudah tergolong mendapat pengaruh besar dari musik-musik populer salah satunya adalah dangdut. pengaruh yang dimaksudkan yaitu musik gambus telah banyak menggunakan lagu-lagu dangdut dan jarang lagi membawakan lagu-lagu asli dari gambus itu sendiri pada setiap pertunjukannya. selain itu, instrumen dalam musik gambus juga mengalami perubahan yakni dari rebana ke gendang dua (ketipung). Faktor utama yang mendorong perubahan pada musik gambus adalah selera masyarakat, kebanyakan pemain gambus menggunakan lagu-lagu dangdut karena mengikuti selera masyarakat. Mayoritas pelaku musik gambus yang mempunyai pedapat yang sama mengatakan jika lagu-lagu gambus yang dibawakan kurang menghibur dan masih banyak lagu-lagu yang tidak dimengerti oleh masyarakat. Berbeda dengan lagu-lagu dangdut yang merupakan musik yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat. upaya para pemain gambus dalam menggunakan lagu-lagu dangdut yaitu mengikuti selera pasar yakni lagu-lagu dangdut. Kebutuhan masyarakat terhadap musik gambus merupakan sebuah tantangan bagi para seniman gambus,dalam hal ini beragamnya selera musik dalam kehidupan di masyrakat. pelaku musik gambus menanggapi hal tersebut dengan adanya musik gambus yang menggunakan lagu-lagu dangdut sebagai jawaban atas tantangan yang timbul dalam masyarakat. Pengaruh musik dangdut juga bukan hanya pada lagu-lagu semata, melainkan bentuk instrument pun juga ikut terpengaruh. hal ini dapat dilihat pada gambus yang digunakan yang menyerupai bentuk gitar. bahkan ada pelaku musik gambus yang sengaja mendesain gambusnya yang menyerupai gitar puntung milik Rhoma Irama. Gambus adalah alat musik berdawai seperti mandolin yang berasal dari Timur Tengah. Jauh sejak sebelum abad ke-20 instrumen ini beserta musiknya telah ikut menyebar bersama dengan ajaran agama Islam ke negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri musik gambus kemudian diadaptasi ke dalam budaya lokal oleh sebagian masyarakat di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, dan Kalimantan. Di Sulawesi khususnya daerah – daerah Bugis berkembang jenis musik tradisi yang disebut Gambusu. Di salah satu sumber dikatakan bahwa istilah “Gambusu” mengacu tidak hanya pada alatnya saja, tapi juga pada kegiatan memainkan musik Gambus. Secara harfiahnya Pa’gambusu artinya orang yang memainkan gambusu’ dan Ma’gambusu’ ditambahkan awalan ma’ menjadi kata kerja adalah sedang melakukan permainan /memainkan gambusu’ Sementara di sumber lain disebutkan bahwa Gambusu’ adalah musik yang banyak dimainkan di tengah/pedalaman pulau—dengan ciri permainan yang lebih kompleks, berbeda dengan Gambus yang berkembang di wilayah pesisir yang dari segi permainannya lebih sederhana. Di daerah Kabupaten Wajo sendiri, Gambusu’ atau gambus adalah salah satu alat musik dawai yang bernuansa islami. Genre gambusu’ di Kabupaten Wajo memadukan musik melayu yang berkarakter Bugis dan irama petikan Gambus Arab. Dalam tradisi budaya di Kabupaten wajo Gambusu’ biasanya dipertunjukkan dalam perayaan religius seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, ritual upacara Maqqarobah (Hari raya Qurban), Mappanre Temme (Khatam Al Quran), dll. Menurut Salah satu informan H. Songgo sebagai tokoh masyarakat di Wilayah Lakadaung Kab. Wajo menuturkan bahwa : “Narekko meloki mita paqgambusuq, engkapa acara-acara ummaq selleng, Artinya jika ingin melihat pertunjukan gambusuq, biasanya pada acara-acara keislaman. Berdasarkan teori persebaran budaya, alat musik ini dibawa dan diperkenalkan dengan berbagai cara, baik perniagaan mupun peperangan, dua obyek yang menjadi karaktersitik kesejarahan Kerajaan Wajo. Melayu sebagai etnik besar di dunia dapat dikatakan merupakan indikator untuk menelusuri musik gambusu’. Di Indonesia etnik Melalyu terdapat di berbagai daerah, termasuk di Sulawesi Selatan yang mendiami hingga saat ini. Dijelaskan oleh Sudirman Sabang, bahwa priode awal kedatangan suku etnik dari luar Sulawesi Selatan adalah Melalyu Tua yang pada akhirnya tersingkir melalui invasi melayu Muda yang memiliki perkembangan teknologi lebih maju. Didalam persebarannya itu terjadi transformasi yang didalamnya terdapat pertukaran unsur kebudayaan yang saling mengisi satu sama lain. Pertukaran tersebut telah melalui proses, baik evolusioner maupun revolusioner. Seperti halnya gambussu’ yang merupakan kesenian yang kecenderungannya lekat dengan kehidupan Islamik. Menilik sejarah dalam lontara’ menjelaskan penyebaran unsur kesenian Islam ini melalui jalan revolusioner yang dikomandoi oleh Sombayya ri Gowa Sultan Alauddin, sebagai proses Islamsasi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Peristiwa itu di kenal dengan peristiwa musuq sellengnge (Wawancara dengan H. Songgo 18 juli 2017. Pada prinsipnya, secara etnomusikologi, gambussu’ termasuk alat musik yang terdiri dari wujud gagasan, seperti konsep tentang ruang : tangga nada, wilayah nada,nada dasar , interval, frekuensi nada, sebaran nada-nada, kontur formula melodi, dan lain-lainnya. Dimensi ruang dalam musik ini merupakan organisasi suara. sementara di sisi lain. Gambussu’ juga di bangun oleh dimensi waktu, yang terdiri dari; metrum atau birama, nilai not (panjang pendeknya durasi not). Kecepatan (seperti lambat, sedang cepat, sangat cepat). Kedua dimensi pendukung musik ini, kadang juga berhubungan dengan seni tari yang diiringnya. Secara umum gambussu’ sendiri, merupakan insteraksi seni musik dengan seni tari terwujud dalam satu konsep. Alat musik gambussu’ ini biasa dimainkan untuk mengiringi pertunjukan seni tradisonal bugis, yang secara fungsional musik gambussu’ adalah sebagai pembawa melodi. Gambussu’ merupakan alat musik petik yang masuk dalam klasifikasi kordofon (salah satu klasifikasi alat musik yang proses bunyinya berasal dari getaran senar atau dawai). Alat musik ini juga termasuk pula dalam kelompok lute berleher panjang karena alat musik gambussu’ ini mempunyai leher yang panjang dan bentuk badannya seperti buah pir yang dibelah dua. Pada saat awal melihat dan mendengarkan alat musik ini dimainkan, penulis merasa tertarik baik dari sisi ilmu maupun konteks budaya. Dari segi ilmu etnomusikologi adalah bagaimana konteksnya dalam peradaban masyarakat kerajaan wajo. Dari sisi konteks budaya, gambussu’ merupakan alat musik yang bercirikan Islam dan digunakan dalam konteks ritual-ritual budaya kerajaan Wajo yang bersifat saraq (Wawancara dengan H. Soggo 18 juli 2017). Di sisi lain, gambussu’ memiliki suara khas dibanding dengan orang lainnya dengan lantunan suara yang lebih lembut, menggunakan dekorasi hias berciri Islam dengan krakter bugis. Pa’gambssu’ memainkan teamatik taksim, terutama dari gagasan tematik lagu bugis yang dimiliki berhubungan dengan konten-konten islam. Pengelaran gambussu’ dilakukan pada berbagai kesempatan, untuk hiburan, dihubungkan dengan ritual dalam adat bugis (Wawancara dengan H. Songgo 18 juli 2017. a. Proses Memainkan Alat Musik Gambussuq H. Songgo lebih jauh menjelaskan bahwa untuk memainkan gambussu’ tentunya harus mempunyai teknik agar pemain gambussu’ bisa bermain dengan maksimal. Teknik memainkan gambussu’ tdk jauh berbedah dengan bermain gitar pada umumnya yaitu jari kiri menekan leher gambussu’ untuk memainkan metodi dan jari kanan untuk memetik senar. Penjelasan nada yang dijelaskan H. Songgo merupakan penjelasan berdasarkan informasi yang didapat dan hasil belajar pada orang tua H. Songgo . Gambussu’ merupakan alat musik yang terdiri dari 5 baris senar diantaranya 4 baris berlapis 2 sementara 1senar tidak berlapis yang mempunyai nada terendah. Nada yang dihasilkan pada setiap senar lepas 1 hingga 5 mempunyai nada yaitu: * Senar 1 nada dasar D (paling bawah) * Senar 2 nada dasar A * Senar 3 nada dasar E * Senar 4 nada dasar B * Senar lima nada dasar E rendah (paling atas) Berdasarkan penyataan H Songgo , Bahwa “ Nappai matu yaseng taue panggambussug,yakko naporiati gambussu’” Artinya; “ Dikatakan dia adalah pemain gambussu’, jika ia mampu menghadirkan gambussu’ dalam perasaannya” Esensi maknawi pernyataan H. Songgo di atas adalah permainan gambussu’ yang baik tidak hanya melihat kemampuan paggambussu’ semata dan penghafalan lagu, tetapi penghayatan ataupun naluri musical paggambussu’ yang sangat penting . Apabila perasaan paggambusssu’ membawakan lagu dengan penghayatan, maka semakin sempurnalah rasa yang duituangkan dalam lagu tersebut faktor instrumen gambussu’ yang digunakan cukup berpengaruh dalam penyian permainan, semakin baik kwalitas instrumrn gambussuq yang digunakan, maka foktor tersebut sangat mendukung dalam permainan gambussu’ yang baik. Pola perawatan gambussu’ pun menurut H. Songgo dengan istilah “nappo kianak i”. Agar gambussu’ dapat bertahan lama dan awet, diperlukan proses perawatan yang baik terhadap alat musik ini. Perawatan gambussu’ yang baik adalah dengan menyimpan pada tempat yang kering dan dibungkus dengan kain, karena berpengaruh pada kualitas suara yang dihasilkan apabila bagian kulit gambus (oliq) lembab, bagian kuda-kuda (ceddaq) sebagai pembatas senar dibagian perut sebaiknya diturunkan, agar kulit tidak mengembang. Agar kayu tetap kuat, sebaiknya gambussu’ dioleskan minyak kayu putih. Selain untuk kayu tetap kuat, minyak kayu putih juga memberi aroma yang baik pada gambus. b. Wujud sistem nilai budaya dan usaha pelestarian kesenian Paggambusssu’ Tradisi kesenian maggambussuq, didengarkan dan dihayati secara bersama-sama pada peristiwa tertentu, dengan maksud dan tujuan tertentu pula. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain berkaitan dengan pasca perkawinan, syukuran, khitanan, pasca panen dan acara lain yang tujuannya menghibur. Tradisi tersebut, pada dasarnya, sangat digemari oleh warga masyarakat biasanya didengarkan bersama-sama karena mengandung gagasan, pikiran, ajaran, nasehat, dan nilai-nilai moral menyangkut kebudayaan bugis secara umum dan masyarakat kabupaten Wajo secara khusus. Gagasan ini berpengaruh pada sikap dan perilaku masyarakat tradisional yang memiliki ikatan kolektifitas sosio kultural yang kuat. Keberadaan kesenian maggambussu’ ini dianggap sebagai bukti historis kreatifitas masyarakat bugis dahulu yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan semangat solidaritas sesama masyarakat. Semangat solidaritas yang dihasilkan dari tradisi maggambussuq berdampak positif pada menguatnya ikatan batin diantara anggota masyarakat di kabupaten Wajo. Dalam konteks ini, bisa dilihat bahwa tradisi tersebut memiliki fungsi sosial, dengan demikian bisa dikatakan bahwa memudarnya tradisi-tradisi di masyarakat merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial diantara mereka, dan sebaliknya. Pertanyaan ini sering mengemuka di kalangan pemerhati budaya yang menilai ikatan sosial budaya suatu masyarakat sudah beralih ke sikap individualistis dan kompromistis, bukan lagi pencerminan dan perwujudan dari sistem budaya yang melekat pada masyarakat tradisional yang kolektif dan kuat. Pementasan tradisi ini, merefleksikan prinsip hidup seperti sipatokkong, sipakalebbi, dan sipakaingeq mengisyaratkan bahwa setiap manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok membutuhkan orang lain atau kelompok lain dalam mewujudkan tujuan hidupnya. Mereka saling kerjasama, saling mendukung dan saling melengkapi. Ketergantungan manusia yang satu dengan manusia yang lain menurut tokoh masyarakat Wajo yang juga menjadi informan penelitian ini, H. Songgo dan A. Muh. Abdul Andi Poci yang menganalogikan ibarat anggota tubuh manusia yang tidak mungkin dipisahkan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Semua anggota tubuh manusia mempunyai tugas, tanggung jawab dan fungsi masing-masing untuk mendukung fungsi tubuh itu secara keseluruhan. Demikian halnya dengan masyarakat Wajo misalnya dalam menjalin hubungan antar strata sosial yang disiami dengan prinsip hidup termaktub dalam lontaraq, terutama pada bait-bait yang mengisahkan kekuasaan Batara Guru ke Arung Matoa di kerajaan Wajo yang membentuk sistem monarki konstitusional, dimana Arung Matoa sebagai raja tunggal mendengar dan mempertimbangkan segala kebutuhan rakyat melalui Arung Bettempola. Jelas dalam regulasi tersebut menandakan bahwa, kerajaan Wajo telah menyepakati bahwa, rakyat kerajaan Wajo secara menyeluruh menyadari bahwa setiap unsur masyarakat mempunyai hak, kewajiban, tugas tanggung jawab dan fungsi, akan tetapi saling membantu, saling mendukung dan saling melengkapi sesuai norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Melalui prinsip ini pula, dikenal dengan kerajaan merdeka dengan semboyan “maradeka to wajoe, adeqna na papuang” (merdekalah rakyat Wajo, adat istiadatnya sendiri yang dipertuankan). Di Era Globasi seperti saat ini yang tidak lagi menampilakan kesederhaan dan kebersamaan tapi cenderung mengalami pergeseran ke arah hedoisme dan individulisme, olehnya dibutuhkan cerminan pengendalian sosial; yang salah satunya adalah Ma’gambusu’ karena tradisi ini bernuansa islami serta mengandung pesan-pesan religius sehingga dianggap merupakan sarana untuk mengingatkan masyarakat terhadap Tuhan Yang maha Esa

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047