Annyorong Lopi

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800783
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image
Annyorong lopi “Upacara Peluncuran perahu” 1. Nama dan Latar belakang Upacara Secara harfiah annyorong lopi terdiri atas dua kata, yaitu annyorong (mendorong) dan lopi (perahu). Jadi, annyorong lopi berarti mendorong perahu atau biasa pula disebut peluncuran perahu. Annyorong lopi bukanlah aktivitas biasa yang dilakukan oleh nelayan setiap akan berangkat atau pulang melaut dengan mendorong perahu ke bibir pantai atau sebaliknya mendorong ke laut. Akan tetapi annyorong lopi adalah suatu aktivitas ritual yang dilakukan oleh masyarakat Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba sebagai sesuatu tanda syukur atas selesainya suatu kegiatan pembuatan perahu , dan perahu tersebut akan dioperasionalkan di laut. Khusus Peluncuran alat transportasi baru termasuk annyorong lopi, upacara syukuran yang dilakukan senantiasa dirangkaikang dengan cara songka bala (tolak bala). Acara tolak bala merupakan sistem keparcayaan lama yang masih kental dalam alam pikiran masyarakat setempat. Acara tolak bala biasanya dipimpin oleh seorang dukun yang disebut guru. Istilah guru diyakini berasal dari Batara Guru. Yaitu anak sulung Dewa Patotoe (Sang Penentu Nasib) yang diturungkan ke bumi sebagai manusia pertama penghuni ini. Batara Guru merupakan salah satu tokoh legendaris dalam epos Lagaligo. Melalui pengantar sang guru tersebut, diyakini perahu tersebut selama dioperasionalkan akan terhindar dari marabahaya, termasuk nahkoda dan para kelasinya. 2. Maksud dan Tujuan Upacara Upacara adat annyorong lopi merupakan suatu perwujudkan rasa syukur bagi pemilik perahu dan para tukang atas selesainya pembuatan perahu yang mereka harapkan . Perwujudan rasa syukur tersebut dialamatkan kepada Tuhan atas berkah dan keselamatan yang diberikan selama proses pembuatan perahu tersebut. Sebagai mahluk sosial. Perwujudan rasa syukur tersebut melibatkan orang banyak untuk turut bergembira dan menikmati sajian yang dipersiapkan oleh empunya kegiatan. Selain acara syukuran. Upacara adat annyorong lopi juga dirangkaikan acara Songka bala. Hal ini dimaksudkan agar perahu baru tersebut dapat terhindar dari marabahaya yang senantiasa mengancam keselamatan ketika berada di tengah laut. Demikian pula kelurga yang ditinggalkan di darat, dapat pula terhindar dari bahaya tersebut. Selain itu, dimaksudkan pula agar selama perahu tersebut dioperasionalkan senantiasa mempeoleh keuntungan dan rezeki yang banyak. 3. Waktu da Tempat pelaksanaan Upacara Waktu pelaksanaan ritual upacara adat annyorong lopi disesuaikan dengan adanya perahu baru yang telah selesai dibuat. Waktu yang dianggap tepat untuk meluncurkan perahu biasanya pemilik perahu berkonsultasi dengan guru syara’ untuk menentukan hari baik pelaksanaan ritual upacara tersebut. Hari-hari baik itu biasanya disesuaikan dengan sistem pengatahuan tradisional masyarakat setempat yang dipadukan dengan ajaran agama islam. Pelaksanaan upacara tersebut dilakukan selama dua hari, yaitu pada hari pertama dilakukan pada hari sore hari. Dan hari kedua diadakan pada pagi hari. Pada hari pertama penyembelihan hewan kurban berupa kambing dan dua ekor ayam (jantan dan betina). Penyembelihan dilakukan di atas perahu, tepatnya didekat mesin perahu. Sedangkan pada hari kedua dengan pokok acara pembacaan kitab al-barazanji dan songka bala dilakukan di atas perahu. Sedangkan para tamu yang datang dapat menepati ruang yang diatas perahu atau tempat yang telah disiapkan sekililing badan perahu. Selesai pembacaan Kitab al-barazanji dan makan bersama para tamu dilakukan pemberian pusat perahu yang dikenal dengan ammossi. Selanjutnya setelah kegiatan ammossi selesai kemudian dilanjutkan di bantilang (tempat pembuatan perahu), tepi pantai hingga perahu tersebut meluncur ke laut. 4. Pemimpin dan Pesrta Upacara Pemilik Perahu merupakan penyelenggara utama dalam ritual upacara annyolorong lopi. Sebagai penyelenggara utama, ia menanggung seluruh biaya yang digunakan dalam prosesi upacara adat tersebut. Selain itu, ia pula yang menentukang siapa-siapa guru syara’ dan warga masyarakat yang dipanggil atau diundang untuk hadir dalam upacara tersebut. Namun apabila pemilik perahu bukan orang setempat (berasal dari luar), maka pemilik perahu menyerahkan sepenuhnya kepada punggawa lopi untuk urusan teknisnya. Selain pemilik perahu bersama keluarganya,terdapat pula beberapa orang yang memegang peranan penting dalam prosesi ritual upacara tersebut,yaitu guru syara. Dimana guru syara berperan sebagai pemimpin upacara pada tahap kegiatan pembacaan kitab al – barazanji dan songka bala (tolak bala) dilakukan di pagi hari. Selain itu terdapat pula orang yang disebut punggawa (kepala tukang) yang berperanan sebagai pemimpin pada acara pembuatan possi (pusat) perahu. Setelah selesai pembuatan possi (pusat) perahu.Setelah selesai dilakukan ammosi perahu maka perahu akan segera di dorong atau di luncurkan ke laut. Prosesi upacara tersebut juga terlibat secara aktif sebanyak puluhan atau bahkan ratusan orang. Mereka itu terdiri atas para sawi (anak buah tukang) nahkoda bersama kelasinya yang akan melayarkan perahu, anggota guru syara , kaum laki laki yang akan mendorong perahu, dan kaum wanita yang menyiapkan makanan untuk para tamu dan peserta upacara. Banyaknya kaum laki laki dan kaum perempuan yang di undang untuk mendorong perahu dan menyiapkan makanan biasanya di sesuaikan dengan besarnya perahu yang akan di luncurkan.Semakin besar perahu tersebut, maka semakin banyak orang yang diundang. 5. Persiapan Upacara Setelah perahu yang di pesan oleh pemilik sudah rampung termasuk pengecatan ,maka pemilik perahu sudah mulai mempersiapkan uparaca annyorong lopi.persiapan paling utama adalah ditentukan adalah mengenai hari pelaksanaan upacara, karena sangat terkait dengan nasib atau keberuntungan masa depan perahu itu sendiri. Penentuan hari dikaitkan dengan sistem pengatahuan tradisional masyarakat yang berkaitan dengan hari-hari baik dan buruk. Orang di daerah tersebut meyakini dan mempercayai bahwa ada waktu yang yang baik untuk melakukan sesuatu termaksud dalam kegiatan upacara, karena diyakini dapat memperoleh keberuntungan dan keselamatan, dan ada pula waktu yang tidak baik atau buruk untuk melakukan sesuatu karena diyakini dapat memperoleh sial atau malapetaka. Bagi mereka isi waktu itulah yang penting, kualitas suatu waktu tergantung pada isinya, apakah baik atau buruk. Misalnya hari naas, yaitu hari-hari yang sama dengan tangal satu Muharram pada tahun berjalan dianggap sebagai hari yang buruk . Demikian pula Bulan terjepit, yaitu bulan yang diantarai oleh dua hari raya , yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dianggap bulan yang tidak mempunyai berkah. Sehinggah hari-hari dalam bulan tersebut dianggap buruk untuk melakukan sesuatu Demikian pula beberapa hari lainnya. Penentuan hari pelaksanaan upacara, biasanya pemilik perahu berkosultasi dengan guru syara’. 6. Bahan dan Perlengkapan Upacara Setelah penentuan hari pelaksanaan upacara, disiapkan pula beberapa perlengkapan upacara. Perlengkapan uapacara yang utama adalah binatang yang akan dikurbangkan beserta beras dan bumbu-bumbunya. Binatang yang akan dikurbankan biasanya disesuaikan dengan besarnya perahu. Bilamana perahu tersebut bertonase besar, seperti pinisi, maka binatang yang dikurbangkan berupa kerbau. Sedengkan bertonase sedang atau kecil biasanya binatang yang dikurbankan adalah kambing atau ayam . Selain binatang, disiapkan pula beras ketan dan beras biasa. Beras ketan akan dibuat nasi ketan sebanyak empat warna, yaitu merah,hitam,kuning dan putih Nasi ketan tersebut akan disuguhkan dalam bentuk sesajian pada acara songka bala. Sedangkan beras biasa yang jumlahnya cukup banyak akan dibuat nasi sebagai konsumsi para tamu penyelanggara upacara. Dalam acara tersebut juga disiapkan beberapa sisir pisang dan kue-kue tradisional berupa Haje, lopisi, onde-onde, kaddo massigkulu sebagai perlengkapan sesajian songka bala. Persiapan yang lain dilakukan, adalah mempersiapkan peralatan yang akan digunakan, seperti priuk tolak bala beserta air sumur dan beberapa macam ramuan. Disiapkan pula pa’otere (sejenis pahat kecil yang digunakan oleh orang dulu mengebor kayu) dan alat bor masa kini. Kedua alat tersebut akan digunakan untuk membuat possi (pusat) perahu. Selain itu. Disiapkan pula kain putih dan selembar kain sarung yang akan diselimutkan kepada punggawa pada saat mengebor. Disiapkan pula sebuah botol yang berisi minyak kelapa yang gunanya untuk menampung serbuk bekas pengeboran. Untuk kelengkapan peluncuran perahu pada pagi harinya, disiapkan pula dengan memasang kengkeng jangang yakni balok-balok besar dan panjang agar tidak rebah dn miring pada saat perahu didorong dan beberapa potong gallasara (kayu bulat atau batang kelapa) yang akan fungsikan sebagai titian perahu pada saat kalibiseang (punggung perahu) didorong agar dapat lebih muda meluncur kelaut.dan orang yang bersuara keras yang dapt memberi aba-aba atau komando agar semua orang dapat serentak dan bersemangat mendorong perahu. Berbagi persiapan yang telah dilakukan tersebut, termasuk undangan yang secara lisan, terutama kepada guru syara’ bersama anggotanya, punggawa bersama sawinya nahkoda bersama kelasinya dan anggota masyarakat secara keseluruhan, dan anggota masayarakat secara keseluruhan, baik laki-laki maupum perempuan yang akan membantu mendorong perahu dan menyiapkan makanan dan minuman. Atas kehadiran mereka semua sangat membantu dan menentukan jalannya prosesi upacara tersebut. 7. Jalannya Upacara Sebelum pelaksanaan proses peluncuran perahu ada 3 tahapan yang harus dilewati hingga perahu tersebut dapat diluncurkan, dimulai dari 1). Anna‘bang kayu “menebang kayu’’ . Menebang kayu di hutan pada dasarnya memohon izin dan restu pada kekuatan gaib agar merelakan kayunya untuk ditebang. Tampak pada upacara ini perilaku punggawa yang lain dari biasanya yang memberikan kesan magis, 2). Annattara yakni penyambungan lunas (lunas depan dan lunas belakang) yang merupakan simbol “pertemuan”ayah dan ibu sebagai cikal bakal terciptanya “janin” yang selanjutnya akan diproses menjadi “bayi” dalam bentuk perahu ke dalam lubang kalebiseang dimasukkan material tertentu merupakan simbol isi kandungan “sang ibu” yang bermakna kekuatan, kemuliaan dan kemakmuran. Mentera yang diucapkan punggawa merupakan doa sprit yang akan memberikan ketenangan dan harapan bagi pemilik perahu. Serpihan kayu pannatta’ dibagi dua antara punggawa dan pemilik perahu, merupakan simbol ikrar dan kesekapatan di antara mereka , dan 3) ammossi “memberi pusat pada pertengahan perahu” upacara ini merupakan simbol “kelahiran sang bayi perahu” dan telah lahir kembali seorang anak punggawa yang sempurna. Pandangan dunia gaib dalam proses pembuatan perahu sampai kini masih diperercaya para punggawa/panrita lopi. Berdasarkan pandangan tersebut diadakan aktivitas ritual upacara yang dilakukan para punggawa pertukangan, seperti: Anna‘bang kayu, Annattara dan ammossi. Secara sugestif penghayatan dan atas pelaksanaan ketiga upacara diatas telah menularkan situasi serba sakral bagi sebagian besar orang yang menghadiri upacara, sebab ritual ini menunjukkan tingkah laku yang berbeda dari biasanya. Terutama saat punggawa dengan mulut komat-kamit sambil mengucapkan mantera dengan mengenakan kerudung putih sambil membakar kemeyan yang dibakar menyebarkan bau diupa di sekelingnya tempat upacara. Darah kambing dan dara ayam yang disembelih disekitar mesin perahu, terpancar keluar, dan suasana seperti ini benar-benar telah mengedapkan suatu perasaan yang hikmat Situasi yang serba sakral ini seolah-olah memberi petunjuk bahwa mereka dengan parantara punggawa sedang mengadakan huibungan dengan dunia lain yang memiliki kekuatan yang maha dahsyat dan dapat menuntukan kehidupan mereka di dunia Hal tersebut berarti mereka harus berjalan dalam jalur tata tertib yang telah digariskan oleh leluhur mereka, agar harmonisasi dan mikrosmos dan makrokosmos tetap terjaga. Prosesi upacara annyorong lopi ‘ peluncuran perahu’ terdiri atas empat tahapan, yaitu tahap pertama dilakukan acara penyembelihan hewan kurban dilakukan sore hari (sehari sebelum perahu diluncurkan). Tahap kedua acara syukuran (pembacaan kitab al-barazanji) yang dirangkaikan dengan acara songka bala (tolak bala). Acara ini dilakukan pada esok pagi dihari peluncuran . Tahap ketiga pembuatan ammossi (membuat pusat perahu). Dilakukan stelah acara pembacaan kitab al-barazanji dan songka bala selesai.kemudian tahap keempat yang merupakan inti dari semua rangkaian upacara yakni peluncuran perahu. Keempat tahapan tersebut merupakan suatu rangkaian yang sangat penting dan sakral untuk dilaksanakan. Pada hari pertama setelah salat Ashar dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa kambing dan dua ekor ayam (jantan dan betina). Hewan kurban tersebut disembelih diatas perahu (tepatnya dibagian dalam dekat mesin perahu) darah hewan yang disembelih tersebut ditampung dalam wadah kemudian darahnya dioleskan ke bagian mesin, bagian depan, bagian tengah dan belakang perahu atau biasa disebut nicerakki (mengoleskan darah pada bagian-bagian perahu) yang bermakna kesucian dan kemuliaan. Kemudian kambing dan ayam tersebut dikeluarkan dari dalam perahu untuk dikuliti. Sebelum dikuliti keempat kakinya terlebih dahulu dipotong. Kedua kaki depannya diikat dengan tali lalu digantung di bagian depan perahu, demikian pula kedua kaki belakangnya digantung di bagian belakang perahu. Selanjutnya daging kambing yang sudah dibelah atau dipotong-dipotong ditampung dalam wadah lalu dibawa ke rumah punggawa lopi untuk dibuat menu masakan yang akan dihidangkan keesokan harinya setelah selesai acara pembacaan al-barazanji dan songka bala. Barulah dilakukan makan bersama dengan tamu-tamu dan segenap warga yang hadir. Pada hari kedua, ketika para tamu undangan beserta penyelenggara upacara sudah tiba di bantilang. Sebagian di antaranya, terutama penyelenggara upacara (pemilik perahu), punggawa lopi dan para sawi (tukang-tukang perahu), tamu undangan dan tokoh-tokoh masyarakat, berada di atas perahu. Guru syara’ bersama anggotanya duduk bersila sambil membentuk formasi berjejer dan sedikit melingkar. Jumlah mereka sebanyak lima orang (jumlah tersebut tidak mutlak, dapat saja kurang atau lebih). Guru syara’ duduk di bagian tengah perahu (menghadap ke laut) berdekatan dengan sang guru dan pemilik perahu. Sedangkan pada tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, juga duduk bersila menghadap ke guru syara’ dan anggotanya. Dihadapan mereka disajikan beberapa sisir pisang dan jenis-jenis kue tradisional, seperti umba-umba, lapisi, haje, dan sebagainya. Sajian tersebut diletakkan secara teratur didalam beberapa kappara. Setelah suasana sudah tenang dan tertib, guru syara’ membuka kitab al-barazanji, kemudian membacanya. Setelah berlangsung lima menit, penghulu syara’ memberikan kepada anggotanya kitab tersebut untuk dilanjutkan membacanya. Demikian seterusnya, sehingga semuanya kebagian untuk membaca kitab tersebut. Kegiatan membaca kitab al-barazanji dilakukan pula dengan posisi berdiri bersuara seperti orang bernyanyi, diikuti oleh para tamu juga ikut berdiri. Kegiatan membaca pada saat berdiri dilakukan secara bersama-sama tanpa melihat kitab tersebut. Setelah beberapa lama kemudian, merekapun duduk kembali dan melanjutkan kembali kitab al-barazanji secara estafet hingga selesai. Pada saat membaca kitab tersebut sang guru syara’ juga membaca mantera, sambil mengaduk-aduk sebuah cerek yang berisi air songka bala. Cerek tersebut berisi air sumur dengan beberapa macam ramuan, seperti : (ere, raun sidingin, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, panno-panno, pimping) juga lengkapi alat pedupaan untuk membakar kemenyan sebagai tolak bala. Acara pembacaan kitab al-barazanji dilakukan secara bersamaan pembacaan mantera oleh sang guru syara’. Demikian pula kedua acara tersebut bersamaan berakhir. Setelah kedua acara ini berakhir, empunya perahu memberikan sedekah berupa amplop berisi uang kepada guru syara’ beserta anggotanya dan kepada sang guru syara’. Selain berupa uang, mereka juga mendapatkan bingkisan berisi songkolo (nasi ketan) bersama lauk pauknya. Acara selanjutnya diadakan makan bersama bagi seluruh penyelenggara upacara dan undangan yang hadir. Setelah acara pembacaan kitab al-barazanji dan songka bala selesai dilaksanakan, dilanjutkan dengan acara makan bersama dengan segenap tamu yang hadir. Selanjutnya acara ammossi perahu. Acara ini dipimpin oleh punggawa. Pertama-tama pemilik perahu bersama isterinya duduk bersila disebelah kanan kalibiseang berhadapan dengan punggawa. Sedangkan nahkoda duduk bersila di samping penggawa. Sebuah pedupaan dan pa’otere diletakkan di hadapan punggawa. Setelah semuasudah tertib dan tenang, punggawa kemudian membakarkemenyan di atas pedupaan. Pa’otere diambil kemudian diasapi di atas kemenyan. Setelah itu, Pungggawa mencari titik pertengahan kalibiseang, punggawa mencari di titik pertengahan kalibiseang,. Seorang anggota keluarga pemilik perahu menyelimuti punggawa dengan kain putih. Dengan kondisi berselimut, punggawa memahat sedikit titik pertengahan kalibiseang dengan menggunakan pa’otere. Serpihan kayu pahatan tersebut, bersama sebentuk cincin emas yang diberikan pemelik perahu, oleh punggawa memasukkan ke dalam mulutnya. Kemudian punggawa mengambil bor. Dengan sedikit berjongkok, bertadi ditancapkan tepat pada bekas pahatan pa’otere tadi. Sebelum bor diputar, punggawa terlebih dahulu membaca mantera yang berbunyi sebagai berikut: Nabi Summa tettong ,Nabi Sulaeman berdiri Riolona lopi ,Dihadapan perahu Nabi Hilir ajjaga ,Nabi Khaidir menjaga Rilaleng risaliweng ,di dalam dan di luar Bimillahirrahmanirrahim ,Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayan Selama kegiatan pengeboran doa tersebut, punggawa mengatur nafas, sampai terasa bahwa udara yang keluar dari setelah kanan lubang hidungnya lebih deras mengalir, pada waktu itulah (menurut kepercayaan mereka, sudah benar-benar berstatus laki-laki) punggawa menekan dan memutar bor menembus kalibiseang ke arah kanan (pelly, 1997: 246). Selama kegiatan pengeboran berlangsung, satu orang sawi berada di bawah perut perahu sambil memegang wajan berisi beras dan gula merah menantikan dan menadah serbuk bekas pengeboran. Serbuk tersebut dikumpul bersama serpihan kayu hasil pahatan pa’otere lalu diberikan kepada pemilik perahu. Oleh pemilik perahu, serbuk tersebut kemudian dimasukkan ke dalam botol yang telah berisi minyak kelapa. Botol tersebut kemudian dibawah dan digantung pada tiang layar perahu dan ditempatkan di bawah papan ketabang (geladak). Setelah acara ammossi usai, tiba saat acara yang ditunggu-tunggu oleh segenap warga yakni acara annyorong lopi, mendorong perahu. Sebelum memulai mendorong perahu seluruh laki-laki yang diundang berkumpul di bantilang. Jumlah mereka cukup banyak, disesuaikan dengan besarnya perahu yang akan diluncurkan. Bila perahu tersebut bertonase besar seperti pinisi, maka jumlah orang biasanya mencapai 200 orang. Para sawi dan kelasi mengatur gallasara di bawah dan di hadapan perahu. Gallasara tersebut nantinya akan berputar dan berfungsi sebagai titian yang akan dilalui perahu sewaktu didorong. Demikian pula kengkeng jangang (kaki penopang perahu) diatur dan diperbaiki agar perahu senantiasa dalam posisi seimbang. Seterah cukup banyak orang berkumpul sang guru syara’ sebagai pemimpin upacara mengucapkan komando awal dengan meneriakkang aba-aba persiapan dengan ucapan: Laaarilan baaateee . . . . .!!! aba-aba tersebut disambut dengan ucapan . . . . Taratajoooo . . . . Sambutan tersebut merupakan tanda kesiapan hadirin dengan serentak mereka siap. Orang-orang yangn hadir mengatur posisinya masing-masing, tetapi ada pula yang diatur oleh nahkoda atau punggawa yang telah berpengalaman dalam mendorong perahu. Sebagaian orang yang hadir umumnya ditempatkan dim hadapan sebagai penarik, dan sebagaian lagi orang-orang ditempatkan di samping dan belakang buritan sebagai pendorong. Sedangkan para kelasi dan sawi umumnya ditempatkan di bagian belakang buritan sebagai tenaga pendorong. Bagi yang berada di samping dan belakang buritan, mereka nantinya menolakkan panggung dan pundaknya ke perahu sambil mendorong ke arah laut. Pada saat memulai mendorong seorang perempuan memegang beras bersama serbuk yang akan dihamburkan kepada orang-orang yang akan mendorong. Terdengar suara-suara riuh dari orang yang mendorong sebagai penambah semangat. Teriakan penghulu syara’ yang kedua merupakan aba-aba yang terakhir untuk bersiap. Teriakan ini mendapat balasan dan sahutan bergemuruh dari orang banyak dengan ucapan taratajooo!!! (maksudnya” kami sudah siap”). Kemudian penghulu syara’ membaca doa secara Islam mengucapkan shalawat Nabi dengan irama tertentu . . . . . . . . . Allahumma salli wa ala aali Muhammad ........ yang langsung disambut oleh para hadirin dengan sallallahu alahi wasallam . . . . . . Selanjutnya memberi komando dalam bahasa konjo dengan ucapan laaarilambaateee . . . . . sambil berlari-lari kecil di samping dan di belakang perahu dan orang-orang yang hadir menyahut dengan kata . . . . . tarajooo . . . . . Komando terakhir dengan suara tinggi . . . . o. . . o . . .o rilailahaaa . . . . . orang banyak segera menyambut Hembaaa. . . . Hembaaa. . . Kemudian serentak mereka mendorong atau menarik sambil berteriak bersama-bersama: hela, helaa, helaaa! Dan seterusnya sampai perahu berciut-ciut meninggalkan bantilang melalui gallasara. Kegiatan mendorong perahu tidaklah sekaligus langsung selesai, biasanya secara pelan-pelan, tahap demi tahap, karena perahu cukup besar dan berat. Bila terasa lelah, mereka berhenti dan beristirahat, pemilik dan nahkoda sebuk membetulkan kaki penopang perahu agar perahu tetap dalam posisi yang seimbang. Untuk menambah semangat dan memanaskan situasi, banyak di antara mereka mengucapkan kata-kata lucu dan pomo, menimbulkan tertawa riuh. Adapun pantun yang bernada pomo yang diucapkan dalam bahasa konjo berbunyi : Baranina peyyong ulu sungguh berani si kepala gundul Lampa bundu’ tangnga pergi berperang ` bangngi di tengah malam pammoteranna sekembalinya sangnging nana ri ulunna kepalanya penuh nanah’ Selain itu ada pula pantun yang bernada sindiran kepada nahkoda atau pelaut yang suka melacur, berbunyi: Ri Birai pannyuluru’,na di Bira letak alat tusuknya (kontolnya) Rijahai nihokbok, di Pulau Jawa lubang Bentenna tiangnya Battuinta’le sesampai di sana Haji,le’ba sitabana maksudnya sangat pas Lantunan pantun jenaka dan tingkah pola pemberi komando menimbulkan suasana memanas dann gelak tawa yang riuh sehingga sehingga rasa lelah dan penat terobati. Demikian seterusnya diulang-ulang beberapa kali dan pemberi komandopun bergantian hingga perahu meluncur ke laut. Apabila perahu sudah terapung di laut maka perahu tersebut segera diputar agar dapat menghadap kedaratan. Bilamana rangkaian acara peluncuran perahu berakhir maka sebagian tamu mohon pamit ke rumah masing-masing dengan tidak lupa memberikan ucapan selamat kepada pemilik perahu. Dan sebagian lagi mengobrol sambil bermain demino dan memberi hadiah kepada pemenang dalam pertandingan domino. 8. Simbol-simbol upacara Dalam setiap pelaksanaan upacara, berbagai macam kegiatan yang dilakukan atau dipersiapkan guna mengukuhkan kembali ide-ide yang terkandung dalam setiap pemahaman. Salah penampilan besar peranannya pada tiap-tiap upacara dalam mengungkapkan kembali emosi keagamaan dan rasa religi pada setiap simbol-simbol yang terdapat pada setiap ritual upacara. Simbol adalah lambang/tanda yang mengandung suatu makna. Makna yang mengungkapkan adalah mewakili suatu pengertian yang abstrak, luas dan bersifat universal. Kesadaran tentang keutuhan suatu doktrin kepercayaan (Asis, 2010: 153-154). Sebelum ritual songka bala dilaksanakan, terlebih dahulu disiapkan kelengkapan berupa cerek yang berisi air yang diambil dari mata air tertentu, serta seikat dedaunan yang terdiri atas Raung sedingin (daun cocor bebek), sinrolo, taha tinappasa, taha siri, panno-panno yang diikat bersama pimping. Ikatan dedaunan tersebut mengandung makna sebagai berikut : -Ere (air yang diambil dari mata air tertentu) diyakini bermakna rezeki tidak pernah kering. -Raung sedingin, mengandung makna pemilik dan awak perahu senantiasa dalam kondisi yang tenang dan tentram. -Sinrolo, sejenis tumbuhan merambat yang tumbuhnya sangat cepat sehingga diharapkan pertumbuhan keberuntungan akan cepat meningkat. -Taha tinappasa, bermakna untuk menolak gangguan mahluk halus/roh jahat sehingga terhindar dari mala petaka. -Taha siri (siri = rasa malu / harga diri) diharapkan pemilik perahu memiliki harga diri dan malu apabila tidak berhasil. -Panno-panno (panno = penuh) merupakan sejenis daun yang diharapkan bermakna rezeki selalu penuh / berhasil. -Pimping yaitu sejenis tebu (batang rumput gajah) bila sudah kering sangat ringan dan dapat mengapung bermakna selalu bernasib baik / nasib selalu berada di permukaan. 9. Pantangan-pantangan upacara yang harus dipatuhi Upacara ini dipantangkan untuk dilaksanakan pada hari-hari yang dianggap buruk menurut sistem pengetahuan tradisional yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Walaupun telah menganut agama Islam, sistem pengetahuan tersebut masih diyakini dan harus dipatuhi. Bilamana hal tersebut dilanggar, maka diyakini akan mendapat mara bahaya, baik terhadap perahu itu sendiri maupun kepada pemiliknya. Selama prosesi upacara berlangsung, dipantangkan pula ada orang yang bertengkar di tempat upacara tersebut. Demikian pula dipantangkan ada anak-anak menangis karena tidak kebagian makanan. Hal ini dimaksudkan agar suasana pada saat itu dalam kondisi rukun dan damai. Bilamana pantangan tersebut dilanggar, maka diyakini Tuhan akan murkah. Akibatnya, segala yang diharapkan di dalam pelaksanaan upacara tersebut diyakini tidak akan mendapatkan berkah dari Tuhan. 10. Nilai-Nilai Upacara Prosesi pelaksanaan ritual upacara tersebut menghadirkan dua sistem kepercayaan, yaitu sistem kepercayaan animisme (pra-Islam) dan agama Islam. Kedua sistem kepercayaan tersebut ditampilkan secara bersamaan tanpa ada yang diutamakan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, segala sesuatu yang berkaitan dengan nasib, berkah dan keselamatan bersumber atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan yang berkaitan dengan sial dan marah bahaya diyakini bersumber dari Dewa yang bersemayam di laut. Oleh karena itu, antara harapan atas berkah dan tolak bala perlu ditampilkan secara bersamaan. Berbagai peralatan dan bahan-bahan yang dihadirkan dalam upacara tersebut mengandung berbagai makna simbolik. Adanya penganan, seperti onde-onde, lopisi, haje dan sebagainya yang jumlahnya setiap kue selalu ganjil. Onde-onde adalah jenis kue yang selalu muncul ke permukaan air pada saat dimasak, sedangkan kue lopisi bentuknya berlapis-lapis, begitu pula haje yang rasanya manis dan enak. Hal ini menunjukkan, bahwa segala sesuatu (rezeki) yang diharapkan oleh pemilik perahu senantiasa muncul bagaikan onde-onde, dan senantiasa bertambah secara berlapis-lapis bagaikan kue lapis, agar kehidupan pemilik perahu senantiasa dalam keadaan senang dan bahagia, seperti halnya enak dan manisnya kue haje. Selain penganan, dihidangkan pula beberapa sisir unti labbu (pisang besar dan panjang) yang jumlahnya selalu ganjil. Pisang melambangkan sesuatu tumbuhan yang tidak akan mati sebelum berbuah. Tumbuhan pisang daunnya berlapis-lapis, belum tua muncul lagi kuncup baru. Hal ini menunjukkan, bahwa perahu tersebut diharapkan tidak akan hancur sebelum memperoleh hasil. Penghasilan yang diharapkan senantiasa berkesinambungan secara terus menerus bagaikan munculnya daun pisang. Sedangkan unti labbu menunjukkan, agar rezeki yang diperoleh senantiasa yang relatif besar. Baik penganan maupun yang jumlahnya selalu ganjil menunjukkan makna yang tidak pernah genap atau tidak pernah cukup. Sehingga ada motivasi untuk mencari rezeki secara terus menerus hingga relatif cukup. Dalam pelaksanaan ritual upacara tersebut juga dihidangkan songkolo empat warna. Hal ini menunjukkan makna sulapa appa (empat persegi) yang melambangkan filosofi orang Bugis-Makassar. Seseorang yang dianggap sempurna, bilamana telah menguasai empat segi atau empat penjuru angin. Adapun keempat penjuru tersebut adalah : (1) ilmu surat, yaitu ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan baca tulis, manusia yang menguasai ilmu ini dianggap dapat menguasai dunia dengan ilmunya, (2) ilmu syariat, yaitu ilmu agama yang erat hubungannya dengan akhirat atau masalah-masalah kehidupan pada hari kemudian, terutama dalam hal tarikat, hakikat, dan makrifat, (3) ilmu silat, yaitu ilmu bela diri terhadap serangan yang terlihat oleh mata kasar. Ilmu ini bertujuan untuk menjaga diri dalam kehidupan sehari-hari, dan (4) ilmu magic, yaitu ilmu yang dapat menggunakan tenaga alam untuk mencapai kehendaknya, baik yang membawa kepada kebaikan maupun yang mungkin mencelakakan orang lain. Ilmu ini biasa juga dipakai sebagai penjaga diri terhadap serangan yang tidak terlihat oleh mata (Manyambeang,1985:45). Kesempurnaan tersebut diharapkan pula terwujud kepada perahu, terutama dalam upaya menangkal semua mara bahaya yang akan menimpanya. Hal ini terkait dengan ungkapan orang Makassar yang menyatakan pakajarreki pangngalakny yang artinya perkuatlah penjagaan dirimu. Selain penganan, peralatan upacara yang dihadirkan juga mempunyai makna simbolik. Misalnya, periuk yang berisi air sumur menunjukkan makna laut atau samudera. Air sumur menunjukkan makna tenang dan jernih. Tidak ada sumur yang airnya bergelombang, selalu menampakkan ketenangan, kalau airnya goyang, tidak akan menimbulkan gelombang besar. Hal ini dimaksudkan agar perahu kelak dalam mengarungi lautan dan samudera tidak menghadapi gelombang dan badai yang besar, tetapi senantiasa berada pada air laut yang tenang, bagaikan tenangnya air sumur. Selain itu, air sumur yang disiramkan kepada nakhoda dan para kelasi dimaksudkan agar mereka senantiasa bersikap dan berperilaku yang tenang dan berpikiran jernih, bagaikan air sumur yang tenang dan jernih. Perlengkapan yang lain, adalah minyak kelapa yang tersimpan dalam botol. Setelah diberi serbuk kayu bekas bor dan serpihan kayu pahatan, menjadikan makna sebagai obat minyak gosok. Bilamana perahu diamuk badai di tengah laut, minyak tersebut akan dioleskan beberapa bagian perut perahu. Hal ini merupakan kebiasaan orang Bugis-Makassar mengoleskan minyak tali pusat ke bagian perut anaknya yang sedang demam panas. (Pelly, 1997:247).

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047