Mappogau Hanua Sinjai

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800785
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image
Upacara Mappogau Sihanua adalah suatu upacara adat terbesar yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan oktober atau november oleh masyarakat pendukung kebudayaan Karampuang. Upacaranya berlangsung dengan sangat meriah, diikuti oleh ribuan orang dan dipusatkan di dalam kawasan adat Karampuang. Upacara Mappogau Sihanua ini berlangsung dalam beberapa tahapan sebagai berikut : 1)Mabbahang, adalah musyawarah adat yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Inti acara dalam Mabbahang adalah Mattanra Esso atau menentukan hari H pelaksanaan upacara. Mabahang dilaksanakan apabila seluruh padi yang tumbuh di kawasan Karampuang mulai dari sawah adat sampai sawah penduduk telah habis dipanen. Pabbilang, selaku piranti adat yang khusus dan ahli dalam menentukan hari-hari baik dan buruk diminta segera menetukan hari yang tepat utuk pelaksanaan upacara. Dalam penentuan hari hanya ada 2 (dua) hari yang dianggap baik yakni hari Senin dan Kamis sesuai dengan perhitungan adat mereka. 2)Mappaota, adalah sebuah ritual permohonan izin atau restu untuk melaksanakan upacara besar ini. Dalam pelaksanaannya, seluruh penghulu adat dibantu oleh masyarakat mengunjungi tempat-tempat suci dengan membawa lempeng-lempeng, sejenis bakul-bakul mini yang berisi bahan-bahan sirih. Seluruh bahan-bahan ini dibawa oleh dua orang gadis kecil dalam pakaian adat khas Karampuang. Gadis ini berfungsi sebagai pengawal Sanro. Mereka meletakkan sesajen pada Barugae sebanyak dua lempeng, dua di Batu Ragae dan dua di Batu Embae. Jumlah enam Ota ini disesuaikan dengan dengan jumlah To Manurung yang pernah ada di Karampuang dan pergi meninggalkan setelah mereka meletakkan dasar adat di Karampuang. Dengan demikian inti dari pelaksanaan upacara ini adalah untuk mengenang kembali leluhurnya yang telah memberikan lahan-lahan pertanian yang subur serta kehidupan yang layak. Selain itu, jumlah Ota ini juga dimaknakan sebagai peringatan kematian kepada seluruh pendukung kebudayaannya. Dalam kepercayaan adat Karampuang, proses penguburan adalam kematian terdiri dari enam tingkatan atau enam bentuk yaitu mallayang (melayang), digattung (digantung), ditunu (dibakar), dibalaburu (digabung), diwae (di air) dan maseddi-seddi (sendiri-sendiri). Keenam unsur inilah yang dijadikan dasar utama dalam pelaksanaan ritual upacara mappogau sihanua. 3)Mabbaja-baja, adalah kewajiban seluruh warga untuk membersihkan pekarangan rumah, menata rumah, membersihkan sekolah, pasar, jalanan, sumur dan yang paling penting adalah lokasi upacara. Sehingga diharapkan memasuki acara puncak upacara mappogau sihanua seluruh kawasan di Karampuang telah bersih. 4)Menre Bulu. Puncak acara Mappogau Sihanua adalah tiga hari setelah mabbaja-baja. Acara menre bulu atau naik gunung diawali dengan proses yang rumit. Malam hari menjelang pelaksanaannya, seluruh bahan dan alat serta perangkat dan pelaksana sudah dinyatakan siap, termasuk makanan yang akan disantap oleh para tamu yang akan datang. Menjelang pagi, seluruh ayam yang merupakan sumbangan warga dipotong, dibersihkan dan dibakar yang kesemuanya dilaksanakan oleh kaum pria. Setelah bersih baru diserahkan kepada kaum ibu untuk diolah menjadi bahan makanan. Setelah siap saji, sebagian makanan digunakan sebagai bahan sesajian (ritual) dan sebagian lagi disajikan sebagai konsumsi peserta upacara. Sambil menyiapkan makanan, Sanro (dukun) beserta pembantu-pembantunya melaksanakan ritual mattuli yakni pemberian berkah dan menyambut kehadiran sang padi yang telah dipanen kaum petani. Tellu wesse ase (tiga ikat padi) yang mewakili jenis padi yang ditanam di Karampuang sperti padi berwarna putih, merah dan hitam diletakkan di atas kappara makkaje di hadapan Sanro dilengkapi dengan Ota yang nantinya akan dipersaksikan kepada leluhurnya bahwa panen cucu-cucunya kembali berhasil. Upacara mattuli ini diiringi dengan gendang sanro, gamaru, jong-jong dan bunyi-bunyian lain yang menambah sakralnya upacara ini. Di bagian lain, acara mappdekko atau menumbuk lesung turut memeriahkan acara. Acara mappadekko ini juga adalah isyarat bahwa tidak lama lagi ritual di puncak Bukit Karampuang segera dilaksanakan. Setelah acara ritual mattuli, maka Sanro diikuti dengan Pinati, Arung, Gella, Ana Malolo Arung, Ana Malolo Gella dengan gadis-gadis pengiring meninggalkan rumah adat menuju lokasi upacara lain yaitu di puncak Bukit Karampuang. Suasana inilah yang ditunggu oleh seluruh pengunjung yang hadir. Sebelum rombongan menaiki jalan setapak menuju Bukit Karampuang, di kaki bukit Sanro dan Gella terlebih dahulu singgah memukul batu gong (batu yang bunyinya menyerupai gong) sebagai tanda bahwa upacar mappogau sihanua segaera dimulai. Ada anggapan dari mereka bahwa sebelum naik ke puncak Bukit Karampuang, mereka terlebih dahulu harus singgah mengetuk batu gong agar si penghuni dunia atas (makrokosmos) dapat menerima mereka. Sanro dan Gella memukul batu gong tersebut masing-masing sebanyak tujuh kali, tetapi dalam irama dan tempo yang berbeda. Sanro memukulnya sebanyak tujuh kali dengan interval nada pukulan yang teratur, sementara Gella memukulnya dengan interval pukulan yang agak cepat. Setelah melakukan pemukulan gong, rombongan peserta atau pengunjung beramai-ramai melanjutkan perjalanan menuju ke puncak Bukit Karampuang. Di atas bukit dilaksanakan ritual mallohong yakni meletakkan kain putih di atas sebuah altar lalu melepaskan ayam dan kambing. Ritual mallohong ini dipimpin oleh to matoa. Acara ritual dipuncak bukit karampuang ini adalah untuk mengenang kematian mallajang sekaligus melepaskan nasar kepada leluhurnya yang diucapkan pada pada pelaksanaan pesta tahun sebelumnya. Di atas susunan batu temu gelang ini juga digantungkan kain putih sebagai peringatan jalan kematian kedua yaitu digattung. Setelah acara mallohong selesai, dilanjutkan dengan tradisi membakar beberapa hasil bumi sebagai peringatan jenis kematian tahap ketiga yaitu ditunu yang dipimpin oleh Sanro. Makanan yang dibakar berupa songkolo dan makanan-makanan yang terbuat dari beras ketan. Makanan yang dibakar diletakkan di atas maca-maca (sejenis anyaman bambu) biasanya diperebutkan warga dengan jalan menggigit langsung dari api. Bahan yang dibakar ini dipercaya oleh masyarakat dapat menguatkan gigi agar tidak cepat tanggal dan rusak serta dapat dijadikan obat pada anak-anak yang sering attikerang (kerasukan). 5)Massulo Beppa artinya menerangi kue. Pada acara ini, kue-kue yang disiapkkan oleh warga dan dibawa dari rumahnya masing-masing ditempatkan ke dalam suatu wadah khusus yang disebut halaja yang terbuat dari hompong atau pucuk enau. Kue-kue tersebut dihidangkan dan diterangi dengan pelita yang terbuat dari bahan kemiri yang dicampur dengan kapas dan dililitkan pada kayu atau belahan bambu yang panjangnya sekitar 25 cm. Kue-kue tradisional tersebut umumnya terbuat dari tepung beras yang dicampur dengan gula merah dan kelapa kemudian diolah dalam berbagai bentuk. Acara massulo beppa ini berlangsung semalam suntuk dan pada saat menjelang fajar, seluruh kue-kue tersebut diambil oleh pemiliknya dan dibawa ke rumah masing-masing. Tradisi masuulo beppa ini sebagai bentuk kegembiraan dan kesenangan atas rasa syukur kepada yang ada di atas setelah masa panen. 6)Mabbali sumange. Pelaksana dalam acara mabbali sumange adalah Sanro. Menjelang pagi seluruh anak-anak bahkan kadang-kadang orang tua pun di bacce (sebuah proses pengukuhan) bertempat di abbacereng dekat sumur adat. Seluruh anak-anak tersebut diberkati oleh Sanro dengan jalan memberikan tanda di dahinya dengan kunyit basah bercampur dengan kapur putih dengan harapan apabila sang anak terkena penyakit, maka penyakitnya akan cepat sembuh. Acara mabbacce ini juga sebagai simbol peresmian menjadi anggota komunitas adat Karampuang. Setelah acara mabacce selesai, maka seluruh komunitas adat Karampuang menyiapkan ramuan-ramuan obat dari dedaunan yang terdiri dari 40 jenis dau-daun kemudian diiris tipis-tipis oleh kaum muda-mudi. Daun-daun yang sudah diiris tadi dipercikkan kepada orang-orang yang yang sedang berkumpul di halaman rumah adat Karampuang dengan diiringi ritual khusus dari Sanro disertai iringan musik tradisional yang meriah. 7)Malling. Tahapan akhir dari upacara adat ini disebut dengan malling atau berpantang yang dimulai 3 harisetelah acara mabbali sumange. Pantangan itu sendiri meliputi : temappacera (memotong hewan ternak), temaraungkaju (membuat sayur dari daun) serta mapparumpu atau melaksanakan ritual sendiri. Acara malling ini berlangsung 5 hari di rumah adat to matoa, 3 hari di rumah adat gella dan 1 hari di rumah penduduk. Masyarakat Karampuang sebagai masyarakat yang tetap memelihara tradisi upacara mappogau sihanua tentunya mengandung nilai yang diyakini baik oleh masyarakat pendukungnya. Adapun nilai-nilai yang dimaksud antara lain : 1)Nilai kultural Hal ini dapat dilihat dari antusias masyarakat Karampuang pada khususnya dan masyarakat Kabupaten Sinjai pada umumnya untuk datang berbondong-bondong untuk menghadiri upacara mappogau sihanua yang secara tidak langsung dapat mengambil alih atau mewarisi berbagai norma-norma sosial di samping nilai-nilai luhur yang terkandung dalam upacara mappogau sihanua. 2)Nilai Ilmu Pengetahuan Hal ini terlihat dari kemampuan Komunitas Adat Karampuang dalam mengembangkan sistem sistem pengetahuan tradisional mengenai alat penerangan. Sistem pengetahuan tradisional ini diterapkan secara praktis dengan menggunakan bahan lokal yang mudah diperoleh dari alam. Misalnya penggunaan alat penerangan dari kemiri yang ditumbuk dengan kapas lalu dililitkan pada belahan bambu kecil. 3)Nilai Solidaritas Sosial Hal ini tercermin dari aktivitas mereka dalam mempersiapkan upacara dan peralatan lainnya. Dengan senang hati dan penuh kesadaran mereka mempersiapkan peralatan dan bahan agar upacara dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Walaupun upacara mappogau sihanua membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi mereka secara swadaya dan sukarela membiayai pelaksanaan upacara ini. 4)Nilai filosofis dan religi Nilai yang religi yang yang sangat tampak dalam upacara mappogau sihanua adalah keyakinan masyarakat pendukungnya. Dalam hal ini mereka meyakini betapa sakralnya pelaksanaan upacara tersebut yang hingga saat ini dianggap masih bersemayam di alam roh atau di Bukit Karampuang sebagai suatu kawasan yang disakralkan. Selain itu, dalam penggunaan benda atau bahan upacara tidak terlepas dari nilai filosofi atau simbol-simbol yang bermakna. 5)Nilai pelestarian dan pemanfaatan alam Dalam menjalankan tradisinya, Komunitas Adat Karampuang tetap harus dekat dan bersahabat dengan alam sekitarnya. Upacara Mappogau Sihanua tidak akan dilaksanakan sebelum seluruh kawasan adat bersih dari kotoran dan hal-hal yang dianggap kotor. Demikian pula seluruh bahan-bahan upacara yang berasal dari hutan, sebelum menggunakannya harus diminta kepada penguasa hutan yang disebut dewata ri toli

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047