Mallangi Arajang Ri Goarie

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800793
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image
Upacara Ritual Mallang? Arajang ri Goarie merupakan salah satu tradisi masyarakat setempat dengan cara mensucikan benda-benda pusaka. Pelaksanaan ritual tersebut didasarkan atas suatu keyakinan yang kuat bahwa benda pusaka yang disucikan itu merupakan benda keramat yang harus selalu dijaga, dipuja, dan disucikan. Pelaksanaannya juga merupakan salah satu bentuk kesyukuran kepada Sang Maha Pencipta atas limpahan rahmat yang diberikan kepada keluarga pelaksana upacara. Selain itu, dilaksanakan ritual tersebut juga sebagai cara untuk mengenang kembali para leluhur-leluhurnya. Ritual Mallang? Arajang ri Goarié di dalamnya terkandung unsur-unsur kepercayaan pra-islam yang diwariskan nenek moyang terdahulu. Meskipun islam berkembang dengan pesat di daerah tersebut, namun masyarakat masih tetap mempertahankan adat tradisinya. Sebelum kedatangan islam di tanah Bugis masyarakat menganut berbagai kepercayaan-kepercayaan lokal yang menyebut Tuhan dengan Dewata SeuwaE berarti Tuhan yang satu. Kemuliaan Tuhan dalam pandangan masyarakat Bugis digambarkan bahwa Dia tidak berwujud, tidak bertubuh, dan tidak mempunyai Ayah dan Ibu. Konsep ketuhanan tersebutlah yang menjadi akar dari pelaksanaan suatu upacara-upacara keadatan dalam suatu masyarakat. Selain itu, masyarakat Bugis juga diatur atas empat hukum pranata sosial yakni adeq (adat kebiasaan), bicara (undang-undang), wariq (pelapisan sosial), dan rapang (persamaan hukum. Tanah Bugis Soppeng sekitar abad ke 13 terdapat dua kerajaan kembar yakni kerajaan Soppeng rilau dan kerajaan Soppeng riaja. Pemimpin dua kerajaan tersebut diyakini oleh masyarakat setempat sebagai To-Manurung atau orang yang turun dari langit. Soppeng riaja dipimpin oleh Latemmamala Manurunngé ri Sekkanyiliq (Latemmamala yang turun di wilayah Sekkanyiliq) dan Wé Temmappupp? Manurunngé ri Goarié (Wé Temmappupp? yang turun di wilayah Goarié). Kisah munculnya Wé Temmappupp? Manurunngé ri Goarié yang keberadaannya sangat berbeda dengan To-manurung yang menjelma di tempat lain karena ia ditemukan ketika dalam keadaan masih bayi di dalam sebuah guci atau yang bahasa Bugis-nya disebut (Balubu). Karena Wé Temmappupp? ketika ditemukan hanyalah mau menyusu kepada Ibu La Pateppa maka iapun dipersaudarakan dengannya. Itulah sebabnya dahulu, setiap anak bangsawan tinggi dari Datu keturunan Wé Temmappupp? ri Goarié yang baru lahir haruslah terlebih dahulu ipacceccoq (disusukan) satu kali sebagai tanda persaudaraan antara keturunan Wé Temmappupp? dengan keturunan La Pateppa. Karena diantara keduanya sudah dipersaudarakan dengan saling berikrar atau bersumpah bahwa: sitiroang décéng tessitiroang ja yang artinya saling mengajak kepada kebaikan, tidak akan saling menjerumuskan kepada keburukan. Kisah pemerintahan berjalan selama beberapa abad lamanya hingga sekitar abad ke-17 islam masuk ke tanah Bugis. Wé Temmappupp? yang merupakan Ratu di kerajaan Soppeng ri-lau tiba-tiba lenyap dan hanya meninggalkan pecahan guci (balubu) di salah satu bukit yang berada di wilayah Kelurahan Libureng Desa Goarié. Meskipun badan To Manurung sudah lenyap tetapi kekuasaanya di kerajaan Soppeng ri-lau masih tetap berlanjut. Pecahan guci (balubu) yang menjadi cikal bakal ditemukannya Wé Temmappupp? itu dianggap sebagai benda keramat dan memiliki kisah kemunculanya yang gaib. Oleh karena itu, masyarakat dan berbagai elemen-elemen kerajaan bersepakat menjadikannya sebagai Arajang. Orang Bugis memandang Arajang sebagai bentuk mini kerajaan. Selain itu diyakini pula bahwa, roh leluhurnya bersemayam di dalam benda Arajang itu. Orang Bugis Soppeng meyakini bahwa arwah leluhur yang mendiami Arajang harus diagungkan dan salah satu cara mereka dalam berkomunikasi maka itulah sebabnya pensucian benda Arajang digelar sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Pelaksanaan upacara ritual Mallang? Arajang ri Goarié merupakan salah satu tradisi masyarakat setempat yang dilaksanakan setiap tahunnya pada bulan Muharram atau biasa juga disebut dengan istilah adeq pattaungeng (adat yang diupacarakan sekali setahun). Salah satu bentuk pengorbanan masyarakat adat adalah adanya pemotongan hewan kerbau sebagai persembahan utama kepada roh leluhur. Dalam pelaksanaannya, masyarakat setempat, kerabat, dan keluarga saling menyatu antara yang satu dengan yang lainnya. Tidak mengenal strata dan status sosialnya, mereka secara bersama-sama membangun kerjasama demi terlaksananya suatu upacara ritual tanpa ada hambatan. Berbagai sumbangan baik dalam bentuk moril maupun materil dalam pelaksanaannya menjadi salah satu cerminan masyarakat setempat dalam memperkukuh nilai dalam adat tradisinya. Kegotongroyongan, kerjasama, keteguhan, kejujuran, persatuan, dan kerja keras yang tercermin dalam upacara ritual tersebut menjadi simbol identitas masyarakat setempat. Masyarakat setempat yang memiliki hasil kebun yang melimpah bertanggung jawab dalam menyediakan berbagai macam makanan-makanan tradisional untuk para tamu yang datang di tempat pelaksanaan upacara. Setiap tamu yang datang dari dalam maupun dari luar kota harus dijamu sebaik munkin sebagai aturan adat masyarakat di daerah tersebut. Dalam masyarakat Bugis terkhusus di Desa Goarié Arajang berfungsi sebagai imbol kekuasaan bagi raja. Siapa pun yang memegang Arajang maka ialah yang dianggap sebagai sebagai penguasa. Para keturunan raja dalam mempertahankan kekuasannya adalah Arajang. Benda-benda Arajang sangat berperan dalam mempertahnkan eksistensi kekuasaannya dalam suatu wilayah. Untuk menjaga Arajang dalam fungsinya sebagai simbol kekuasaan maka diadakanlah pemeliharaan, pemujaan, dan prosesi pensucian. Selain berfungsi sebagai simbol kekuasaan, Arajang juga berfungsi sebagai simbol identitas lokal masyarakat. Identitas lokal dalam ritual mallang? Arajang merupakan pengungkapan nilai-nilai luhur yang mengakar dalam suatu kelompok masyarakat tersebut. Sebagai simbol identitas, raja yang pernah memimpin suatu wilayah biasanya meninggalkan Arajang sebagai identitasnya bahwa kekuasaan pernah ada dalam wilayah tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan hal tersebut Arajang dan pelaksanaan upacaranya berfungsi sebagai simbol pemersatu dalam suatu kelompok masyarakat lokal setempat.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047