Pulanga

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800802
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Gorontalo
Responsive image
Pulanga merupakan upacara adat masyarakat Gorontalo yang berhubungan dengan acara penobatan. Pulanga ini berupa pemberian gelar adat yang dilakukan kepada orang yang masih hidup, biasanya diberikan kepada mereka yang menduduki jabatan penting mulai dari tingkat kecamatan, daerah bahkan provinsi. Di samping itu terdapat pula gelar yang diberikan kepada orang-orang yang sudah meninggal yang di sebut dengan Gara'i. Pulanga merupakan upacara adat yang resmi yaitu pemberian atau penganugrahan titel atau gelar jabatan. Pulanga diberikan kepada seorang pejabat dalam lingkungan pemerintahan, mulai dari gubernur, bupati/walikota. Dalam pelaksanaan upacara adat ini semua pejabat dalam lingkungan pemerintahan harus hadir tak terkecuali kepala desa atau ayahanda. Pulanga pada hakikatnya mengukur seseorang dalam jabatannya sebagai sumber pola anutan dalam setiap aktivitasnya (o’oliyo’o) sebagai pemimpin yang dipercaya rakyat. Pemberian pulanga itu sendiri mengandung tanggung jawab yang berat bagi yang bersangkutan, bukan saja di dunia tapi juga di akhirat kelak. Sangat dianjurkan agar seorang pemimpin itu adalah juga agamawan agar pertimbangan dan kebijakan seimbang antara akal dan hukum Islam. Karena luasnya wilayah kekuasaan seorang penguasa (olongia) dan agar tidak berbuat sewenang-wenang maka setiap pelantikan dikukuhkan dengan kata-kata bijak atau tuja’i, yang bunyinya sebagai berikut: Tulu, tulu lo ito EyaApi, api milik tuanku Dupoto, dupoto lo ito EyaAngin, angin milik tuanku Tawu, tawu lo ito EyaRakyat, rakyat milik tuanku Bo dia poluliya hilawo, EyangguTapi jangan sewenang-wenang, tuanku. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan tidak terbatas, punya wewenang tapi tidak sewenang-wenang. Kewenangan ini disebut dalam bahasa Gorontalo ‘datahu lo huntu hu’idu’ artinya dataran menjunjung gunung yang mengarah pada kekuasaan yang otoriter yaitu semuanya tunduk kepada penguasa dan segala keputusannya didukung oleh adat. Pada tahun 1673, masa pemerintahan Raja Eyato konsep datahu lo huntu hu’idu akhirnya diubah dengan difungsikannya Bantayo Poboide (Badan Permusyawaratan) maka kekuasaan diberikan kepada tuango lipu (rakyat) dimana wakil-wakil rakyat duduk sebagai anggota Bantayo Poboide menjalankan fungsi control terhadap penguasa, yang akhirnya menjalankan fungsi demokratis. Olongia (raja) sebgai pemimpin eksekutif menjalankan semua keputusan Bantayo Poboide sebagai badan legislatif untuk mencapai kesejahteraan rakyat (molimehu bu’ala). Gelar sapaan adat pulanga tidak sembarangan diberikan kepada seseorang. Artinya, tidak semua orang dapat dipulanga. Pemberian gelar sapaan berdasarkan pulanga hanya khusus diberikan kepada golongan pemerintah, pemangku adat, agamawan, dan para pengaman prosesi peradatan. Adapun sistem pemberian gelar sapaan pulanga mencakup tahapan-tahapan berikut ini yang dalam istilah adat disebut dengan istilah pohutu momulanga. Pelaksanaan pohutu momulanga berhubungan dengan beberapa faktor dan persyaratan yang mengacu kepada: (a) yang berhak menerima; (b) waktu pelaksanaan momulanga; (c) tempat pelaksanaan; (d) pelaksana kegiatan; (e) perlengkapan yang diperlukan; (f) prosesi pelaksanaan pohutu momulanga.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047