Pataheri/Matahena

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800808
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Maluku
Responsive image
Masyarakat atau orang Nua Ulu adalah salah satu suku yang berasal dari pedalaman Pulau Seram. Walaupun sulit untuk mendapatkan pembuktian secara pasti, namun di dalam mitologi masyarakat Nua Ulu menyebutkan bahwa leluhur mereka adalah orang-orang yang berasal dari tempat yang bernama Nunusaku. Diketahui selanjutnya bahwa daerah asal dari leluhur masyarakat Nua Ulu sampai mereka menetap di lokasi-lokasi pemukiman yang sekarang yaitu wilayah yang terdapat di sekitar Kecamatan Wahai sekarang ini, di Pulau Seram Bagian Utara pada suatu tempat yang bernama Hatu Supu (batu kuat/patokan) letaknya wilayah tepat di atas negeri Sawai dan Negeri Saleman (lihat Johan Nina, Tesis “Perempuan Nua Ulu” 2012). Kehidupan leluhur orang Nua Ulu yang berpindah-pindah (nomaden) pada masa lampau untuk mencari tempat tinggal, diawali dari Hatu Supu di hulu sungai Nua yaitu berdekatan dengan sungai Salawai. Hatu Supu pada hulu sungai Nua, sampai kini masih ada sisa-sisa peninggalan mereka yang lama yakni masih ada sebuah kursi dan sebuah meja yang terbuat dari emas. Apabila ada orang-orang yang berniat jahat terhadap kursi dan meja tersebut, maka lokasi itu tidak akan ditemukan. Namun bila ada yang berniat baik dalam hal ini hanya untuk melihat, maka tempat tersebut dapat ditemukan. Sudah ada banyak orang yang mengambil gambar kursi dan meja emas dalam bentuk rekaman di Hatu Supu, namun setelah keluar dari tempat itu hasil rekamannya sudah tidak ada. Pada waktu dulu, ketika perang antar suku sering terjadi di pulau Seram orang Nua Ulu merupakan sub suku yang sangat ditakuti dan disegani oleh sub suku lain. Kelincahan dan kelihaian orang Nua Ulu menggunakan panah dan tombak dalam berperang sangat diakui oleh orang Seram. Sejarah awal orang Nua Ulu menempati wilayah petuanan adat negeri Sepa adalah karena pada waktu perang orang Nua Ulu yang selalu membantu orang Sepa dalam berperang melawan musuh. Sehingga raja Sepa mengizinkan orang Nua Ulu tinggal dan menempati wilayah sekeliling negeri Sepa sebagai bentuk penghargaan dan ucapan terima kasih. Bagi negeri Sepa orang Nua Ulu dilambangkan sebagai pagar yang menglilingi dan menjaga negeri Sepa dari serangan musuh atau orang asing. Hal ini berlaku hingga sekarang. Walaupun ada beberapa dusun yang direlokasi oleh pemerintah daerah Maluku Tengah ke Warakah dan Kilo (berdekatan dengan Waipia). Suku Nua Ulu merupakan salah satu sub suku bangsa yang berasal dari Nunusaku sebuah kerajaan tertua di Pulau Seram. Suku Nua Ulu sejak dulu hingga kini masih dikenal sebagai komunitas tradisional karena cukup konsisten mempertahankan praktek adat istiadat di tengah dinamika perubahan social kultural yang pesat di sekitar lingkungan hidup mereka. Menurut penuturan salah seorang informan tradisi pataheri ini telah ada sejak zaman para leluhur orang Nua Ulu. Menurut kepercayaan orang Nua Ulu terkait dengan mitos kejadian manusia dan alam yaitu pertama-tama Awalu (Upu Kuanahatana) menjadikan Nunusaku. Dari Nunusaku inilah munculah seorang pribadi yang berbentuk laki-laki dengan seorang perempuan yang berasal dari kayangan (langit). Dari hubungan kedua lawan jenis ini lahirlah manusia-manusia yaitu : Tala, Eti, dan Sapalewa. Dengan izin Upu Kuanahatana darah yang mengalir dari kelahiran Tala, Eti, dan Sapalewa itu kemudian menjadi danau. Kedua, Upu Kuanahatana menciptakan langit sebagai pribadi laki-laki (adam) dan bumi sebagai pribadi perempuan (hawa). Dari hubungan kedua pribadi tersebut lahirlah benda-benda alam yang lain. Setelah terjadi semua isi bumi, Upu Kuanahatana menurunkan Maatope dari langit. Maatope diturunkan dengan menggunakan tali seperti benang sutera yang sangat halus, mengingat bumi masih dalam keadaan cair, kemudian berubah menjadi padat dan akhirnya menjadi laki-laki atau Maatope Manawa. Setelah itu Upu Kuanahatana menciptakan Maatope Hihina atau perempuan dari langit dan langsung diturunkan ke bumi. Dari Maatope Manawa dan Maatope Hihina inilah berkembang manusia. Makna filosofi dari mitologi diatas bahwa Tuhan (zat) yang maha tinggi telah menciptakan laki-laki dan perempuan serta alam ini sebagai cikal bakal terbentuknya kehidupan. Olehnya itu manusia perempuan dan laki-laki memiliki status social khusus dalam pandangan orang Nua Ulu. Tradisi pendewasaan (akil balik) dari remaja ke dewasa bagi perempuan dinamakan Pinamou sedangkan tradisi pendewasaan bagi laki-laki remaja ke dewasa disebut Pataheri. Dahulu, pada masa kerajaan Nunusaku yang dipimpin oleh seorang kapitan bernama Elake, upacara-upacara adat sering dilakukan seperti mensyukuri acara inisiasi masuk persekutuan Kakehan (sebuah ritual yang dilakukan terhadap anak laki-laki suku Nua Ulu yang beranjak dewasa) yang dikenal dengan nama tradisi Pataheri dan upacara adat Pinamou, ritual terhadap anak perempuan yang memasuki usia dewasa. Konon di Nunusaku, Kapitan Elake memiliki seorang putri yang sangat cantik. Ketika putrid beranjak dewasa diadakanlah upacara Pinamou dan diakhiri dengan pesta yang berlangsung sembilan hari. Para pemuda memperebutkan sang putri, dan disinilah merupakan cikal bakal pecahnya perang di Nunusaku antara kelompok Patasiwa dan Patalima, hingga akhirnya para leluhur kemudian menyebar dari Nunusaku melalui tiga batang air Eti, Tala, dan Sapalewa. Penyebaran para leluhur ke seluruh pulau Seram, termasuk wilayah Seram Bagian Utara, dimana orang Nua Ulu berasal. Awalnya orang Nua Ulu hidup secara nomaden atau berpindah-pindah, namun sekarang telah mendiami kawasan pemerintahan negeri Sepa Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah. Hingga sekarang orang Nua Ulu tetap mempertahankan dan melestarikan adat dan budaya mereka. Upacara Pataheri merupakan sebuah ritual adat pendewasaan bagi seorang anak laki-laki yang akan meranjak remaja/dewasa. Upacara ini ditandai dengan pemakaian celana pendek (cidaku atau ayunte) dan ikat kepala merah (karinunu) selain itu terdapat ritual pemenggalan kepala kusu (kus kus). Pada waktu dulu salah satu kewajiban yang harus dipenuhi adalah pemenggalan kepala manusia untuk dipakai dalam ritual adat. Namun seiring berjalan waktu, kepala manusia diganti dengan kepala hewan kusu (kus kus). Kusu merupakan salah satu hewan yang lincah dan sulit untuk ditangkap. Dan untuk menangkap kusu dibutuhkan kelincahan dan teknik khusus. Ini merupakan tantangan bagi orang Nua Ulu, sehingga mereka harus bisa dengan cara apapun untuk menangkap kusu. Aktivitas ini melatih kelincahan seorang Nua Ulu. Upacara Pataheri di zaman sekarang telah mengalami banyak perubahan seiring berjalan waktu dan perkembangan teknologi. Beberapa perubahan diantara nya adalah : 1) ritual kepala manusia diganti dengan dengan hewan yaitu kusu, 2) dulu anak-anak yang akan mengikuti cidaku yang berburu dan menangkap kusu sendiri namun sekarang orang tua si anak yang pergi berburu kusu bagi anak-anak yang akan cidaku, 3) peralatan asesoris yang dipakai dari warisan leluhur yang disimpan dengan cara ditanam, namun sekarang dibeli dipasar. Para penyelenggara dalam Upacara Pataheri adalah para tua adat yang meliputi Kepala Marga, Wakil Kepala Marga, Guru, Orang tua, dan Anak-anak peserta cidaku. Usia anak-anak yang akan mengikuti cidaku berumur sekitar 10 sampai 17 tahun. Umur 10 – 12 tahun beralih dari anak-anak ke remaja dan umur 13 – 17 dari remaja ke (pemuda) dewasa. Upacara Pataheri berlangsung selama 3 hari yang terbagi dalam beberapa tahap, yaitu : 1. Tahap Persiapan Tahap persiapan merupakan fase awal yang turut menentukan kesuksesan dan kelancaran Upacara Pataheri. Dalam realita sosial orang Nua Ulu status sosial sebuah keluarga dalam masyarakat dapat terlihat pada tingkat kesiapan menjelang uapacara.Semua orangtua yang anak-anaknya akan di lakukan upacara berkumpul di rumah adat untuk membicarakan waktu pelaksanaan upacara. Pada tahap ini para orang tua yang ingin melakukan pataheri terhadap anak mereka harus mempersiapkan segala sesuatu beberapa bulan sebelumnya, baik itu persiapan materi, spiritual dan finansial. Ada beberapa hal penting dalam tahap ini yaitu : - Persiapan bahan-bahan makanan yang akan digunakan dalam upacara, seperti pisang, patatas (ubi jalar), kaladi (ubi), sagu, kenari, maea (nougat) kelapa dan jenis bahan makanan lainnya. Bahan-bahan makanan ini diperoleh dengan cara ditanam atau dibeli di pasar. - Berburu Kusu (kus kus). Para orang tua laki-laki berburu kusu di hutan sebanyak anak-anak yang akan diupacarai. Kegiatan ini dilakukan 2 atau 3 hari sebelum uapacara dilakukan. Jika pada malam pertama kusuyang ditangkap masih kurang maka akan dilakukan pada malam-malam berikutnya hingga memperoleh jumlah yang ditentukan. Pada sore hari ibu-ibu menyiapkan makanan, kue-kue, dan kopi/teh lalu dibawa ke rumah adat (numa onate) untuk disantap oleh bapak-bapak sebelum pergi berburu. Selama waktu berburu ini ibu-ibu tetap berada di rumah adat sepanjang malam sampai bapak-bapak kembali. - Persiapan perlengkapan upacara, seperti pembuatan Ayunte yang akan dipakai sebagai celana), pembuatan Nyiru sebagai tempat sirih pinang dan makanan, asesoris berupa kalung, gelang, hiasan kepala (jepit rambut). - Selain itu para orang tua juga harus siap secara finansial agar dapat membiayai penyelenggaraan upacara. - Marga-marga yang akan melangsungkan upacara mengundang keluarga dan kerabat mereka yang berada di dalam kampung/dusun maupun yang berada di kampung lain seperti di Nuanea, Yalahatan, Bonara beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara. 2. Tahap Pelaksanaan Semua orang berkumpul di rumah adat untuk menyaksikan upacara pataheri. Selanjutnya peserta pataheri mengenakan kostum dan asesoris upacara. Kepala marga dan tua adat melakukan ritual makan pinang dan minum sopi, kemudian memberikan petuah dan nasihat kepada peserta pataheri, sebelum mereka berjalan menuju hutan (tempat yang sunyi dan agak jauh dari keramaian yang telah disepakati bersama). Setelah semua peserta tiba di lokasi, guru menyiapkan 5 potong bambu sebagai tempat berdirinya peserta. Ritual pemasangan Cidaku (ayunte) dan Kain Berang (karinunu) dilakukan oleh para tua adat. Ayunte dipasang dengan cara dililitkan menutupi aurat dan diikat dipinggang. Setelah itu dilapisi lagi dengan kain merah. 3.Tahap Pemberian Piring Berkat Pada keesokan harinya peserta menerima piring berkat dari orang tua yang melambangkan berkat dan bekal bagi anak-anak ketika kelak mereka akan memasuki kehidupan rumah tangga. Piring merupakan sebuah wadah atau tempat makan sebagai salah satu perabot rumah tangga. Pemberian piring berkat ini dipercaya sebagai bentuk ungkapan doa dan harapan kepada Tuhan dan leluhur agar anak-anak pataheri kelak akan diberkati sampai mereka memasuki kehidupan berkeluarga.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047