Karamo

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800819
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Papua
Responsive image
Karamo adalah istilah dalam bahasa Isirawa Kabupaten Sarmi Provinsi Papua untuk menggambarkan aktifitas menari dalam kebudayaan orang Saveri (Isirawa). Karamo biasanya dilakukan dalam situasi, kondisi dan saat-saat tertentu sebagai wujud respon kegembiraan, ungkapan syukur dan kebanggaan atas suatu tahapan prestasi budaya tertentu. Momentum pelaksanaan karamo misalnya pada saat ; membawa turun anak ke tanah, memindahkan tulang-belulang leluhur yang telah meninggal dunia, maupun situasional lainnya. Tarian karamo biasanya dilakukan dalan dalam formasi konfederasi dua pihak yang saling berhadapan namun tidak dalam kompetisi tetapi hanya sebagai ajang memamerkan prestasi untuk mendapatkan prestise dan pujian. Nilai budaya karamu adalah hidup perlu disyukuri dan dirayakan secara nyata agar membangkitkan optimisme positif dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik yakni hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini Sejarah Tari Karamo Berdasarkan penuturan dari para informan tarian karamo memiliki kaitan erat dengan Came yaitu perempuan raksasa yang dahulu tinggal di gunung Oteraf, sebagai berikut ; “dahulu di sekitar gunung Oteraf hidup seorang perempuan raksasa. Ia mempunyai makanan kesukaan yaitu gomo (sukun). Pohon gomo ini, ia yang tanam, buahnya sangat besar, dengan biji sebesar telapak tangan. Kenikmatan buah gomo ini sangat terkenal sampai ke daerah sekitar gunung Oteraf. Pada suatu hari, ketika Came sedang pergi menokok sagu, datanglah Muru ke gunung Oteraf, untuk mengambil gomo. Di gunung Oteraf Muru bertemu dengan seekor kura-kura raksasa, ia bertanya pada Muru “mau apa ke sini ?”, lalu Muru menjawab mau mengambil buah gomo. Selanjutnya kura-kura menyarankan Muru, jika ia mau selamat harus mengikat kura-kura, dibawah pohon gomo, dengan syarat jangan ikat kuat- kuat. Kemudian Muru mengambil tali hutan, mengikat kura-kura dan mengikat ujung tali yang satu ke badan pohon gomo, namun rupanya ia mengikat kura-kura dengan dengan tali yang keras dan kuat-kuat. Setelah itu, ia memanjat pohon gomo, sampai di atas ia memetik buah gomo, tanpa sengaja daun gomo ikut terlepas, dan melayang tertiup angin sampai jatuh di atas tangan Came yang sedang menokok sagu. Melihat ada daun gomo yang jatuh, ia mengambilnya, dan bertanya dalam hati ini daun gomo dari mana, oh tidak salah pasti ada orang yang sedang panjat saya punya pohon gomo. Setelah itu, came melepaskan penokok sagu, lalu mengambil noken besar dan parang panjang (samurai), kemudian berjalan menuju pohon gomo miliknya, setelah mendekati pohon gomo tersebut, dengan geramnya ia bertanya “kamu siapa?, siapa yang panjat saya punya pohon gomo, hari ini juga ia punya nyawa melayang”. Sampai di daerah dimana pohon gomo berada ia berhenti dan mulai memandang ke atas pohon gomo dan berkata “oh betul ada orang yang panjat saya punya gomo”, kemudian ia lanjutkan perjalanan mendekati pohon gomo, lalu ia menegurnya, hei kamu siapa ?, siapa yang suruh kamu panjat ?, pohon gomo ini saya punya !, bukan sembarang orang punya, hari ini juga kamu punya nyawa hilang, kemudian Came menghunus parang panjangnya dan menunggu Muru dibawah pohon gomo. Muru tetap santai di atas pohon, karena ia yakin tidak dapat di bunuh, sebab sudah mengikat kura-kura. Kura-kura sudah berusaha untuk terlepas, namun tidak bisa karena Muru mengikatnya kuat-kuat, lalu kura-kura mengatakan pada Muru, hari ini kamu punya susah sudah, nyawamu akan melayang, salah kamu sendiri, karena sudah ikat saya kuat-kuat. Lalu Muru turun dari pohon dan Came segera memotong kepala Muru, sedangkan kura-kura dia lepaskan. Kepala dan badan Muru ia bawa pulang, sampai di rumah Came mengumpulkan para pengikutnya (pengikutnya berwujud burung-burung dan hewan-hewan lainnya yang pada saat itu masih berinteraksi dengan manusia), kemudian Came merebus kepala Muru. Sambil menunggu, ia mulai bercerita dan bernyanyi sambil berdansa bersama-sama dengan pengikutnya, sementara berdansa burung yang bernama Inovo, karena capek, dia beristirahat pada para-para yang telah mereka buat, sementara duduk, ia melihat saudara-saudara dari Muru sudah datang dan mengepung tempat tersebut. Mereka datang karena sudah mendapat berita Muru telah meninggal dibunuh Came. Melihat itu, kemudian inovo berjalan ke depan, dan mengangkat lagu; sapar sese…., sapar sese….., ca ting mare….., tifa nama….., ewo tifa nama…., yang mengandung arti perang sudah dekat, kita sudah dikepung, sudah ada di halaman. Kemudian masyarakat yang ada terdiam, mereka baru sadar musuh sudah ada, lalu satu persatu mulai berubah wujud ada yang jadi burung, jadi kasuari, jadi kuskus, dan lain-lain, akhirnya tinggal Came sendiri. Menanggapi hal tersebut Came mulai putar papeda, lalu dia kasih tinggal, lalu dia belah kayu, setelah itu dia kasih tinggal, sampai musuh datang, kemudian mereka mulai memanahnya, lalu ia bilang, kamu lepas saya dulu, lalu mereka menghentikan memanah Came. Ia bilang saya haus, kamu panjat pohon kelapa raja, sambil menunjuk ke arah kelapa yang dimaksud, setelah itu mereka mulai memanjat dan menurunkan kelapa dengan jumlah yang banyak, dan memotong bagian bongkolnya serta memberikan kelapa tersebut pada Came, lalu ia mengambil dan meminumnya, air kelapa yang diminum ke luar melalui celah-celah panah yang tertancap ditubuh Came. Selesai itu, ia duduk di tanah dan menancapkan samurai milik ke tubuhnya, sampai menembus dan tertancap ketanah, lalu ia menyuruh mereka untuk memanahnya ulang, kemudian Came meninggal dan mereka memotong-motong bagian-bagian tubuhnya, dan merebus kepala Came. Saat direbus, kepala Came masih hidup dan menceritakan peristiwa ia membunuh, memotong dan merebus Muru, lagu yang ia nyanyikan saat memotong Muru, memasak Muru semua ia ceritakan. Sehingga pada saat cerita Came ditarikan, orang Saveri mulai dari peristiwa pembunuhan Muru sampai proses pembunuhan Came”. Dari cerita tentang Came di atas melahirkan tradisi dan kesenian tradisional yang terdapat pada orang Armati dan Orang Saveri. Salah satu kesenian yaitu tarian karamo, gerakkan dasar dari tarian ini sama dengan “tari came”, berupa gerakkan maju-mundur, hanya saja nyanyian dari karame (nyanyian untuk tarian karomo) berbeda dengan lagu/nyanyian pada tarian came. Lagu dalam tarian karamo yang dikarang disebut karame merupakan syair lagu pendek yang dikarang oleh orang Saveri sendiri, yang mempunyai kemampuan dalam menciptakan lagu, berdasarkan kejadian yang dialaminya sendiri maupun orang lain dalam kehidupan sehari- hari, misalnya ia putus dengan kekasihnya, kegagalan dalam percintaan ini akan, diungkapkannya lewat syair karame. Jadi istilah “karamo” nama dari tarian tradisional ini, sedangkan “karame” merupakan lagu yang diciptakan atau dikarang yang dinyanyikan pada saat tarian karamo dibawakan ataupun tidak dibawakan.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047