Sining

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900822
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Aceh
Responsive image
Hampir semua tarian tradisional yang berbasis pada kearifan dan kekayaan budaya lokal di setiap daerah selalu dilatari dengan adat istiadat, sosio cultural, topografi alam dan sejarahnya sendiri. Justru karena itu eksistensi tari Sining dalam masyarakat Gayo pada pertengahan abad ke-18 atau sebelumnya hingga awal abad ke- 19 ketika tarian tersebut tidak berkembang dan kemudian menghilang, dapat digolongkan bagian dari salahsatu periodeisasi sejarah seni tari Indonesia (periode sebelum Masehi, pengaruh budaya Hindu mulai abad ke 1 Masehi, pengaruh budaya Islam mulai abad ke-13 Masehi, pengaruh budaya Eropa mulai abad ke- 15 Masehi, jaman pergerakan nasional mulai abad ke-20 Masehi atau periode masa kemerdekaan 1945). Seperti halnya tari Guel yang lahir pada tahun 417 H dari kisah perjalanan putra Sengeda Reje Linge yang mempersembahkan seekor gajah berwarna putih kepada Sultan Aceh Al-Qahar. Sebelumnya serombongan anak muda memainkan alat musik canang, teganing, gegedem, seruné sambil menari. Tarian tersebut bertahan dan berkembang hingga abad modern dan menjadi salah satu tarian Gayo yang cukup berkembang dan digemari. Dilihat dari segi muatan, prosesi, isi syair serta bentuk-bentuk lainnya yang sepesifik, tari Sining dapat dikategorikan bagian dari periodeisasi yang ketiga. Meski berangkat dari latar belakang adat, dalam perjalanannya jenis tarian ini justru berbanding terbalik dengan tari Guel. Tari Sining dalam kehidupan berbudaya masyarakat Gayo tempo dulu digelar dalam dua prosesi adat yang sakral. Kedua prosesi tersebut adalah; 1. Sebagai tarian prosesi dalam rangka membangun tempat hunian (rumah) dan 2. Sebagai tarian pengiring dalam upacara memandikan dalam rangka melantik pemimpin baru. Pertama di atas kayu lintang (Bere ni Umah) sebuah bagian bangunan rumah adat atau umah naru. Yang ketinggiannya bisa mencapai antara 8 hingga 12 meter dari atas permukaan tanah (pondasi). Posisinya persis pada bagian tiang lintang utama yang menghubungkan antara satu tiang dengan tiang lainnya pada bagian depan bangunan. Sebelumnya hal yang sama dilakukan / ditarikan di atas dulang yang merapat ke tanah. Kedua tari Sining dipergelarkan ketika akan melantik/mengesahkan seorang pemimpin. Tempatnya di tanah lapang, atau di tempat yang dekat dengan sumber air atau pinggir danau. Dalam prosesi ini sang raja dimandikan oleh beberapa unsur sarakopat dengan prosesi tertentu dan diiringi dengan tari “Turun Köwih/Turun Ku Lut” yang di dalamnya juga inklut unsur tari Sining. Tarian Sining sebagai prosesi adat dalam rangka melantik/mengesahkan seorang pemimpin biasanya dilakukan ketika sang raja terpilih akan melaksanakan tugas menggantikan raja sebelumnya. Tarian ini juga dilakukan secara berkala pada setiap tahunnya kepada raja yang sama, sebagai simbol pembersihan atas segala kekhilafan, kesewenang-wenangan selama setahun memimpin negeri untuk berbuat yang lebih baik pada tahun berikutnya. Terkait ini menurut Irwansyah Arita, salah seorang Bupati Kabupaten Aceh Tengah yang pernah menjabat pada periode 1982-1998 Bukhari Isaq, pernah dimandikan dalam sebuah prosesi tersebut di Kampung Isaq Kecamatan Linge. Prosesi ini justru dilakukan oleh unsur petua adat dan rakyat secara bersama, sebuah prosesi yang dapat disebut sebagai auto kritik kearifan lokal terhadap pemimpinnya. Rakyat yang baik adalah rakyat yang mau mengingatkan pimpinannya jika keliru, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau memperbaiki kekeliruannya dengan tetap mengagungkan rakyatnya sebagai pemegang mandat. Dalam hal ini Sining bukan menjadi tarian yang utuh sebagaimana sebuah prosesi dan ritual adat, melainkan hanya unsur-unsurnya saja dari bagian tarian yang berkenaan. Sedang nama tarian yang utuh dalam prosesi memandikan raja disebut dengan tari “Turun Köwih /Turun Ku Lut”. Tari “Turun Köwih/Turun Ku Lut”, menurut Ketua Majelis Adat Gayo (Mango) Kabupaten Aceh Tengah periode 2016-2020 juga bernasib sama dengan tari Sining. Tarian ini dianggap telah punah dari media ekspresi masyarakat seiring dengan perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi negara kesatuan (republik), yang tidak lagi menggunakan kearifan adat dalam melantik dan memandikan raja pada setiap tahunnya. Saran dan usulan Ketua Majelis Adat Gayo (Mango) Kabupaten Aceh Tengah, merekomendasikan agar tarian ini juga dapat direvitalisasi. Mengingat objek penelitian kali ini hanya memfokuskan diri pada tari Sining, maka informasi tentang tari “Turun Köwih/Turun Ku Lut” adalah sisi kekayaan tari masyarakat Gayo lainnya yang perlu mendapat perhatian dikemudian hari. Prosesi pendirian/pembangunan rumah adat masyarakat biasanya didahului dengan mencari, memilih dan menebang kayu hutan yang dianggap terbaik. Untuk tiang penyangga ukuran panjangnya bisa mencapai antara 18 hingga 20 meter, dengan besar lingkaran dua sepelukan tangan orang dewasa. Sebelum ditebang sesepuh adat meminta ijin kepada lingkungan hutan dan kayu yang telah dipilih untuk dijadikan reje tiang. Ketika kayu-kayu yang akan dijadikan tiang tersebut sudah rebah, sekumpulan lelaki dewasa akan membersihkan batangnya dari cabang, ranting dan akar-akar kayu lain yang melilit di atasnya. Prosesi ini biasanya dilakukan pada pagi hari menjelang siang. Langkah berikutnya sekumpulan lelaki dewasa kemudian mengikat tali dari akar-akaran hutan di salah satu ujung kayu yang telah ditebang, untuk selanjutnya ditarik secara bersama-sama dari hutan menuju kampung atau lokasi pembangunan rumah. Sementara itu kaum ibu dan remaja putri dengan senang hati menyiapkan makanan secara bergotong royong. Saat menarik reje tiang tidak jarang diiringi dengan nyanyian-nyanyian, bebunyian serta sorak sorai. Dalam proses ini juga tidak jarang diiringi juga dengan bebuyian seperangkat canang oleh kaum wanita untuk memberi semangat. Tegu kutegu Ko le kayu ari uten baur ku paluh Mungéléh ku pematang sawah ku umah Ko le kayu simalé kin reje tiang Kupancang kin penumpu Kupantik kin umah naru Aaaa saaaluuu aaaléééééé Tegu kutegu mununung loloten Aru pematangbelang Bergalah tali naru, lagu bergegiriten Aaaa saaaluuu aaalééé Ketika semua bahan bangunan kayu sudah siap dibersihkan dan dipahat dibagian-bagian tertentu yang kemudian disatukan dengan tiang bangunan lainnya. Tahapan berikutnya adalah ditegakkan dengan cara ditarik secara bersama-sama dari arah dalam, sementara dari arah luar mengikuti sebagai penyeimbang agar tiang tidak bergeser dari pondasi yang sudah ditentukan. Bagian akar kayu (perdu) harus tetap berada di bawah, dan bagian dari pucuk (ujung) kayu berada di bagian atas sebagaimana posisi dan bentuk aslinya bahan tiang yang digunakan sebelum ditebang. Jika hal ini terpasang terbalik dianggap sebagai sesuatu yang yang menyalahi hukum gravitasi, akibatnya kekuatan bahan bangunan akan berkurang dan sewaktu-waktu akan mengeluarkan bunyi seperti suara derik atau suara gesekan antara kayu dengan kayu. Ketika tiang-tiang sudah berdiri tegak dan disatukan dengan kayu penghubung antar tiang lainnya yang disebut dengan bere, yang secara keseluruhan telah membentuk sebuah kerangka bangunan rumah. Penyatuan antar unsur bangunan dengan lainnya yang kesemuanya berbahan kayu-kayu pilihan tidak menggunakan material besi atau paku sebagai perekat. Antara komponen dari keseluruhan struktur bangunan digunakan pasak berbentuk bulat atau empat persegi (baji). Setelah tahapan ini sudah selesai, baru kemudian dilanjutkan dengan prosesi adat berikutnya. Prosesi adat yang dimaksud adalah sebuah tahapan aturan menurut adat sebelum proses pengerjaan pembangunan rumah disempurnakan. Pada tahap ini seorang petua adat dengan beberapa pendamping melakukan tepung tawar ke seluruh tiang penyangga. Di tiang utama (reje tiang) yang berada di bagian depan bangunan rumah, sang petua melakukan semacam pemantauan akan keseimbangan bangunan, keharmonisan antar unsur kerangka bangunan dengan permukaan tanah dan lain-lainya. Pemantauan ini dilakukan mulai dari permukaan tanah dan di atas dulang hingga ke atas bangunan dengan gerakkan-gerakan yang menyerupai gerakan burung ketika membangun sarang. Pertimbangan ketinggian, luas ideal dan kekuatan bangunan hingga perhitungan arah terbitnya matahari, kiblat shalat dan arah mata angin menjadi objek pada setiap pengamatan pandangan dan teknik gerakkannya. Puncak pantauan sang petua adat terjadi ketika berada di atas bangunan, persis di atas kayu penghubung antar tiang dengan reje tiang yang disebut dengan bere. Gerakan tubuhnya seolah menari sambil berjalan dan melakukan loncatan kecil dari satu sudut ke sudut lainya, mengibas-ngibaskan kain seperti kibasan kepak sayap seekor burung mencari keseimbangan di ketinggian dahan. Memutar-mutar tak searah jarum jam, menghentak, melompat dan seterusnya. Diantara gerakan-gerakan itu semua sang petua adat adat juga seolah berguman mengucapkan sesuatu, beramanat kepada setiap kompenen bangunan dengan bahasa adat Gayo. Gerakan-gerakannya sangat dinamis dan heroik. Tidak sembarang orang yang dapat menari seperti itu di atas bere. Tidak jarang untuk seorang penari Sining harus melakukan puasa terlebih dahulu, baru kemudian baru dapat menari. Karena tarian ini adalah tarian ritual dan mengandung unsur mistis yang sangat kental, memerlukan konsentrasi dan keseimbangan diri yang tinggi karena berada di ketinggian, serta penjiwaan dari penarinya. Dari keseluruhan prosesi yang dilakukan oleh petua adat inilah yang disebut dengan tari Sining dalam prosesi pembangunan rumah dalam budaya Gayo. Sang penari Siningnya sendiri adalah sang petua yang melakukan semua aktivitas di atas bere ni umah. Dalam kontek karya dan ekpresi ada karya seni yang lebih mengutamakan pesan budaya, yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal masyarakat. Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat yang bersangkutan bermaksud menjawab atau menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya, mendambakan kemakmuran, kebahagiaan dan rasa aman dalam bentuk karya seni. Dengan demikian karya dan ekpresi seni tradisional sarat dengan berbagai makna yang tersirat di belakang sebuah objek, yang acapkali bersifat simbolis. Baik gerak ataun benda. Dilihat dari segi tema dan objek yang melatarbelakangi sebuah tarian, tari tradisional yang berkembang di Aceh secara umum terbagi atas dua katagori, yaitu tari tradisi dan tari kreasi baru. Dengan latarbelakang agama dan tradisi misalnya tari Seudati, Laweut, Saman Gayo, Meusekat, Rapai Wahid dan lain sebagainya. Sementara dengan latarbelakang cerita rakyat (sejarah), legenda dan kearifan lokal misalnya tari Guel, Bines, Pho, Ale Tunjang, Inen Mayak Pukes dan lain lain. Dalam hal ini tari Sining dapat digolongkan ke dalam tari tradisional dengan latarbelakang adat masyarakat Gayo dengan unsur-unsur agama yang kental di dalamnya. Mengacu kepada rumah adat Gayo (umah pitu ruang) yang masih tersisa hingga saat ini, dan arsitektur bangunan rumah adat Gayo yang dibangun pada tahun 2003 di Kota Takengon, tari Sining Gayo diperagakan pada posisi bere ni umah yang berada di atas, mengapit dua tiang utama yang disebut dengan reje tiang. Dimana letak dan posisi sang penari persis di tengah-tengah antara dua tiang penyangga tersebut dengan menghadap ke depan. Bere ni umah adalah wadah yang dijadikan objek yang menjadi puncak ekspresi sebuah ritual. Sementara pengiring dari penari utama (petua adat) dari tari Sining berada di bawah bangunan dengan posisi sekitar reje tiang, atau pada posisi lainnya di permukaan sekitar bangunan sebagai bentuk kendali atas gerak dan dinamika penari utama yang berada di atas bangunan. Fakta dan kesaksian sejumlah narasumber menyatakan terakhir tarian Sining disaksikan secara utuh sebagai sebuah tarian prosesi/ritual mendirikan rumah adat pada tahun 1946, ketika pendirian rumah adat Kerajaan Syiah Utama di Kampung Nosar. Sebuah kampung tua yang terletak di pinggiran Danau Lut Tawar bagian selatan. Tarian tersebut dilakonkan/ditarikan oleh seorang lelaki tua bernama Aman Kayani dengan sejumlah petua adat lainnya lainnya yang bertindak sebagai pengiring. Usai prosesi tersebut, Arifin Banta Cut mengaku tidak pernah melihat dan menyaksikan lagi tarian yang sama dilakonkan/dipargelarkan secara utuh (kronologis ritual) oleh masyarakat hingga bulan Oktober 2016. Baik sebagai sebuah tarian rakyat yang dikreasikan maupun sebagai sebuah tarian prosesi adat mendirikan bangunan baru. Seorang pengamat dan pelaku budaya asal Gayo Lues Ramli yang juga mantan Sekertaris Daerah (Setda) Kabupaten Gayo Lues tahun 2012, menjelaskan bahwa tari Sining pernah ia saksikan di Kampung Pining Belangkejeren, bahkan pada masa kanaknya ia sempat berlatih tarian tersebut. Seperti halnya juga dengan Arifin Banta Cut, Ramli tidak pernah lagi melihat dan menyaksikan tarian tersebut dilakonkan masyarakat dalam prosesi pembangunan rumah adat hingga saat ini. Karena pembangunan rumah adat untuk seorang raja dan atau bagi masyarakat, sepanjang tahun-tahun tersebut juga tidak pernah ada lagi. Namun Ramli mengaku tarian tersebut dengan media dan bentuk berbeda justru masih kerap dilakukan oleh remaja di Belangkejeren Kabupaten Gayo Lues, persamaannya terletak pada gerak melingkar sambil mengibas-ngibaskan sehelai kain panjang sambil menepuk-nepuk tangan sebagai music latar dan ber-syair. Tarian tersebut oleh masyarakat setempat disebut dengan tari Bines. Sementara itu Arifin Banta Cut, salah seorang putra raja dari kerajaan Siyah Utama terakhir dan juga cucu dari penari Sining Aman Kayani, mengaku menyaksikan tarian tersebut ditarikan di atas kayu rumah bagian atas rumah adat (bere ni umah). Tarian bermula dari di atas dulang yang berada di bawah bangunan dengan gerakan seolah meminta ijin kepada bahan bangunan yang kesemuanya dari kayu dan daun tetumbuhan. Gerakan di atas dulang melingkar-lingkar sambil mengucapkan syair-syair tertentu dalam bahasa Gayo. Gerakan di atas dulang kemudian berlanjut ke atas bangunan, sang penari Sining kemudian secara perlahan menaiki anak tangga yang telah dipersiapkan dari sisi yang berbeda hingga tiba di atas bangunan. Di atas tiang yang telah berdiri tegak dengan kayu lintang yang menghubungkan antara satu tiang dengan tiang lainnya, sang penari kembali menari dengan mengibas-ngibaskan kain dengan sejumlah dedaunan yang berada dalam sebuah wadah. Filosofi Tari Sining. Secara umum tari tradisional Gayo berawal dan diilhami dari lingkungan alam dengan segala jenis dan bentuknya, baik nilai budaya dan adat maupun dari kehidupan flora dan fauna. Adaptasi dan gagasan yang dibangun mengacu kepada nilai-nilai kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan syariat, yang dalam bahasa adat diungkapkan dengan kalimat; Angin muasal, ujen mu usul, perbueten muasaliah Gere mupestak ari langit gere mupancur ari bumi Maknanya; segala sesuatu mempunyai asal muasal, dan setiap perbuatan mempunyai kausalitas Segala sesuatu bukan jatuh dari langit Bukan begitu saja terpancar dari bumi Setiap gerakan tari yang lahir dari akal budi manusia akan melahirkan sebuah komposisi perlambang (simbol) yang mempunyai makna dan maksud tertentu. Ku edet gere pipet, ku ukum gere bele Éwét ari muni, lumpet ari kedih, teragong ari kude, lelih ari kedidi Lingang ni pumu, geritik ni kéding,jentik ni kerlang, ayun ni beden Jangin ari puné, lingék ari jampök, kepur ari unguk tari ari nu uwo Terjemahannya; Ke adat tidak menimbulkan kekacauan, ke agama tidak menimbulkan bala Cibir bibir dari kera, loncat dari monyet, teragong dari kuda, kemanjaan dari burung kedidi Lingang dari tangan, geritik dari kaki, jentik dari bahu, ayun dari badan Jangin dari burung puné, lingek dari burung jampök, kibas dari burung unguk tari dari burung uwo Rangkaian kalimat-kalimat adat tersebut menggambarkan bahwa pengadaptasian gerak tari yang bersumber dari alam selalu mempunyai kausalitas dengan bentuk peniruan yang diselaraskan dengan tata nilai agama dan budaya. Baik dari segi gerakan, bunyi-bunyian, suara, pakaian dan lain sebagainya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tari Sining adalah sebuah tarian klasik masyarakat Gayo yang terkait dengan prosesi pembangunan rumah tempat tinggal. Unsur-unsur gerakkan yang dimanifestasikan dari kalimat adat Kepur nunguk tari ni uwo (kibasan burung unguk dan tariannya burung wo). Unguk adalah salah satu spesias burung yang terdapat di dataran tinggi Gayo yang mempunyai kekhasan dan keindahan dalam menggerakkan / mengibaskan sayap-sayapnya. Gerak dan leok tubuhnya yang gemulai saat terbang dengan kedua sayap mengembang. Sementara wo adalah spesias burung lainnya sejenis ayam hutan. Pada waktu-waktu tertentu wo melakukan gerakan-gerakan seolah sedang menari. Sebelum melakukan kegiatan-kegiatan tertentu burung wo selalu mengawali dengan membersihkan tempat tinggalnya terlebih dahulu. Gerakan dan gaya menari yang diperagakan makin lama semakin lincah dan energik sehingga melupakan sejenak akan lingkungan sekitarnya. Demikian hikmat dan asyiknya gerakan dan tarian burung wo sehingga menjadi sebuah perumpamaan. “Andai kata sebilah pisau diberdirikan di arena tempat burung wo menari ia akan menggesekkan lehernya ke pisau tersebut sampai berdarah”. Mencermati kata klasik yang menghasilkan gerakan maknawi tersebut tergambar gerakan dasar tari Gayo berasal dari kedua jenis burung ini. Sementara gerakan dari hewan atau dari yang lain dan gerakan murni yang selaras dan serasi adalah untuk melengkapi gerakan yang ada, sehingga tarian yang dihasilkan memperlihatkan peragaan yang estetis. Gerakan kaki burung wo menjadi ciri khas tari Sining yang membedakannya dengan tarian Gayo lainnya. Arti Sining adalah melakukan gerakan melingkar, gerakan indah membuat lingkaran. Gerakan ini menggambarkan apa yang diperagakan oleh burung wo. Putaran gerakan didominasi ke arah yang berlawanan dengan putaran bumi. Dengan demikian tari Sining menjaga keseimbangan walaupun dengan membuat gerakan melingkar/memutar di atas ketinggian tertentu. Secara sepintas sama dengan tari Whirling Dervishes, tarian berputar yang dilakukan dalam keadaan meditasi oleh para sufi. Dilakukan oleh para sufi berjubah putih melebar di bagian bawah dan mengembang selingkaran penuh saat penari berputar-putar. Tarian ini adalah bentuk dzikir yang semua gerakan arah berputar, formasi dan kostumnya sarat dengan simbol religi. Tarian diawali dengan para sufi mengenakan jubah hitam, untuk selanjutnya dilepas sehingga terlihat jubah putih yang menandakan kebenaran (kesucian) sudah terlahir mengalahkan kegelapan. Kemudian penari membungkuk dengan menyilangkan kedua tangan di dada, merupakan ungkapan akan kebesaran Tuhan. Setelah itu penari akan berputar lembut berlawanan dengan arah jarum jam, berporos pada kaki kiri, tangan terentang dengan telapak tangan kanan menghadap ke langit, menandakan kesiapan menerima kebaikan Tuhan, dan tangan kiri mengarah ke bumi. Para penari terus berputar sambil berjalan membentuk lingkaran mengelilingi seorang yang hanya berputar di tempat sebagai pusatnya. Ide dan peniruaan dari alam menjadi sebuah tarian Sining mempunyai kesamaan dengan tari Kancet Lasan dan tari Kancet Ledo. Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah Kalimantan karena dianggap sebagai simbol keagungan dan kepahlawanan. Bedanya, tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita yanag banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon. Dalam tata bahasa Gayo Sining mempunyai makna dan peruntukkan yang berbeda. Dalam bahasa komunikasi verbal kata “Sining” lebih diidentikkan dengan pengertian sebagai sebuah gerakan yang menjadikan sebuah objek untuk diperlakukan secara khusus dengan maksud dan tujuan tertentu. Tidak heran jika dalam pergaulan sehari-hari masyarakat kerap terdengar kalimat ungkapan : “sana kati puse-sining- win” (ngapain berputar-putar/mondar-mandir win). Atau kalimat yang lebih tendesius dalam pergaulan antar anak muda adalah : “enti puse-sining- kuarapku ni win, lagu nyonek le” (jangan berputar-putar/mondar-mandir di hadapan saya win, seolah mencari sebab). Kata yang hampir sama kerap juga terdengar dengan peruntukan yang berbeda dengan vocal dan aksen yang juga berbeda. Contoh dalam beberapa kata berikut: 1. Sénéng, yang bermakna semacam ancang-ancang sebelum berkelahi atau seperti ayam yang akan bersabung; bersisénéng-sénéngen (saling bersiap diri untuk berlaga). 2. Séngkér mempunyai pengertian sebagai sesuatu yang bersikap, bertindak, bergerak miring, tukik (menukik) ke kiri atau ke kanan. dan yang terkahir adalah 3. Sining diartikan sebagai nama sejenis tarian dengan cara setengah berlari sambil mengibas-ngibaskan kain. Dari gambaran tersebut dapat dijelaskan bahwa tari Sining adalah adaptasi gerak dari perilaku unggas (burung) yang hidup liar di lingkungan alam dataran tinggi Gayo. Sebagaimana gerak dasar tari daerah di nusantara, ciri dan sejarah yang melatari munculnya tarian tradisional tersebut dapat dikenali asal-usulnya. Tari daerah dataran tinggi memperlihatkan ciri ekspresif, simbolik dan pola yang berbeda dari wilayah yang dekat dengan pantai. Budaya mengartikan hal-hal yang menyangkut dengan pikiran manusia dan menjadi latar belakang mewujudkan perlakuan untuk menghasilkan suatu karya dan bentuk tarian. Mengandung unsur pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang terkait dengan adat-istiadat dan budayanya. Unsur-unsur tersebut ditransformasikan melalui berbagai bentuk, baik sastra lisan, seni peran, seni suara, seni gerak, ritual adat dan lain sebagainya. Pola lantai. Pola lantai yang dilakukan oleh penari Sining Gayo adalah perpindahan dua tempat yang berbeda dalam satu kesatuan ruang (space), yaitu atas dan bawah. Pergerakan, dan pergeseran posisi dalam space di lante (lantai) dan bere ni umah (atas) disesuaikan dengan filosofi gerak sebagai sebuah simbol prosesi. Penggunaan pola lantai ini sekaligus menjadi blocking bagi penari Sining dengan ruang gerak dan posisi ekpresi yang lebih terarah ke Bere ni Umah sebagai properti utama. Dengan dua orang penari Sining pola lantai vertikal (lurus) bukanlah depan-belakang seperti halnya tari tradisional umumnya yang membentuk barisan belakang/depan se-lantai. Tetapi vertikal atas-bawah yang membentuk formasi tiang (reje tiang) sebagaimana pagelaran tari Sining itu sendiri dalam sejarahnya. Pada pola lantai ini, penari membentuk garis vertikal antara penari yang berada di atas bere dan penari yang berada di lantai, baik bentuk lurus maupun lurus tak beraturan. Pola lantai ini menggambarkan keterpaduan dan ketergantungan gerak (komunikasi ekspresi) antara dua orang penari dalam menggambarkan prosesi dan ritual pendirian tiang utama sebuah rumah adat. Penggambaran keharmonisan, kekuatan sekaligus dinamika dan artistik ekpresi penari. Formasi pola lantai horizontal tari Sining Gayo hanya ketika dua orang penari berada di depan atau di atas properti utama berupa bere ni umah. Tahap ini pada awal (opening), dimana dua sudut yang berbeda menjadi tempat pengkondisian space dan blocking. Pada akhir pertunjukan justru sebaliknya, kedua penari memposisikan diri dengan pola lantai horizontal atas bawah. Satu penari berada di atas bere ni umah bagian kiri dan seorang penari lagi berada di sebelah kanan bawah, sejajar dengan membelakangi tangga bere ni umah. Pada pola lantai ini penari seolah berbaris dengan kemiringan 60 derajat membentuk garis serong ke samping. Gerak kepakan sayap (ulen-ulen) bisa muncul atau dimunculkan sesuai pola lantai dengan posisi kaki menjinjit (berdiri di atas ujung jari kaki). Demikian juga dengan geraka-gerakan Sining (melingkar/memutar, membungkuk, mengibas kekanan kekiri, depan, belakang atau ke udara). Dinamisasi gerak dapat berupa ekspresi individual yang berkausalitas, dapat juga gerakan-gerakan yang sifatnya terpola dan seragam. Sebagai bentuk komunikasi gerak dan resfon ekspresi sebagaimana pengadaptasian dari gerak burung wo dan unguk, antar penari mempunyai sinergisitas gerak yang saling mendukung. Pola ini akan memungkinkan pesan dan simbol yang terkandung dalam tarian akan tergambar secara kronologis, bertenaga dan ekspresif. Demikian pula dalam komunikasi gerak dan resfon menirukan petua adat dalam prosesi pembangunan rumah adat, keseimbangan tubuh penari yang berada di atas bere ni umah dengan pola gerak penari lainnya yang berada selantai haruslah mencerminkan sebuah tarian ritual yang saling berhubungan. Baik melalui komunikasi maupun ekpresi gerak seluruh anatomi tubuh, indra penglihatan, mimik muka, tangan dan kaki maupun resfon lainnya dalam bentuk suara, pekikan maupun dalam bentuk gumaman yang menyerupai bacaan mantra. Sementara para penabuh bunyi-bunyian (pemusik) membentuk garis setengah lingkaran di kanan dan kiri dari bere ni umah ditempatkan, posisinya menjadi batas space lantai sekaligus menjadi blocking peformen seperti layaknya pemetasan kesenian Didong Jalu dalam masyarakat Gayo. Blocking pengiring musik adalah bagian yang tak terpisahkan dari satu kesatuan peforman Sining. Meski dalam posisi blocking yang bersifat statis, semua unsur yang terlibat dan terlihat dalam frem panggung sesungguhnya berada dalam satu kesatuan ekspresi. Ritme musik sangat mempengaruhi tempo gerak, demikian juga sebaliknya. Gerak pemusik adalah cerminan antusiasme masyarakat dalam prosesi adat dan ritual pembangunan rumah adat. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa pemusik adalah penari Sining itu sendiri, dan penari Sining adalah pemusik yang bergerak diantara bere ni umah. Ike jema bedidong ataupé betari, Céh pemainné Penepok pengiringé den juge pemainné Antara reroanné gere nguk ipepisah Tapé béwéné sara seni, sara rasa den sara sur Terjemahannya: Dalam seni didong atapun ber-tari, Ceh pemainnya Penepuk sebagaai pengiring musik juga pemainnya Antara keduanya tidak bisa dipisah-pisahkan Tetapi semua satu ekspresi, satu rasa dan satu refren Tahapan Gerak dan Space. Kronologis koreografi tari Sining versi revitalisasi dapat dirunutkan sebagai berikut: a. Sesosok berdiri di sisi kiri properti utama dengan mengangkat ulen-ulen. Kaki kaku berdiri di atas ujung jari dan kedua belah tangan mengacung ke atas sambil menggetar-getarkan ulen-ulen menyimbolkan persalaman dan tepungtawar. Selanjutnya mengibas dan ber-Sining ke sudut kanan bere ni umah, ke sekitar dan berakhir di tengah space. b. Dari sudut yang sama penari (petua adat) mengambil space dengan gerakan jenyong dipadukan dengan gerakan tinyo. Antara penari pertama dan kedua cenderung melakukan gerakan serentak dan selaras. c. Interaksi dan komunikasi gerakkan, dengan jenis geral jingket, ayun dan tari ni wo. d. Gerakkan Sining dan kepur menghantarkan kedua penari mendekati proferti utama (bere ni umah). e. Mendekatai tangga dan melakukan gerakan ancang-ancang untuk menaiki bere ni umah dengan gerakan nété dan gerakan tangak bere. f. Ketika posisi sudah di tengah-tengah bere ni umah, penari melakukan gerakan Sining, temabur burak, gerdak dan jenyong. g. Kedua penari selanjutnya memadukan gerakan jenyong dengan gerakan pöröh d

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2019

Komunitas Karya Budaya

Salman Yoga, S., Seniman/Akademisi

Takengon, Kabupaten Aceh Tengah

0

Masyarakat etnis Gayo

Kabupaten Aceh Tengah

0

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2019

Maestro Karya Budaya

M. Yusin Saleh

Takengon, Kabupaten Aceh Tengah

0

Arifin Banta Cut

Takengon, Kabupaten Aceh Tengah

0

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2019
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2019

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047