Songket Pandai Sikek

Tahun
2014
Nomor Registrasi
201400092
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Sumatra Barat
Responsive image

Songket merupakan salah satu jenis kain tenun yang sering disebutkan sebagai "Rataunya Kain Tenun", karena songket memiliki keindahan dan kemewaha atas tenunannya yang buat melalui benang emas maupun perak yang terkesan gemerlap. Salah satu nagari di ranah Minang yang merupakan penghasil songket adalah nagari Pandai Sikek. Pandai Sikek merupakan nagari yang sangat terkenal di Sumatera Barat dan nasional sebagai sentra utama kain tenun khas Minangkabau. Hasil tenunan kain songket Pandai Sikek dijual keluar daerah bahkan luar Propinsi Sumatera Barat. Keterampilan pembuatan songket Pandai Sikek sampai saat ini masih dimiliki oleh masyarakatnya.

Keahlian (keterampilan) menenun songket di Nagari Pandai Sikek pada umumnya diperoleh secara turun temurun dalam keluarga. Dari umur sekitar tujuh sampai delapan tahun khususnya para perempuan sudah mulai belajar menenun songket.

Ciri khas tenunan songket dari Sumatera Barat ialah menggunakan benang emas dan perak dalam menenun kain sutera sehingga menghasilkan kain yang mewah, karena di daerah ini banyak terdapat emas. Sebenarnya informasi mengenai seni kerajinan menenun songket di Sumatera Barat sebelum pertengahan abad XVII sulit ditemukan, akan tetapi dapat dipastikan bahwa kerajinan menenun adalah jauh sebelumnya, seperti terlihat dalam laporan tahun 1665 yang menyebutkan bahwa kapas ditanam di Inderapura, Bandar Sepuluh (yaitu daerah pesisir antara Painan dan Indrapura), dan sungai Pagu, semuanya di sebelah selatan Kota Padang. Kerajinan tenun terus berkembang sampai ditindasnya kaum Paderi oleh Belanda dalam tahun 1837. Pada tahun 1827 seorang kolonel Belanda melaporkan bahwa industri tekstil berkembang di dataran tinggi Sumatera Barat. Kerajinan tenun di Sumatera Barat menurun dengan dratis sesudah tahun 1837. Penindasan Belanda terhadap kaum Paderi memungkinkan mereka melakukan pengawasan politik dan ekonomi terhadap Sumatera Barat secara menyeluruh. Pemerintah kolonial Belanda seperti VOC -kongsi dagang Belanda-berusaha menjual barang-barang dari kapas, dan bukan kapas mentah kepada orang Minangkabau Hal ini dapat dimengerti karena mereka ingin hasil-hasil dari ranah Minangkabau, terutama kopi, sesudah peralihan abad XIX. Hal ini terlihat dari angka-angka berikut, pada tahun 1836-1845 rata-rata impor tahunan barang-barang katun ke Sumatera Barat melalui Padang meningkat sampai 250 persen nilai-nilai tahun 1820-1829, sedangkan impor kapas mentah untuk periode yang sama tenun sepertiganya atau 75 persen.

Keadaan industri tekstil Sumatera Barat agaknya telah memburuk sesudah pertengahan abad XIX. Ketika sebelum Perang Paderi penduduk dataran tinggi dapat memperoleh kapas dan benang melalui sungai-sungai di sebelah timur yang menuju ke pantai timur Sumatera dan menghubungkan dataran tinggi itu dengan Singapura dan Penang, maka selama berlangsungnya perang, Belanda berusaha menutup jalur ini untuk mengalihkan arus barang-barang ke Padang di pantai barat. Jalur timur ini akhirnya jatuh ke bawah kekuasaan Belanda pada pertengahan abad XIX. Hal ini berakibat menimbulkan kerusakan fatal pada industri tekstil di Sumatera Barat.

Keberlangsungan dari kerajinan tenun songket Pandai Sikek ini terwujud dikarenakan adanya proses pewarisan yang terus berlangsung. Pewarisan sebut dilakukan hanya dalam satu garis keturunan, seperti pewarisan yang dilakukan seorang seorang nenek kepada cucunya, seorang ibu kepada anak gadisnya demikian seterusnya. Ruang lingkup pewarisan tidak boleh keluar dari garis keturunan yang lebih dikenal dengan sebutan saparuik. Tidak hanya itu, dalam falsafah kehidupan perempuan khususnya di nagari Pandai Sikek harus tahu dengan kato nan ampek, yakni tahu jo takok baniah, tahu jo suduik kampia, tahu jo Jiang karok, tahu jo atah takunyah.

Jika seorang perempuan Pandai Sikek tidak mengetahui kato nan ampek di atas, maka mereka belum bisa dikatakan perempuan Pandai Sikek. Adapun arti dari kato nan ampek di atas, yakni seorang perempuan Pandai sikek diharapkan pandai dalam bertanam padi, pandai menganyam, pandai bertenun, dan pandai memasak. Adanya kepandaian yang diharapkan dimiliki oleh para perempuan pandai Sikek di atas adalah bertujuan sebagai bekal kelak nanti manakala sudah berumah tangga, karena dengan kepandaian tersebut maka seorang perempuan dapat menjadi seorang istri yang tahu akan kewajibannya dan juga dapat membantu perekonomian keluarga, salah satunya yakni kepandaian menenun yang dapat menghasilkan uang.

Terdapat satu aturan atau sumpah dalam proses pewarisan bertenun songket yang diyakini oleh masyarakat Nagari Pandai Sikek, yakni bahwa kepandaian bertenun hanya boleh diwariskan kepada anal( cucu yang berasal dari rumah gadang, seandainya sumpah itu dilanggar maka hidup mereka bak "ka bawah indak baurek, ka ateh indah bapucuak, di tangah-tangah digiriak kumbang, yang artinya bagi yang melanggar sumpah maka hidupnya akan sengsara seumur hidup.

Sesuai dengan konvensi adat yang berlaku di Nagari Pandai Sikek mengenai siapa saja yang berhak memiliki ketrampilan menenun adalah seperti yang diungkapkan oleh Christyawati (2009:76), yakni :

a. Orang asli atau penduduk asli Nagari Pandai Sikek, artinya nenek moyangnya atau ninik mamaknya berasal dari nagari ini.

b. Orang yang sudah menetap lama dan sudah menjadi warga Nagari Pandai Sikek (malakok ).

c. Orang yang menikah dengan warga asli Nagari Pandai Sikek.

Bahan dasar kain tenun songket adalah benang tenun yang disebut benang lusi atau lungsin. Benang tersebut satuan ukurannya disebut pale. Sedangkan, hiasannya (songketnya) menggunakan benang makao atau benang India. Benang yang satuan ukurannya disebut pak ini didatangkan dari Singapura melalui Tanjungpinang.

Peralatan tenun songket Pandai Sikek terbagi menjadi dua, yakni peralatan pokok dan tambahan. Keduanya terbuat secara tradisional dengan berbahan dari kayu dan bamboo. Yang merupakan peralatan pokok adalah : (1) panta. yaitu sebuah tempat duduk bagi penenun yang terbuat dari kayu menyerupai bangku panjang. Kata panta berasal dari kata palanta yang berarti balai tempat duduk. (2) paso, yaitu alat penggulung kain yang telah ditenun akan tetapi belum dipotong dari benang pembuat dasar kain, paso ini berbentuk bulat panjang yang terbuat dari kayu. (3) surf, yaitu kawat yang agak kasar dan kuat disusun rapat, alat ini tergantung pada tali karok. Pada setiap benang yang terentang di alat tenun akan melalui susunan kawat ini satu persatu. (4) karok, mirip dengan surf hanya saja terbuat dari benang nylon. Setiap benang terentang untuk disususn harus melaui karok ini. Karok terdiri dari dua macam, yakni sebagai pengatur benang lungsi yang dibawah dan pengatur benang lungsi yang di atas. (5) penggulung benang, terbuat dari kayu berbentuk bulat dan memanjang di depan alat tenun, ini berfungsi sebagai penggulung benang yang terentang untuk ditenun. (6) arang babi sebagai penyangga penggulung benang yang belum ditenun (7) kaminggang (8) tijak-tijak (9) atua kawa (10) kudo-kudo (11) tandayan (12) langan-langan (13) pakan (14) palapah (15) pancukia (16) sangka (17) lidi (18) tura (19) kasali, dan (20) tungau. Adapun alat yang merupakan alat tambahan dalam proses pembuatan tenunan yaitu (1) kincia, (2) ulang-aliang, (3) palapah bayam dan (4) dakuang.

Sebagai catatan, di masa lalu jika pengrajin menginginkan suatu warna tertentu, maka benang yang akan diwarnai itu dicelupkan ke air panas (mendidih) yang telah diberi warna tertentu, kemudian dijemur. Di masa kini hanya sebagian yang masih melakukannya. Sebagian lainnya langsung membeli benang-warna yang telah diproduksi oleh suatu pabrik.

Pembuatan tenun songket dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah penenunan kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos. Caranya benang-benang yang akan dijadikan kain dasar (ditenun) dihubungkan ke paso. Posisi benang yang membujur ini oleh masyarakat Pandai Sikek disebut "benang tagak". Setelah itu, benang-benang tersebut direnggangkan dengan alat yang disebut palapah.

Pada waktu memasukkan benang-benang yang arahnya melintang, benang tagak direnggangkan dengan alat yang disebut palapah. Pemasukkan benang-benang yang arahnya melintang ini menjadi relatif mudah karena masih dibantu dengan pancukia dengan hitungan tertentu menurut motif yang akan dibuat. Setelah itu, pengrajin menggerakkan karok dengan menginjak salah satu tijak-panta untuk memisahkan benang sedemikian rupa, sehingga ketika benang pakan yang digulung pada kasali yang terdapat dalam skoci atau turak dapat dimasukkan dengan mudah, baik dari arah kiri ke kanan (melewati seluruh bidang karok) maupun dari kanan ke kiri (secara bergantian). Benang yang posisinya melintang itu ketika dirapatkan dengan karok yang bersuri akan membentuk kain dasar.

Tahap kedua adalah pembuatan ragam hias dengan benang emas. Caranya agak rumit karena untuk memasukkannya ke dalam kain dasar mesti melalui perhitungan yang teliti. Dalam hal ini bagian-bagian yang menggunakan benang lusi ditentukan dengan alat yang disebut pancukie yang terbuat dari bambu. Konon, pekerjaan ini memakan waktu yang cukup lama karena benang lusi/lungsin itu harus dihitung satu persatu dari pinggir kanan kain hingga pinggir kiri menurut hitungan tertentu sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Setelah jalur benang emas itu dibuat dengan pancukie, maka ruang untuk meletakkan turak itu diperbesar dengan alat yang disebut palapah. Selanjutnya, benang emas tersebut dirapatkan satu demi satu, sehingga membentuk ragam hias yang diinginkan.

Lama tidaknya pembuatan suatu tenun songket, selain bergantung jenis pakaian yang dibuat dan ukurannya, juga kehalusan dan kerumitan motif songketnya. Semakin halus dan rumit motif songketnya, akan semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung dan atau kain misalnya, bisa memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Bahkan, seringkali lebih dari satu bulan karena setiap harinya seorang pengrajin rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5-10 sentimeter.

Dalam pemeliharaan kain songket tidak boleh dilipat akan tetapi digulung dengan kayu bulat yang berdiammeter 5 cm. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar bentuk motifnya tetap bagus dan benang emas-nya tidak putus, sehingga songketnya tetap dalam keadaan baik dan rapid an bertahan lama.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047