Kalempoang

Tahun
2010
Nomor. Registrasi
2010000224
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Sulawesi Selatan
Responsive image
Apabila di Jawa Tengah terdapat upacara Jamansan, maka di Gowa terdapat Accera Kalompoang. Sama seperti Jamasan di Jawa, Accera Kalampoang merupakan upacara pembersihan benda-benda pusaka kerajaan dengan menggunakan air suci. Sebelum pemebersihan dilakukan, terlebih dahulu diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah oleh segenap peserta upacara. Sebuah sinkritisasi (perpaduan) budaya yang unik. Kita tahu dalam ajaran agama Islam, bahwa kegiatan seperti ini yang menganggap benda-benda memiliki roh, sehingga diperlakukan secara istimewa, adalah sesuatu yang musryik atau haram. Namun dalam upacara Accera Kalampoang ini, Islam dapat menyatu dengan keyakinan budaya lokal yang animis masyarakat Gowa. Senjata-senjata yang dimandikan pada upaca ini meliputi tatarapang (keris), panyanggaya barangan (tombak rotan berambut ekor kuda), lasippo (parang besi tua), ponto janga-jangaya (gelang emas berkepala naga), kancing gaukang (kancing emas), dan lain sebagainya. Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat, upacara ini awalnya dilakukan oleh raja Gowa yang pertama kali memeluk agama Islam. Raja tersebut bergelar I Mangngarrangi Daeng Mangrabbia Karaeng Lakuing, atau yang lebih dikenal dengan Sultan Aliudin pada tahun 1605. Kemudian oleh raja selanjutnya upacara ini senantiasa dijalankan, dan waktu penyelenggaraan pada tanggal 10 Zulhijjah, setiap selesai sholat Idul Adha. Uniknya dalam upacara ini tidak hanya sekedar membersihkan dan memandikan senjata, namun juga disertai dengan penimbangan salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Acara penimbangan salokoa merupakan puncak dari upacara Accera Kalampoang, karena dengan menimbang salokoa masyarakat Gowa dapat meramalkan kehidupannya di masa mendatang. Salokoa yang terbuat dari emas murni, memiliki berat kurang lebih 1.768 gram dengan diameter 30 cm dan berhiaskan 250 berlian. Berat tersebut seharusnya tetap setiap saat, karena dalam prakteknya tidak pernah ditambah atau mencoba dikurangi bobotnya. Namun uniknya ketika salakoa ditimbang, yang muncul justru ukuran berat yang bervariasi. Naik turunnya berat (bobot) salakoa inilah yang digunakan sebagai patokan jalannya kehidupan di masa mendatang. Apabila berat salakoa berkurang, maka bencana atau wabah penyakit akan menimpa masyarakat Gowa di hari yang akan datang. Namun apabila beratnya bertambah, maka dikemudian hari masyarakat Gowa akan mendapatkan peruntungan seperti terbebas dari wabah penyait, hasil panen yang melimpah, dan lain sebagainya.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

Pelaku Pencatatan

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

Pelapor Karya Budaya

?

?

?

?

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010
Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047