Permainan Sampyong

Tahun
2010
Nomor. Registrasi
2010000460
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Jawa Barat
Responsive image
Mengenai awal mula munculnya Sampyong belum diketahui secara pasti. Sumber-sumber tertulis pun tidak menyebutkan kapan pastinya Sampyong mulai muncul. Menurut Wahidin (1982: 69), Sampyong sudah dikenal sejak zaman Kesultanan Cirebon, dimanfaatkan untuk sarana penyeleksi dalam pemilihan prajurit. Adapun dari tradisi lisan atau dari dongeng yang berkembang di tengah masyarakat, disebutkan bahwa Sampyong berasal dari permainan anak-anak gembala untuk mengisi luang saat mengembalakan ternaknya, yaitu melalui permainan saling pukul menggunakan rotan yang tujuannya untuk memilih pemimpin di antara mereka. Sampyong yang dulunya dikenal dengan nama Ujungan, seiring perkembangannya telah mengalami berbagai penyempurnaan, di antaranya dengan menyederhanakan bentuk permainannya yang meliputi: 1. Seorang pemain hanya boleh memukul lawannya sebanyak tiga kali 2. Sasaran pukul hanya sebatas betis bagian belakang 3. Pemain bermain berdasarkan kelas yang ditentukan, mengacu pada usia pemain Istilah Sampyong berasal dari bahasa Cina, sam artinya tiga dan pyong artinya pukulan. Adapun kesenian Sampyong yang terdapat di Majalengka merupakan sebuah bentuk seni ketangkasan yang memadukan seni music, seni tari, dan seni bela diri Sepanjang tahun 1960 hingga 1990-an, keseniang Sampyong tidak hanya berkembang di Majalengka saja, namun kesenian ini juga berkembang di Indramayu dan Cirebon. Kesenian ini hampir selalu terlihat di acara-acara seperti upacara adat, syukuran hasil panen, serta hiburan dalam acara perkawinan. Memasuki tahun 1990-an, kesenian Sampyong mulai mengalami kemunduran karena desakan media hiburan yang lain. Untuk menyiasati ancaman kepunahan dan agar lebih menarik, maka Sampyong dipadukan dengan Ketangkasan Domba dan Kuda Renggong (Sumanti, 2009: 85-94). Keseniang Sampyong yang berkembang di Majalengka memiliki ciri tersendiri, yang berbeda dengan Sampyong di daerah Indramayu dan Cirebon. Sampyong di Majalengka menggunakan alat rotan yang lebih pendek, menggunakan gamelan pencak silat, dan lagu-lagu yang dilantunkan adalah lagu berbahasa Sunda, berbeda dengan Sampyong Indramayu dan Cirebon yang menggunakan bahasa Jawa. Dari segi aturan pun, Sampyong Majalengka hanya membolehkan pukulan sebanyak tiga kali dan tidak boleh melebihi area betis bagian belakang. Permainan dihentikan ketika salah satu pemain menyatakan kalah atau menyerah. Adapun kesenian Sampyong memiliki fungsi tersendiri yang meliputi empat unsur. Pertama, kesenian sampyong memiliki nilai-nilai local sepetempat yang fungsinya sebagai pengiring dalam tradisi upacara-upacara tertentu. Kedua, sebagai media silaturahmi dan hiburan. Hal ini terlihat dari pementasannya, dimana tidak didapati pemisah antara pemain, penonton, dan masyarakat. Semuanya bercampur baur, ketiga, media pendidikan yang bisa disampaikan dengan meyelipkan informasi dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat. Keempat, Sampyong sebagai media hiburan bagi masyarakat. Dalam pertunjukkannya, kesenian Sampyong memiliki enam komponen pendukung. Pertama, pemain; terdiri dari dua orang pemain dan seorang wasit yang disebut malandang. Adapun penabuh gamelan terdiri dari Sembilan orang. Kedua, peralatan; dua buah tongkat rotan dengan panjang 60 cm. ketiga, music pengiring; kendang, terompet, dua pasang gong, sepasang kecrek, saron, boning, dan rebab. Keempat, busana; biasanya berupa busana khas pesilat yang didominasi warna hitam ditambah dengan ikat kepala. Keenam, lagu-lagu yang dibawakan; berbahasa sunda, dan ada pula lagu-lagu buhun seperti Kembang Gadung, Kampret, serta terkadang diiringi pula dengan lagu dangdut. Dalam prakteknya, kesenian Sampyong memiliki nilai-nilai religius yang dapat terlihat dari filosofi tradisi sampyong itu sendiri, dimana pada awalnya sampyong dilakukan untuk memilih pemimpin di antara para penggembala, maka orang yang paling kuat dan tangkaslah yang akan menang. Untuk mendapatkan kekuatan tersebut, tentunya bisa didapatkan bukan hanya dari ketahanan fisik semata tetapi disertai dengan doa kepada tuhan, atau mungkin pula doa-doa untuk para leluhur yang biasanya dilakukan di tempat-tempat keramat guna mendapatkan kekuatan. Dengan demikian, dalam seni sampyong terdapat unsur mistis tau religius (Sumanti, 2009: 94-113)

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

Pelaku Pencatatan

Abah Lewo, Mang Kiyun, Mang Karta

Kabupaten Majalengka, Kecamatan Majalengka, Desa Kulur

?

?

?

?

?

?

?

?

?

?

Pelapor Karya Budaya

?

?

?

?

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010
Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2010

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047