Kethek Ogleng - Pacitan

Tahun
2014
Nomor. Registrasi
2014004730
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

Sebutan Kethek Ogleng dilakukan oleh Sutiman sendiri terhadap seni yang telah berhasil dikreasinya. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Sukisno (2018: 16) bahwa sebelum muncul nama “Kethek Ogleng” dari Sutiman, Sutiman telah meminta kapada koleganya untuk memberi nama seni yang dihasilkannya. Akan tetapi dari sekian usulan yang ada tidak ada yang cocok untuk disematkan pada seni yang baru tercipta tersebut. Melalui analisis dan perenungan terkait gerakan serta iringan musik yang ada, timbul lah dalam benak Sutiman untuk memberi nama karyanya tersebut sebagai Seni Kethek Ogleng. 

Hal itu dikemukakan oleh Sutiman (dalam Sukisno, 2018: 18) alasan memberi nama seninya itu. Pertama, gerakan yang ditiru adalah gerakan kera yang bersinonim dengan kethek sehingga pada dasarnya gerakan-gerakan yang dalam tarian tersebut sebagaimana personifikasi gerakan-gerakan kethek. Apabila sebutan kethek disematkan dalam nama seni tersebut secara historis dan semantis sangat sesuai. Kedua, berdasarkan pada bunyi gamelan yang mengiringi. Gamelan tersebut didominasi bunyi “gleng...glong...gleng..glong”. Pada akhirnya, bersatulah kedua kata tersebut menjadi Kethek Ogleng. Nama tersebut menjadi nama resmi seni yang dihasilkan oleh Sutiman sampai saat ini. Nama tersebut masih populer dan melegenda di kalangan masyarakat Pacitan. 

Proses kelahiran seni Kethek Ogleng dari seorang Sutiman sangat sederhana dan barangkali dapat dikatakan kebetulan Berdasar pada penelusuran narasumber dan diperkuat oleh Sukisno (2018: 6), pada mulanya Sutiman melihat tingkah seekor kera yang ada di hutan sekitar tempat tinggalnya. Tingkah laku kera tersebut membuat Sutiman terkesima dan terhibur. Ternyata keunikan tingkah laku binatang primata tersebut membekas secara mendalam di hati Sutiman sehingga dalam hati kecilnya muncul pengandaian jika dia bisa bergerak dan bertingkah seperti kera yang dijumpainya tersebut pasti akan bisa menghibur orang lain. Anehnya, kemunculan kera tersebut hanya sekali saja sehingga Sutiman tidak bisa mengeksplorasi lebih mendalam gerakan lucu binatang yang dikaguminya tersebut.

Keinginan untuk menguasai gerakan kera demikian kuat pada diri Sutiman. Karena kera yang dijumpai pertama kali di hutan atau tepatnya salah satu ladang di desa Tokawi tidak muncul lagi, Sutiman pergi ke Kebun Binatang Sri Wedari Solo. Kepergiannya ke salah satu kebun binatang legendaris tersebut hanya satu agenda, yakni menyaksikan tingkah laku kera secara saksama dan dengan jarak dekat. Sebagaimana dituturkan Sutiman pada Sukisno (2018: 94) bahwa Sutiman menghabiskan waktunya di Kebun Binatang Sri Wedari Solo melakukan perenungan dan penghayatan terhadap gerakan kera. Gerakan yang dicermati tersebut meliputi gerakan ketika makan, bercanda, bercengkerama, berjalan, bergelantungan, dan tingkah laku lainnya. Pada dasarnya, Sutiman memahami semua gerakan pada kera tersebut lucu dan menghibur.

Setelah proses pengenalan dianggap cukup, Sutiman berlatih gerakan-gerakan dasar yang dilakukan oleh kera. Tahap demi tahap Sutiman menyempurnakan gerakan yang diinginkannya. Pada tahap akhir, Sutiman sadar bahwa seni yang diciptakan tidak bisa ia kelola secara mandiri. Oleh karena itu, dia berusaha mencari pihak yang bisa diajak bekerjasama yang bisa mengiringinya. Kebetulan di desa Tokawi terdapat paguyuban kerawitan yang aktif tetapi tidak semua atau sembarang orang bisa masuk pada paguyuban tersebut. Agar bisa diterima sebagai anggota paguyuban sekaligus seni yang diciptakannya dapat diiringi. Sutiman harus menyesuaikan diri dan memenuhi syarat yang diajukan oleh paguyuban kerawitan tersebut. Pendek kata Sutiman berhasil meyakinkan paguyuban Kerawitan.  Sutiman juga diterima sebagai salah satu anggota paguyuban. Peristiwa tersebut merupakan tonggak penting yang mendasari berkembangnya seni Kethek Ogleng yang dikreasi oleh Sutiman.

Keberadaan seni Kethek Ogleng yang diciptakan oleh Sutiman juga tidak lepas dari konteks politik dan perkembangan sosial budaya. Hal itu dibuktikan dengan berbagai hal/konteks yang mengiringi perjalanan Kethek Ogleng hingga kini. Pada masa pergolakan politik pada tahun 1965 berbagai tanggapan Kethek Ogleng vakum alias tidak melaksanakan kegiatan. Baru pada awal tahun 1970-an seniman Kethek Ogleng kembali beraktivitas.

Fase awal lahirnya Orde Baru, Kethek Ogleng juga diminta untuk meramaikan kegiatan kampanye partai pendukung pemerintah, yakni Golkar. Penguasa lokal pada masa itu cukup jeli melihat potensi Kethek Ogleng sebagai salah satu seni yang potensial untuk mendatangkan massa pada saat itu. Oleh karena itu, Kethek Ogleng hampir selalu ada jika Golkar melaksanakan kampanye. Selain itu, Kethek Ogleng juga menjadi suguhan berupa seni bagi pejabat yang melaksanakan kunjungan baik di skala desa maupun di tingkat kabupaten. Singkat kata, masa 1970-an seni Kethek Ogleng mulai langkah baru dan berkembang serta dikenal di berbagai wilayah di pelosok Kabupaten Pacitan.

Demikian pun pada tahun 2000-an. Seni Kethek Ogleng terus berproses dan menapaki jati dirinya sebagai seni yang bermula milik individual menjadi milik komunal. Meski Sutiman sebagai kreator sekaligus sesepuh seni Kethek Ogleng semakin tua tetapi ada generasi muda yang meneruskan nguri-nguri Seni Kethek Ogleng utamanya generasi muda yang ada di desa Tokawi tempat seni Kethek Ogleng dilahirkan. Sepanjang tahun 2000-an seni Kethek Ogleng ditampilkan dalam berbagai event dalam berbagai skala dari tingkat desa, kecamatan, daerah, regional, bahkan nasional. Kegiatan tahunan juga digunakan sebagai medium untuk menarik wisata di kabupaten Pacitan. Pada tahun 2017 Seni Kethek Ogleng dalam hal ini para seniman yang bernaung di bawah Pusat Pembinaan Seni Kethek Ogleng Condro Wanoro bekerjasama dengan pengelola wisata Pacitan Indah dan Pinus Kita berhasil menggelar pertunjukan Kethek Ogleng di lokasi wisata tersebut. 

Pada pertengahan 2018 seni Kethek Ogleng juga dipertunjukan di tingkat provinsi oleh para seniman Kethek Ogleng yang bergabung di Pusat Pembinaan Seni Kethek Ogleng Condro Wanoro. Pertunjukan tersebut terlaksana berkat kerjasama Pusat Pembinaan Seni Kethek Ogleng Condro Wanoro dengan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Selain menghibur, pertunjukan tersebut juga dapat digunakan sebagai wahana pengenalan seni tersebut pada tingkat nasional.

Pada sisi lain, perkembangan itu dapat mengaburkan keaslian seni itu sendiri karena sampai saat ini kekhasan yang melekat pada seni ciptaan Sutiman tersebut belum terlindungi secara hukum. Oleh karena itu jika terjadi klaim di sana-sini belum ada pihak yang bisa mengendalikan termasuk Sutiman sendiri. Hal itu terbukti berbagai daerah mengakui bahwa Kethek Ogleng miliki mereka. Padahal, dari wawancara dengan Sutiman yang dilakukan oleh Sukisno (2018: 92) mengungkap fakta bahwa nama Kethek Ogleng itu benar-benar Sutiman yang mengikrarkan dan sepengatahuannya belum ada seni yang bernama saat itu. Gerakan seni Kethek Ogleng, memicu adanya penambahan atau pengurangan oleh pihak-pihak lain tanpa sepengetahuan Sutiman

Perkembangan seni Kethek Ogleng terus berlanjut hingga kini. Perkembangan tersebut mempunyai dua sisi yang kontradiktif. Satu sisi perkembangan tersebut meneguhkan keberadaaan seni Kethek Ogleng sebagai seni yang populer dan digemari oleh masyarakat luas

Daftar Pustaka

Sukisno, dkk. 2018.  Seni Kethek ogleng Pacitan: Warisan Leluhur dan Segenap Dimensinya.  Yogyakarta, Azyan Mitra Media

Kesenian Kethek Ogleng diciptakan oleh seorang petani bernama Sutiman dari Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Pacitan. Penari Kethek Ogleng berbalut pakaian serba putih menyerupai sosok wayang Hanoman. Kala itu penarinya Sutiman sekaligus penciptanya. Setahun kemudian setelah Tari Kethek Ogleng tercipta, Sutiman berkesempatan tampil pada lomba desa tingkat kabupaten. Mulai saat itu, tarian karya Sutiman makin dikenal dimana-mana. Bahkan, kelompok tari ini diundang tampil di sejumlah acara resmi kenegaraan. Di Desa Tokawi sendiri, Tari Kethek Ogleng sudah melekat dengan tradisi warga. Tahun 60-an wilayah yang berada di perbatasan dengan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah itu tergolong terpencil.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014

Pelaku Pencatatan

SUKIMAN / SUTIMAN

RT 03 / RW 11, Dusun Jelok, Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan

0

?

Sukisno

Sanggar Krido Wanoro, Tokawi, Nawangan, Pacitan

?

Pelapor Karya Budaya

R. Katno, S.Sos, MM

Kasi Kesenian, Sejarah dan Nilai Tradisi Disparbudpora Kab. Pacitan

081946060261

?

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014
Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2014

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047