Kain Tenun Samarinda atau lebih dikenal Tajong Samarinda atau Sarung Samarinda merupakan kain tenun tradisional khas Samarinda. Kerajinan tenun sarung ini pada mulanya dibawa oleh pendatang Suku Bugs dari Sulawesi yang berdiam di kawasan rendah (Samarinda). Lambat laun kebudayaan menenun Sarung Samarinda ini dibawah oleh orang Bugis yang mencari suaka di Kerajaan Kutai sekitar abad ke 16. Sarung ini ditenun menggunakan alat tenun bukan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) yang disebut Gedokan. Produk yang dihasilkan untuk 1 buah kain memakan waktu 15 hari. Ciri khas kain tenun ini menggunakan sutera khusus yang di datangkan dari Cina. Sehelai sarung yang dihasilkan oleh pengrajin biasanya memiliki lebar 80 cm dan panjang 2 m. Warna yang dominan pada kain tenun ini adalah warna tua dan kontras seperti warna hitam, putih, merah, ungu, biru laut, dan hijau, sedangkan warna lain hampir tidak tampil. Corak yang dibuat dalam Sarung Samarinda sangatlah beragam, serta memiliki makna dan nilai filosofi masing-masing. Berikut beberapa corak Kain Tenun Samarinda yang umu ditenun. 1. Lebba Suasa merupakan corak yang pertama kali dibuat oleh para pengrajin tenun Samarinda. Namun kini corak lebba suasa sudah tidak dikeluarkan lagi karena jarang digemari dipasaran. 2. Kamummu (Hatta) yaitu warna biru yang dikombinasikan dengan warna hitam. Corak kamummu disebut corak Hatta karena tidak terlepas dari faktor sejarah. Dimana pada saat itu Bung Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia berkunjung ke Samarinda dan oleh Koperasi Ruwi menyerahkan sarung Samarinda kepada Bapak M.Hatta. 3. Ayaman Palupuh terdiiri dari dua macam yaitu tabba biasa dan tabba galak. Disebut ayaman palupuh karena corak ini menyerupai bambu. Dan masih banyak corak kain tenun Samarinda lainnya yang dapat dijumpai di Samarinda.