Emali

Tahun
2016
Nomor. Registrasi
2016006821
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Sumatra Utara
Responsive image
Emali adalah ritual yang dijalankan oleh nenek moyang orang Nias Selatan pada saat mereka masih mempraktikkan kepercayaan leluhur. Emali acap dilakukan oleh beberapa orang prajurit dari desa-desa (banua) yang baru didirikan sebagai persembahan untuk membangun batu hombo. Batu hombo yang sudah diberi korban akan tetap berdiri dengan kokoh untuk waktu yang lama, biasanya tergantung dari kekuatan spiritual orang yang dikorbankan. Satu buah batu hombo hanya membutuhkan satu kali pengorbanan sampai ia runtuh sendiri atau diruntuhkan oleh lawan. Batu hombo sendiri berfungsi sebagai ritus kedewasaan, media seleksi prajurit perang, sarana latihan untuk melompati pagar pertahanan musuh, menerjang lawan, dan lain sebagainya. Oleh sebab inilah, batu hombo menjadi prasyarat utama yang harus dimiliki oleh setiap negeri (?ri) yang ada di Nias bagian selatan. Dalam membangun batu hombo, ada dua jenis korban yang digunakan. Pertama adalah binu, sedangkan yang kedua adalah anak kecil yang masih hidup. Binu adalah potongan tubuh yang terdiri dari kepala dan tangan bagian kanan. Cara memperoleh binu adalah dengan melakukan tebasan (bacokan) ke tubuh lawan yang masih hidup atau sudah mati menggunakan tol?gu, mulai dari pangkal leher sebelah kiri lalu secara diagonal mengarah ke bagian bawah ketiak sebelah kanan. Tebasan ini menyisakan kepala dan bagian tangan kanan yang masih menyatu. Binu tidak hanya dapat digunakan untuk membangun batu hombo yang kokoh, tetapi juga dapat digunakan untuk menambah kekuatan spiritual seseorang, seperti elemu (ilmu kekebalan tubuh) dan fetua (ilmu hitam). Semakin banyak binu yang diperoleh, semakin tinggi kekuatan spiritual yang bisa dipelajari oleh seseorang. Ini yang menjadi alasan kuat mengapa masyarakat Nias bagian selatan memiliki tradisi berburu kepala. Menurut tradisi lisan yang masih ada dalam ingatan kaum tua, pernah ada tol?gu yang telah diperkuat dengan mantra-mantra dan jimat berbentuk bola (rag?). Rag? pada tol?gu itu terletak di bagian pangkal sarungnya, yang biasanya terbuat dari bola rotan kecil (bola takraw) yang dikelilingi ornamen berupa taring babi hutan, cakar harimau, gigi hiu, dan bendap-benda lain yang dianggap memiliki jiwa atau kekuatan. Konon, tol?gu itu dapat menambah kekuatan pemakainya hingga dapat memisahkan anggota tubuh lawan dalam satu kali tebasan. Pada tingkatan tertentu, tol?gu itu juga disebut-sebut dapat menembus ilmu kebal (elemu) yang dimiliki oleh lawan. Binu atau potongan tubuh yang sudah diperoleh kemudian dibawa dengan cara dipanggul. Pelaku emali memegang bagian tangan dari binu dan didekapkan ke dada, sementara bagian kepala dibiarkan bergantung di bagian punggung. Potongan tubuh tersebut dibawa dengan cara berjalan atau berlari hingga ke desa mereka. Mereka yang berhasil pulang dengan membawa binu akan memperoleh penghargaan berupa gelar kepahlawanan dari para si?ulu (bangsawan), terutama jika binu yang mereka peroleh berasal dari kasta-kasta yang tinggi seperti si?ulu, si?ila (cendikiawan), samu?i (prajurit), la?ia (jago), dan sebagainya. Semakin tinggi kasta dari binu itu semasa hidup, maka semakin kokoh batu hombo itu berdiri. Korban yang kedua adalah anak kecil yang masih hidup. Konon anak kecil yang masih hidup adalah korban yang jauh lebih kuat dari binu. Tahap-tahap pengorbanan yang dilakukan adalah dengan membujuk anak kecil tersebut dengan makanan yang enak dan kepingan emas. Lalu dengan nyanyian yang menenangkan hati (pendapat lain mengatakan sejenis hipnotis), si anak digiring ke dalam batu hombo dan ditutup rapat. Ketika si anak tersadar, maka ia akan meronta-ronta dan menjerit hingga ia mati lemas dalam beberapa hari. Ketika ia sudah mati, artinya upcara pengorbanan telah selesai dan batu hombo sudah dapat dilompati. Kelemahan dari jenis korban ini adalah batu hombo yang telah dibangun akan rubuh dengan sendirinya jika orang tua dari anak yang dikorbankan menginjakkan kaki di desa tersebut (biasanya karena mencari si anak). Untuk itulah, anak-anak yang dikorbankan biasanya mereka ambil atau culik dari tempat-tempat yang sangat jauh, sehingga tidak memungkinkan bagi orang tuanya mencari si anak hingga ke desa tersebut. Jika bukan dari Nias bagian barat atau utara, biasanya mereka mengambilnya dari wilayah di seberang pulau atau anak para pendatang yang kebetulan dibawa singgah ke pulau Nias. Sebelum berangkat mencari korban, terlebih dahulu pelaku emali meminta restu dan kekuatan kepada ere atau guru spiritual yang ada di desa mereka. Selain itu, mereka juga berdoa secara pribadi kepada leluhur melalui patung (adu siraha hor?) yang telah mereka buat. Ketika mereka pulang dalam keadaan gagal, mereka menganggap kegagalan itu sebagai dosa dan akan meminta dosa-dosanya diampuni oleh leluhur mereka. Mendapatkan korban persembahan untuk membangun batu yang digunakan untuk hombo tidaklah mudah, para pelakunya dituntut untuk mempertaruhkan nyawa terutama ketika mereka harus menghadapi prajurit-prajurit tangguh dari desa lain yang ada di Nias bagian selatan, atau para fasile tangguh dari Nias bagian tengah dan utara. Tak jarang, banyak dari mereka yang mati dalam upaya tersebut. Tradisi emali saat ini sudah tidak dijalankan lagi oleh masyarakat Nias bagian selatan. Tradisi itu sudah lama ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Tidak hanya tradisi emali, masyarakat Nias bagian selatan pada waktu itu juga menghanyutkan patung-patung yang merepresentasikan leluhur mereka, serta tradisi-tradisi lain yang disinyalir memiliki kearifan tradisional (ancient wisdom) dari leluhur mereka. Peristiwa ini terjadi antara tahun 1915-1930, dikenal dengan istilah fangesa d?d? sebua atau pertaubatan massal di Nias yang dimotori oleh para misionaris Kristen (zending).

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2016

Pelaku Pencatatan

?

Jln. Pattimura (Kompleks Taman Makam Pahlawan) Desa Mudik

(0639) 7000067, (0639) 323389

melkhior_duhas@yahoo.com

Mathius Manaö

Desa Orahili Fau, Kec. Fanayama Kabupaten Nias Selatan

0813-6150-8075

?

Pelapor Karya Budaya

?

?

?

?

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2016
Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2016
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2016

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047