Tradisi Melemang Adat Perkawinan Bengkulu

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900877
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Bengkulu
Responsive image

Pada masyarakat di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu,  tradisi melemang ini biasa juga disebut masak lemang. Tradisi melemang oleh masyarakat setempat biasanya dilakukan pada bulan Ramadhan (puasa), lebaran (Idul Adha), upacara perkawinan (bimbang), panen padi dan lainnya yang telah berlangsung sejak dahulu.

Adapun yang akan kami angkat pada pengusulan Warisan Budaya tak benda ini tentang Fungsi Lemang Pada Adat Perkawinan Suku Besemah di Padang Guci .

Tradisi melemang pada masyarakat Kaur adalah lemang tidak hanya sebagai hidangan dalam acara-acara tertentu melainkan juga menjadi persyaratan dalam Adat Perkawinan (Bimbang), khususnya oleh masyarakat Besemah di Padang Guci, dan masyarakat Semende di Muara Sahung. Lemang menjadi bawaan wajib bagi pihak pengantin laki-laki (lanang) ketika merintis ikatan perkawinan dengan seorang gadis (betine). Jika tidak ada lemang, maka perkawinan itu dianggap belum lengkap secara adat,  karenanya pihak laki-laki akan membuat lemang (masak lemang) untuk dibawa ke rumah pengantin perempuan. Dijadikannya lemang sebagai persyaratan adat dalam upacara perkawinan pada masyarakat Besemah sudah berlangsung sejak dahulu (turun temurun) dan masih bertahan hingga sekarang.

 

1. Upacara Perkawinan

Perkawinan, sebagaimana diketahui, merupakan tahapan yang sangat penting bagi seseorang karena merupakan babakan baru yang harus dilalui dalam kehidupannya, hidup bersama dengan  orang lain dalam bahtera rumah tangga. Setiap masyarakat mempunyai aturan (tatacara) tentang pelaksanaan perkawinan dan tahapan-tahapan yang mesti dilalui (turun temurun). Jika salah satu tahapan itu tidak dipenuhi maka perkawinan itu dirasakan belum lengkap.  Pada masyarakat Besemah di Padang Guci, dan Semende di Muara Sahung, sebagaimana diketahui, lemang menjadi salah satu persyaratan adat yang harus dipenuhi oleh pihak pengantin laki-laki (lanang) dalam upacara perkawinan (bimbang adat). Pihak pengantin laki-laki harus membawa dan menyerahkan lemang kepada pihak pengantin perempuan pada waktu meminang seorang gadis dan pada waktu pernikahan. Jika pihak laki-laki (lanang) tidak membawa lemang pada waktu itu maka perkawinannya dianggap belum lengkap secara adat dan akan menjadi bahan gunjingan di tengah masyarakat.

Setelah adanya kesepakatan antara bujang dan gadis untuk menikah, orang tua pihak laki-laki akan datang kerumah pihak perempuan menanyakan apakah anak bujangnya memang sudah ada kemufakatan dengan anak gadis tuan rumah untuk menikah. Kegiatan ini dinamakan dengan nue’i rasan atau merasan. Pada waktu ini belum membawa lemang, tetapi membawa makanan lain yakni boak (lemak manis) dan pisang goreng. Boak adalah makanan yang terbuat dari isi kelapa yang diparut bercampur gula merah, sedangkan pisang goreng adalah buah pisang yang digoreng bercampur tepung. Penggunaan boak dan lemang dalam upacara perkawinan mempunyai makna tersendiri. Jika yang dibawa boak tanpa lemang berarti acara masih tingkat keluarga (belum adat), tetapi jika sudah membawa lemang maka sifatnya lebih tinggi atau merupakan acara adat (rasan kule), karena melibatkan masyarakat yang lebih luas dan dihadiri oleh kepala desa dan pemuka adat.

Pada masyarakat di Besemah, lemang bawaan pihak pengantin laki-laki untuk pengantin perempuan adalah lemang gemuk yang tidak selalu menggunakan pucuk daun pisang antara beras dengan dinding bambu. Beras ketan yang sudah bercampur dengan santan, garam dan lainnya langsung dimasukkan kedalam bambu yang telah dibersihkan tanpa dilapisi daun pisang. Lemang yang tidak menggunakan pucuk daun pisang biasanya lengket dengan bambu setelah dimasak, sehingga ketika membuka lemang tersebut harus dibelah dengan pisau. bambu dari lemang gemuk untuk perkawinan ini biasanya dikupas bagian luarnya dengan menggunakan pisau. Sehingga batang lemang gemuk itu berwarna putih, tidak hijau seperti bambu umumnya.

Setelah terjalinnya kesepakatan antara kedua belah pihak, langkah selanjutnya adalah melamar (meminang) yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Dalam hal ini orangtua calon pengantin laki-laki akan datang ke tempat perempuan ditemani saudaranya, dengan membawa lemang sebanyak 10 batang (lemang gemuk) dan pisang goreng, sedangkan boak (lemak manis) tidak dibawa lagi. Bawaan (hantaran) itu harus dilengkapi dengan tungking yang berisikan sirih, gambir, pinang, tembakau, dan lainnya. Tungking merupakan syarat utama dalam adat Besemah yang bermakna menyatukan kesepakatan antara dua keluarga dalam ikatan perkawinan antara anak mereka. Kepala desa dan pemuka adat akan marah jika tidak ada tungking dengan lemang itu ketika pihak pengantin laki-lali merintis pernikahan.

Lemang sebanyak 10 batang (lemang 10) menandai terciptanya hubungan antara bujang dengan gadis dalam ikatan pertunangan. Penyerahan lemang itu menandai berubahnya tuturan (sebutan/panggilan) dari kedua belah pihak, ayah bujang akan memanggil calon menantu dengan “nak’, ayah bujang manggil ayah gadis dengan “warang (besan)”, sedangkan ibu bujang manggil ibu gadis dengan “bisan (besan)”, begitu sebaliknya. Pihak perempuan akan membalas bawaan dari pihak laki-laki itu dengan makanan bajik dan pisang goreng. Pada waktu itu disepakati pula kapan pelaksanaan pernikahan (kagu’an) antara bujang dan gadis, serta dimana kedua pengantin bertempat tinggal setelah menikah. Biasanya jarak waktu pelamaran (pertunangan) dengan waktu pernikahan adalah 1 bulan. Pesta perkawinan (kagu’an) diadakan di tempat kedua belah pihak, pada hari pertama dilaksanakan di tempat pihak perempuan dan besoknya di rumah pihak laki-laki.

Pada waktu kagu’an, pengantin laki-laki kembali membawa lemang ditambah makanan lain dengan jumlah yang lebih banyak, tetapi lemak manis tidak ada lagi. Lemang yang dibawa sebanyak 50 batang dengan rincian peruntukannya adalah 10 batang untuk orang tua perempuan, 10 batang untuk saudara laki-laki orang tua perempuan, 10 batang untuk pengantin perempuan, 10 batang untuk pengantin laki-laki, dan 10 batang untuk kepala desa. Selain lemang sebanyak 50 batang itu, disertai pula dengan makanan lain yakni lemak manis (boak) sebagai pertanda menjemput pengantin perempuan, gulai paha ayam untuk kepala desa, lemang kampek 15 batang (untuk keluarga terdekat dan adik sanak terdekat), dan bronang berisi lemang 15 batang (untuk cadangan di rumah calon pengantin perempuan). 

Lemang kampek adalah lemang pemberian pihak laki-laki untuk pihak perempuan, yang nantinya akan diberikan rumah pokok (yang punya hajat) untuk keluarga (adik sanak) terdekat. Sedangkan bronang berisi lemang 15 batang sebagai cadangan atau simpanan di rumah calon pengantin perempuan. Lemang dan bawaan lain itu dibawa oleh pengiring pengantin laki-laki yang terdiri dari 2 orang gadis, seorang orang laki-laki yang sudah tua, seorang perempuan yang sudah menikah (kerbai). Prosesi mengiringkan pengantin dengan membawa lemang itu dinamakan dengan mendah. Bawaan itu diterima oleh kepala desa sebagai pemimpin pemerintahan dan sekaligus sebagai pemangku adat.

 Lemang untuk pengantin perempuan biasa disebut dengan lemang pengantin, dan lemang untuk kepala desa disebut dengan lemang pelayan. Makna atau simbol dari lemang itu adalah penjemputan pengantin perempuan untuk dibawa ke tempat laki-laki. Lemang yang dibawa oleh pihak laki-laki akan dijadikan sebagai alat pemberitahuan pada adik sanak dan masyarakat agar berkenan hadir pada pesta pernikahan (bimbang) keesokan harinya. Lemang itu dipotong-potong dan potongan itu diberikan pada masyarakat yang diharapkan hadir pada kagu’an sebagai bentuk pengundangan dari tuan rumah (rumah pokok). Sebatang lemang dipotong kecil-kecil secara menyamping (menyerong) dan diberikan kepada orang yang diundan pada sore hari. Maksud dari pembagian lemang ini untuk mengingatkan bahwa pengantin telah tiba dan acara perkawinan akan dilangsungkan besok pagi. Menurut adatnya bagi yang mendapatkan potongan lemang, mereka wajib membawa nasi satu bungkus yang dibungkus dengan daun, gulai atau lauk pauk, dan kue. (Susanto, 2011; 48).

Setelah pernikahan (kagu’an) dirumah perempuan, seterusnya pihak pengantin perempuan akan diantar kerumah pihak pengantin laki-laki dengan membawa bronang berisi lemang 10 (bake bunting) dan makanan lainnya.  Orang yang mengiringi pengantin perempuan ke rumah pengantin laki-laki yakni 5 orang gadis yang lazim disebut gadis ngangkat (kawan mempelai perempuan), perempuan yang sudah kawin (kerbai), dan 1 orang laki-laki dewasa. Diiringi pula oleh paling sedikit 10 orang dan paling banyak 15 orang laki-laki yang lazim disebut dengan “bujang betuntut”.

Tugas bujang betuntut adalah menetapkan perkulean (pernikahan) dan kemantapan pihak mempelai laki-laki dan mempelai perempuan dan tempat tinggal setelah menikah. Lemang yang dibawa oleh pihak perempuan disebut dengan lemang betuntut. rombongan pihak perempuan yang datang ketempat laki-laki merupakan tamu adat dari pihak laki-laki.

 

Pada masyarakat Kaur, dikenal adanya kawin lari (selarian), dimana seorang bujang (pemuda) membawa pergi seorang gadis kerumahnya. Jika itu diketahui oleh kedua orang tua gadis dan sanak family (keluarga), serta kepala desa dan lainnya. Pihak calon pengantin laki-laki diharuskan membawa lemang 10 batang ke rumah pihak perempuan, dan lemang 10 untuk kepala desa pada waktu memberitahukan selarian tersebut. lemang 10 batang itu bisa disusul atau dibawa pada waktu pernikahan sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Jika sebuah pernikahan antara bujang dan gadis tidak jadi (nurung), namun secara adat belum bisa dibatalkan. Menurut adat, pihak laki-laki harus membawa lemang sebanyak 10 batang (lemang 10) dan lemak manis untuk melakukan kule masam, dan lemangnya disebut dengan lemang kule masam. Kalau sudah bawa lemang kule masam, maka ada 2 (dua) alternatif yakni dilanjutkan atau tidak jadi (nurung). 

Pada masyarakat di Kecamatan Tanjung Kemuning, terdapat 3 (tiga) tahapan yang harus ditempuh oleh pasangan calon pengantin yakni:

a. 10 batang lemang disajikan pada saat perundingan antara kedua belah pihak keluarga untuk menetapkan hari atau malam pernikahan. Pada acara musyawarah inilah, keluarga pihak mempelai laki-laki diharuskan membawa lemang.

b. 65 batang lemang harus disediakan dan disajikan pada saat rombongan mempelai laki-laki mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Ini berarti bahwa lemang merupakan makanan paling dominan yang harus ada diantara sekian banyak jenis makanan lain.

c. 50 batang lemang harus diberikan pada saat acara resepsi selesai, khususnya ketika pengantin laki-laki akan mengantar kerbai ngantar pengantin perempuan (BMA, 2014: 60)

Dari hal diatas, diketahui bahwa lemang merupakan makanan yang harus ada pada setiap pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa, lemang ini adalah keniscayaan kultural, yang apabila dilupakan maka akan melahirkan suatu hukuman cultural pula.


Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Suku Adat Semende

Kecamatan Muara Sahung

0

Suku Adat Besemah

Kecamatan Kinal, Tanjung Kemuning, Kelam Tengah, Padang Guci Hulu, Padang Guci Hilir, Kaur Utara, Lungkang Kule

0

Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

Maksan

Desa tanjung Sakti I Kac. Kelam Tengah Kab. Kaur

0

Abdul hamid

Desa Talang Marap Kec. Kelam Tengah Kab. Kaur

0

Tjeman

Desa Ulak bandung Kecamatan Muara Sahung Kab. Kaur

0

Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh WBTB Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047