Nguras Enceh

Tahun
2019
Nomor Registrasi
201900967
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image

 

Enceh dalam bahasa Indonesia berarti tempayan, Enceh ini merupakan benda yang terbuat dari tanah liat, yang berukuran sangat besar bisaanya digunakan untuk tempat menyimpan air untuk memasak maupun berwudlu, serta juga sering digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga pada jaman dahulu. Mneurut sejarahnya, Enceh yang terdapat di makam raja-raja Imogiri ini bukan sembarang enceh, enceh ini dahulu pada zaman Sultan Agung digunakan untuk berwudlu. Enceh ini merupakan cinderamata dari kerajaan-kerajaan sahabat Sultan Agung, Enceh yang dahulunya digunakan sebagai tempat wudlu Sultan Agung dan keluarganya tersebut kemudian diboyong ke makam raja-raja Imogiri setelah Sultan Agung magkat, hal ini karena enceh tersebut merupakan salah satu kesayangan Sultan Agung sehingga tempat penyimpanannya pun harus didekatkan di pusaran Sultan Agung. Adapun barang-barang yang ikut diboyong kemakam imogiri setelah Sultan Agung mangkat yaitu genthong/enceh, cincin yang terbuat dari tongkat Sultan Agung, dan daun tujuh rupa (daun yang digunakan sebagai ramuan wedhang uwuh minuman khas Imogiri). Enceh yang diperoleh Sultan Agung tersebut berjumlah 4 buah, masing-masing diperoleh dari 4 kerajaan berbeda. dapat diketahui bahwa hubungan kerajaan Mataram tidak hanya terbatas di dalam bumi nusantara saja, namun hubungan kerjasama itu terjalin sampai ke luar negeri yaitu ke Thailand dan Turki yang jaraknya sangat jauh. Dapat diketahui pula bahwa empat genthong atau enceh tersebut didapat masing-masing satu buah untuk setiap kerajaan, dapat diambil kesimpulan bahwa dengan alasan Sultan Agung adalah seorang pemeluk agama Islam yang sangat taat beribadah, dan dimanapun beliau berada Sultan Agung tak akan melupakan Ibadahnya. Ini dilihat dari

v

Imogiri, Kabupaten Bantul

permintaan cinderamata yang sama antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya yaitu sebuah genthong untuk berwudlu.

Enceh yang tersimpan di makam raja-raja Imogiri merupakan benda pusaka yang dianggap memiliki tuah karena memiliki sejarah yang amat panjang hingga bisa sampai ke makam raja-raja Imogiri sampai sekarang, karena sejarah inilah benda yang semula hanya dipakai oleh raja sebagai tempat wudlu pada akhirnya digunakan untuk menampung air yang dianggap bertuah. Pada zaman dahulu upacara tradisi nguras enceh hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan saja, sehingga tidak sembarangan setiap orang boleh meminumnya. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa munculnya kepercayaan terhadap air enceh bermula dari keluarga keraton yang meminum air tersebut untuk menyembuhkan penyakit.

Pada saat itu hanya kalangan keraton saja yang mengetahui khasiat dari air tersebut, hingga pada akhirnya saat terjadinya serangan umum 1 Maret di Yogyakarata, Presiden Soekarno mengirimkan surat kepada Sri Sultan Hamengkubuwana IX agar prajurit TNI yang bertempur di Yogyakarta diperbolehkan untuk meminum air suci dari enceh itu. Sultan memperbolehkan para prajurit untuk meminum air tersebut. Usai meminum air enceh tersebut, kekuatan para prajurit bertambah sehingga dapat memenangkan pertempuran melawan Belanda. Dalam perkembangannya wujud dari pengabdian dan penghormatan kepada Sultan Agung menjadi sebuah upacara tradisi yang dilaksanakan oleh abdi dalem dan masyarakat Imogiri setiap tahunnya, yaitu setiap bulan Sura. Upacara tradisi nguras enceh di Makam raja-raja Imogiri merupakan wujud dari sebuah kepercayaan masyarakat atau wujud dari perilaku religius masyarakat terhadap rajanya yang dianggap mampu melindungi rakyatnya walaupun raja itu telah mangkat.

Pada Bulan Sura di Kecamatan Imogiri dilaksanakan upacara tradisi nguras enceh dan ngarak siwur yang merupakan satu rangkaian upacara tradisi besar karena diikuti oleh keluarga Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Surakarta Hadiningrat beserta perwakilan Abdi dalem dan prajurit kedua keraton tersebut dan Jajaran pemerintahan Kabupaten Bantul, Kecamatan Imogiri dan semua perangkat Desa se-kecamatan Imogiri, abdi dalem juru kunci makam raja-raja. Imogiri dengan didukung oleh para pecinta budaya (FORCIBB) serta masyarakat Imogiri.

Upacara tradisi nguras enceh atau bisa disebut nawu kong dilaksanakan setiap hari Selasa atau Jum’at Kliwon yang ada dibulan sura tersebut. Pemerintah kecamatan Imogiri dalam menyambut Nguras Enceh mengadakan berbagai festival kesenian dan budaya untuk menyambut upacara tradisi nguras enceh seperti mengadakan lomba gunungan yang wajib diikuti oleh setiap desa di Kecamatan Imogiri, gunungan tersebut diarak dalam festival kirab budaya “ngarak siwur” yaitu alat yang digunakan untuk menguras enceh dalam tradisi nguras enceh di makam raja-raja Imogiri. Dalam festival yang diadakan oleh pemerintah kecamatan Imogiri dalam menyambut upacara nguras enceh terdapat juga pentas seni tradisional seperti kuda lumping (jathilan), dan kethoprak.

Dalam upacara tradisi nguras enceh ini, para pelaku upacara tradisi tersebut mempercayai bahwa di dalam air enceh terdapat kekuatan magis yang dipercaya oleh para pelaku dapat memberikan suatu kekuatan untuk menghindarkan para pelaku upacara dari segala gangguan dan dapat memberikan berkah bagi kehidupan mereka. Meskipun dalam upacara tradisi nguras enceh para pelaku mempercayai adanya kekuatan magis yang terkandung dalam air itu, namun sepenuhnya para pelaku tidak menganggap air itu sebagai kekuatan tertinggi. Air enceh itu dianggap hanya sebagai perantara Tuhan untuk memberikan pertolongan kepada umatnya. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam prosesi upacara tradisi nguras

enceh terdapat acara tahlil bersama baik sebelum dan sesudah upacara tradisi nguras enceh dimulai. Tahlilan berarti membaca dzikir dengan bacaan Laa ilaaha illallah, tasbih, tahmi, takbir, ayat-ayat suci Al-Quran dan sholawat Nabi yang kemudian diakhiri dengan doa. Inti dari doa tersebut adalah mendoakan para arwah leluhur yang disemayamkan di makam raja-raja Imogiri.

Berbeda dari sebelumnya, pada beberapa tahun terakhir ini sebelum diadakan upacara tradisi nguras enceh ditambahkan sebuah tradisi kirab budaya sebagai pembuka upacara tradisi nguras enceh yaitu tradisi kirab budaya ngarak siwur yaitu merupakan sebuah tradisi yang menitik beratkan pada ngarak atau mempawaikan siwur yaitu alat yang digunakan untuk mengambil air di dalam tempayan yang terbuat dari tempurung kelapa yang berjumlah 2 buah masing- masing dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Keraton Surakarta Hadiningrat.

Upacara tradisi nguras enceh terdapat makna yang berisi tentang pembelajaran hidup manusia. Bersih atau suci merupakan syarat utama seorang manusia untuk menghadap kepada Tuhan, manusia harus membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, dan nista ini digambarkan melalui pembersihan enceh di dalam upacara tersebut.

Selain itu di dalam tradisi nguras enceh terdapat gambaran bagaimana abdi dalem, juru kunci serta warga masyarakat sekitar saling membantu untuk mengisi enceh menggunakan ember yang diangkat secarai berantai atau ranting. Jelas dalam gambaran tersebut dapat diketahui makna simbolik dalam tradisi nguras enceh yaitu orang hidup harus saling bergotong royong. Nguras enceh juga mempunyai filosofi, bahwa enceh itu diibaratkan sebagai manusia, dan air suci diibaratkan dengan ilmu yang baik.

Dalam prosesi pengisian enceh filosofinya adalah orang harus menuntut ilmu yang baik, setelah itu apabila telah sukses dan memiliki ilmu harus saling berbagi dan membantu sesama. Saling membantu sesama adalah hasil dari filosofi air yang sangat berguna bagi kehidupan. Fungsi sosial pertama adalah fungsi kesenangan. Upacara ini disertai dengan kirab budaya yang bersifat tontonan. Tontonan yang dihadirkan memberikan hiburan kepada masyarakat. Fungsi edukasi dengan nilai-nilai adat tradisi

Tradisi Nguras Enceh (Genthong/Kong) di Puralaya komplesks makam raja-raja Mataram di Pajimatan masih menjadi daya tarik masyarakat. Prosesi Nguras Enceh dimulai sekitar pukul 09.00 dengan kenduri bersama, yang dipimpin oleh sesepuh juru kunci Puralaya Imogiri. Usai kenduri dan selamatan dilanjutkan penyucian 4 enceh, Nyai Danumurti, Kyai Danumaya, Kyai Mendung, Kyai Siyem. Usai penyucian dilanjutkan dengan pengisian enceh. Luberan air dari enceh diperebutkan pengunjung yang dipercaya oleh mereka konon mempunyai khasiat tertentu.

-


Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Komunitas Karya Budaya

Masyarakat Pajimatan, Imogiri, Bantul

Pajimatan, Imogiri, Bantul

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

Maestro Karya Budaya

KRT. Balad Jogo

Pajimatan, Imogiri, Bantul

0

Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001
   Disetujui Oleh SuperUser Pada Tanggal 30-11--0001

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047