Getak Winangun

Tahun
2020
Nomor Registrasi
202001160
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Jawa Barat
Responsive image

       Tradisi pembuatan kerajinan gerabah di Desa Sitwinangun telah memiliki sejarah yang cukup panjang sejak masa prasejarah hingga saat ini. Nama Sitiwinangun memiliki arti : tanah yang dibangun atau dibentuk (Siti = tanah, Winangun = bentuk). Tradisi membuat gerabah sudah dilakukan oleh nenek moyang penduduk Sitiwinangun yang berbudaya agraris sejak jaman dahulu.  Pada tahun 1222 di daerah Kebagusan sudah ada padukuhan namanya padukuhan Kebagusan dan masyarakat Kebagusan pada waktu itu sudah mengenal kerajinan gerabah. Kerajinan gerabah yang ditemukan pada masa kerajaan Majapahit ataupun Singasari memiliki kesamaan dengan gerabah yang dibuat oleh warga Kebagusan. Seiring dengan perkembangan Islam mulai berkembang, pada jaman itu sudah masuk para pendakwa dari Arab salah satunya adalah Syekh Abdurahman yang berasal dari Baghdad beliau mendapat gelar Pangeran Panjunan karena ahli membuat gerabah (anjun), tak hanya itu beliau juga dikenal sebagai Ki Bagus Pranata atau sering disebut sebagai Buyut Kebagusan. Pangeran Panjunan/ Ki Bagus Pranata menyebarkan agama Islam di padukuhan Kebagusan dengan mengadakan pendekatan kultural atau tradisi masyarakat Kebagusan pada waktu itu, maka beliau berdakwah sambil mengajari gerabah atau mengajari cara membuat gerabah agar lebih baik lagi. Sebagai penghormatan masyarakat Desa Sitiwinangun kepada Buyut Kebagusan, lokasi pemakam tokoh tersebut kini dijadikan situs Mesjid Keramat Kebagusan yang sering dikunjungi para peziarah dimana didalamnya terdapat benda kuno sebagai pusaka berupa masjid kuno, Al Qur’an dan benda gerabah yang sudah berusia ratusan tahun. (Katalog Pameran Gerabah Sitiwinangun – Cirebon th 2000).

Motif-motif gerabah Sitiwinangun sangat kental dengan ajaran agama Islam salah satunya momolo masjid, padasan (tempat menyan), alat-alat untuk upacara tradisi keagamaan. Selain itu motif gerabah Sitiwinangun juga terpengaruh oleh tiga kebudayaan yaitu Islam, Cina, Arab. Berkembang seterusnya ada salah satu cucu keturunan Syekh Syarif melanjutkan yang melanjutkan dakwah beliau di Kebagusan. Dalam masyarakat Sitiwinangun ada satu adat jika seseorang ingin membuat gerabah maka Ia harus mengelilingi makam Ki Jagabaya 3x dengan mengangkat batu dibarengi dengan puasa dan membaca shalawat. Ketika pengrajin ingin membuat gerabah dengan ukuran kecil maka pengrajin akan mengangkat mengambil batu kecil kemudian mengelilingi makam Ki Jagabaya, begitupun sebaliknya tergantung dari ukuran gerabah besar atau kecilnya batu yang diangkat. Namun tradisi ini sudah ditinggalkan masyarakat Desa Sitiwinangun. Gerabah Sitiwinangun mengalami masa kejayaan dimana pada masa itu gerabah di jadikan sebagai mas kawin seseorang ketika ingin menikah, tidak hanya berlaku untuk di Sitiwinangun saja melainkan ketika ada warga Sitiwinangun yang menikah dengan desa lain pun gerabah dijadikan sebagai mas kawin. Hal ini membuktikan bahwa ada kepercayaan bahwa gerabah Sitiwinangun memiliki kwalitas yang bagus.

Cara Pembuatan

Sebagai aktifitas sosial dan mata pencaharian masyarakatnya kerajinan keramik Sitiwinangun memiliki potensi dan kendala baik dalam aspek material, teknik, bahan bakar, desain dan pemasarannya. Tanah liat sebagai bahan baku utama untuk membuat keramik suhu rendah (jenis Earthenware) depositnya masih cukup banyak yang dapat diperoleh oleh perajin Sitiwinangun dari area persawahan disekitar sentra. Tanah liat tersebut kemudian dicampur pasir halus dari pinggiran sungai sehingga bersifat tahan kejut suhu (thermal shock) dan memiliki daya kerja (workability) yang baik serta memiliki kekuatan yang tinggi setelah dilakukan proses pembakaran. Permasalahannya adalah standar kualitas bahan baku yang masih rendah karena masing-masing perajin mengolah sendiri bahan yang digunakannya dengan peralatan sederhana dan teknik yang masih tradisional. Dengan demikian tanah liat yang dihasilkannya masih kasar sehingga berpengaruh secara langsung terhadap prosentase kegagalan produksi dan rendahnya kualitas produk yang dihasilkannya. Hal yang menarik pada sentra kerajinan keramik Sitiwinangun yaitu masih bertahannya pembentukan keramik tradisional dengan teknik tatap pelandas (Paddle anvile) yang telah berkembang sejak masa prasejarah disamping dikembangkan juga teknik handbuilding dan putar dengan menggunakan alat putaran tangan (Handwheel). Di sentra kerajinan keramik Sitiwinangun juga masih digunakan pembakaran keramik secara tradisional menggunakan tungku ladang (open firing) dengan bahan bakar jerami, ranting, daun kering, karet bekas, dll. yang sangat atraktif sehingga banyak menarik perhatian pengunjung yang datang ke sentra. Sementara dekorasi produknya banyak menggunakan teknik toreh dan tempel yang masih sederhana namun dibuat dengan keterampilan yang sangat tinggi. Adapun untuk menghaluskan permukaan produknya pada tahap akhir proses pembentukan dan dekorasi dilakukan penggosokan (burnishing) dengan menggunakan kain, bambu ataupun batu.

 

Nilai Guna Grabah Desa Sitiwinagun

Grabah desa sitiwinangun memiliki nilai guna/pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Jenis produknya berupa pendil atau periuk, paso, kuali atau wajan, gosang atau wadah air, gentong, pedaringan, buyung, kendi, keren atau tungku, cowet atau cobek, poci dan pendil. Selain produk grabah desa sitiwinangun juga digunakan untuk kepentingan religi dan keagamaan antara lain memolo dan padasan. Memolo atau mastaka artinya pucuk atau mahkota berfungsi sebagai penutup ujung atap pada bangunan masjid sebagai tempat peribadatan pemeluk agama Islam. Adapun padasan adalah gentong yang memiliki lubang pada bagian bawahnya yang difungsikan sebagai tempat keluarnya air untuk berwudlu. Kedua jenis produk ini biasanya dibuat dengan dekorasi yang sangat rumit dan memerlukan tingkat keterampilan yang sangat tinggi dari pembuatnya baik dalam proses pembentukan dan dekorasinya. Ada juga beberapa produk pakai/fungsi yang sering digunakan dalam upacara ritual agama dan tradisi atau kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat setempat seperti buyung, paso, kepingan keramik, cuwo dan kendi untuk upacara tujuh bulan kehamilan. Selain itu pendil juga sering digunakan dalam upacara kelahiran sebagai tempat untuk menyimpan ari-ari bayi yang baru lahir. Buyung dan gentong selain fungsi pakai utamanya juga sering digunakan sebagai wadah untuk menyimpan uang dari tamu undangan dalam upacara khitanan. Sementara dalam upacara pernikahan, selain kendi, hampir semua jenis keramik fungsional digunakan dalam upacara pernikahan selain juga sebagai bagian dari barang seserahan dari pihak mempelai pria. Selain dalam upacara kelahiran dan pernikahan, dalam upacara kematian pun kendi sering digunakan sebagai alat untuk menyiram air disamping padupaan untuk menyalakan dupa.

Selain produk grabah fungsi dan religi, ada juga beberapa patung keramik tradisional yang ditemukan di sentra kerajinan keramik Sitiwinangun dalam wujud Paksinagaliman, Macan Ali, Singabarong, Burok, Jatayu, Garuda Mungkur dan Gajah Mungkur yang apabila dilihat dari segi bentuk, gaya dan teknik secara umum dapat dikategorikan bergaya klasik dengan bentuk sebagai perwujudan dari ular Naga, burung Garuda, Gajah dan Macan. Patung-patung keramik ini merupakan budaya tradisi khas Sitiwinangun yang tidak ditemukan pada sentra keramik tradisional lainnya di Indonesia. Pada awalnya patung keramik tersebut dibuat untuk tujuan simbolik sebagai pernyataan kekuatan dan penyatuan unsur-unsur kekuasaan dalam bentuk perupaan (Khomisatul Laili, 2007 : 46).

 

Motif/Ragam Hias

Yang menjadi cirikhas dari grabah sitiwinangun adalah adanya motif dan ragam hias yang membedakan dari grabah grabah lainya, Megamendung merupakan motif/ragam hias yang sangat terkenal dan telah menjadi salahsatu ikon budaya Cirebon. Motif/ragam hias ini merupakan hasil akulturasi budaya Cirebon dengan Cina yang melambangkan dunia atas dan kesuburan. Selain Megamendung di Cirebon juga berkembang motif Wadasan (berasal dari kata Wadas yang artinya batu karang) sebagai perlambangan dunia bawah dan keteguhan masyarakat Cirebon dalam menjalankan sari’at agamanya. Bagi masyarakat Cirebon yang mayoritas beragama Islam, motif Wadasan merupakan perlambangan agar dalam kehidupan setiap manusia memiliki dasar yang kokoh sekokoh batu karang, yaitu iman dan akidah agama, yang tidak boleh goyah dan senantiasa istiqomah dalam menghadapi godaan dari luar (Faizkasmy, 2016).  Selain kedua motif tersebut, produk kerajinan keramik Sitiwinangun juga memiliki motif/ragam hias yang merupakan kekhasan lokalnya yaitu Tepen, Rumbing, Lingkaran Memusat, Melaten, Kembang Kangkung, Sulur Kangkung, Kembang Waluh, Berundakan, Kawung, Bulan Sabit, Tumpal, Linjoan, Untu Walang, Terate, Kaligrafi, Lung Pakis, Oncoman, Kembang Kluih/Sukun, Kembang Nangka Welandaan, Semanggen, Kembang Tanjung, Gringsingan, Sulur Gelung, Menyan Kobaran dan Simbar.(Khomisatul Laili, 2007 : 48).

 

Perkembangan

 Berbeda dengan kerajinan batik dan rotan yang terus mengalami perkembangan, kerajinan gerabah Sitiwinangun yang memiliki identitas lokal yang sangat kuat dan keunikan teknik pembakaran tungku lading (open firing) dalam 20 tahun terakhir justru terus mengalami penurunan sehingga apabila tidak ada upaya dari para stakeholder seperti pemerintah dan perguruan tinggi dikhawatirkan akan mengalami kepunahan. Berdasarkan data kependudukan Desa Sitiwinangun tahun 1990 hingga tahun 2000 menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat 157 unit usaha pembuatan kerajinan gerabah di Desa Sitiwinangun. Sedangkan  kerajinan karet atau ban bekas berjumlah 50 unit (Katalog Pameran Gerabah Sitiwinangun Cirebon 2001). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pembuatan kerajinan gerabah masih menjadi sumber mata pencaharian utama penduduknya. Kini jumlah perajin gerabah Sitiwinangun menyusut sangat signifikan jika dibandingkan dengan masa lalu. Berdasarkan data yang diperoleh dari pemerintah  Desa Sitiwinangun tahun 2018, saat ini jumlah perajin gerabah di Sitiwinangun hanya berjumlah sekitar 73 orang yang sebagian besar adalah manula dan tersebar dalam dua blok kampung yaitu Blok Kebagusan dan Blok Caplek Kidul. Kondisi ini merupakan hal yang sangat memprihatinkan mengingat kerajinan gerabah  hias Sitiwinangun merupakan salah satu aset budaya dan ekonomi daerah Kabupaten Cirebon yang jika di kembangkan akan mampu menarik banyak tenaga kerja dan dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakatnya. Sampai saat ini perajin yang masih bertahan kebanyakan para perempuan berusia lanjut sebab para perajin laki-lakinya sudah banyak yang meninggal. Sementara itu kaum muda di daerah tersebut banyak yang enggan untuk mengikuti jejak para orang tuanya dengan bekerja di luar kota. Diluar kondisi yang memprihatinkan tersebut diatas, sejak tahun 2016 telah muncul harapan dan optimisme baru di sentra kerajinan gerabah Sitiwinangun dengan dicanangkannya Sitiwinangun sebagai Desa Wisata pada bulan Februari 2016 dan akan diresmikan oleh Sultan Cirebon pada akhir tahun 2018.

 


Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Komunitas Karya Budaya

POKDARWIS

Kantor Desa Sitiwinangun Jl. Mohammad Ramdhan Desa Sitiwinangun Kec. Jamblang Kabupaten Cirebon

0

Kelompok Usaha Gerabah Bina Karya (KUGBK)

Blok Kebagusan Rt. 03 Rw. 10 Desa Sitiwinangun Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon

081320510521

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Maestro Karya Budaya

Sijayono

Blok Caplek Rt. 02 Rw. 05 Desa Sitiwinangun Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon

0

Kadmiya

Blok Kebagusan Rt.03 Rw. 10 Desa Sitiwinangun Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon

081320510521

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020
   Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047