Tari Srimpi Pandelori merupakan salah satu dari beberapa kesenian yang lahir di Kraton Yogyakarta pada masa HB VII. Hasil pengamatan awal yang dilakukan pada tanggal 15 Januari 2017 di KPH Kridha Mardawa Kraton Yogyakarta menunjukkan bahwa Tari Srimpi Pandelori adalah tari klasik dengan tema tari mengenai nilai-nilai baik dan buruk dalam kehidupan manusia. Untuk itu, perlu dilakukan analisis makna yang terkandung di dalam ragam gerak dalam tari Srimpi Pandelori. Upaya ini dilakukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai yang terdapat di dalam tari Srimpi Pandelori. Srimpi Pandhelori diambil dari cerita Menak (babad Menak) yang ditulis oleh R. Ng. Yasadipura 1. Cerita Menak ini menurut sejarahnya bersumber dari kesusastraan Persia Qisaa'I Emr Hamza pada masa pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid yang masuk ke wilayah Melayu pada tahun 1511. Setelah masuk wilayah Melayu cerita tersebut dikenal sebagai hikayat Amir Hamzah yang kemudian disadur ke dalam bahasa Jawa dan dikenal sebagai Serat Ménak.
CERITA
Srimpi Pandhelori yang mengisahkan pertarungan antara Dewi Sudarawerti dengan Dewi Sirtupelaeli, atau Srimpi Muncar yang menceritakan pertarungan antara Dewi Kelaswara dengan Dewi Adaninggar saat memperebutkan Wong Agung Menak Jayengrana. Tidak ada yang kalah dan menang dalam peperangan ini, kedua dewi menjadi bersaudara setelah keduanya menjadi istri dari Wong Agung Menak Jayengrana.
GENRE TARI SRIMPI
Salah satu jenis tari klasik yang bersumber dari keraton adalah tari srimpi yang salah satu cirinya adalah dimainkan oleh empat penari putri. Berkaitan dengan hal ini Wardhana (1981: 42) mengatakan, nama tari ini (srimpi) oleh kalangan luar sering diasumsikan keliru, karena sering dikenakan untuk menyebut segala tari putri gaya Yogyakarta. Padahal nama tari srimpi adalah untuk suatu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang ditarikan oleh empat penari, karena srimpi adalah sinonim bilangan empat. Penjelasan Wardhana ini benar adanya, karena di beberapa daerah kata srimpi sering digunakan untuk menyebut semua jenis tari klasik putri. Berdasarkan pengamatan peneliti di beberapa wilayah dusun di Kabupaten Magelang dan sekitarnya kata srimpi dipergunakan untuk menyebut semua tari-tarian klasik 50 putri. Masih berkaitan dengan kata ‘srimpi’, Wardhana menjelaskan lebih lanjut, almarhum Prof. Dr. Priyono mengkaitkan nama ‘srimpi’ ke akar kata ‘impi’ atau mimpi. Menyaksikan tarian lemah gemulai sepanjang ¾ hingga 1 jam itu seperti orang dibawa ke alam lain, alam mimpi.
Srimpi dianggap sebagai tarian yang lahir bersamaan dengan bedhaya dan keduanya menjadi semacam tarian pusaka di kerajaan Mataram, kemudian Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Seperti yang diungkapkan Purwadmadi dan Linaras (2015: 163) bahwa tari srimpi adalah tarian yang umumnya bisa ditemui di lingkungan istana-istana Jawa, keberadaannya mendampingi tarian klasik bedhaya, konon keduanya sama tuanya. Dalam janturan para dalang wayang kulit sering pula disebut-sebut keberadaan bedhaya-srimpi sebagai seni hiburan utama setiap kali sang Raja masuk kembali ke kedhaton. Sejalan dengan hal ini Soedarsono (1990:144-147) mengungkapkan, srimpi adalah salah satu tari tradisional yang hidup dan berkembang di lingkungan keraton, secara umum mengandung simbol-simbol kejawen sehingga menjadi salah satu pusaka kerajaan. Tarian srimpi beserta isi kerajaan adalah milik raja yang dianggap sebagai pusaka keraton (Soedarsono, 1989:144-147), srimpi umumnya merupakan tarian yang hanya dapat ditemui di keraton-keraton Jawa. Tari-tarian istana seperti bedhaya dan srimpi pada awal kelahirannya digunakan sebagai pelengkap sebuah upacara adat di istana (dianggap sebagai pusaka) sehingga memiliki nilai sakral. Berkaitan dengan hal ini Pramutomo (2009:63) mengemukakan (seperti telah tertulis pada pendahuluan) bahwa, mengacu pada manuskrip 51
Serat Babad Nitik, bedhaya adalah tari kelompok putri dengan jumlah penari sembilan orang, sedangkan srimpi adalah jenis tari kelompok putri dengan jumlah penari empat orang. Kedua komposisi tarian ini digubah menjadi komposisi tari yang sangat khusus oleh Ratu Kidul, yang kemudian disebut semang dan srimpi, dan dipersembahkan kepada Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646). Atas dasar itu keraton Yogyakarta menganggap kedua genre tari putri ini sebagai pusaka dalem.
Srimpi merupakan suatu karya budaya yang mencerminkan ajaran luhur bagi nilai-nilai hidup manusiawi. Sudah barang tentu keberadaan tari srimpi di beberapa istana selalu berkaitan erat dengan konsepsi hidup, konsepsi lingkungan, konsepsi budaya, konsepsi pendidikan, konsepsi harapan, ujub-ujub tertentu, bahkan kekuasaan itu sendiri. Di istana Yogyakarta diketahui bahwa srimpi merupakan jenis penyajian tari putri yang bermakna bagi legitimasi kekuasaan raja. Dalam hal ini kedudukan srimpi tidak jauh beda dengan kedudukan bedhaya maupun wayang wong (Pramutama, 1999: 1). Hal senada diungkapkan oleh Putraningsih bahwa tari-tarian keraton mengandung nilai-nilai filosofis yang tinggi. Nilai-nilai tersebut adalah, nilai etik, nilai estetika, sosial dan religius. Nilai- nilai ini bersumber pada budaya Jawa dengan segala kaidahnya yang diakui oleh masyarakat (Putraningsih, 2016: 176 ).
Di lingkungan keraton Yogyakarta, tari srimpi dianggap sebagai salah satu tarian sakral. Alasan pelaksanaan pementasan yang tidak sembarang waktu (hanya pada waktu-waktu tertentu) menjadi penyebab tarian ini menjadi sakral. Pada masa kuasa raja-raja Yogyakarta, terutama sebelum raja ke sembilan, dipercaya bahwa untuk menyajikan tari srimpi diatur oleh beberapa pengaturan. Hal ini sama dengan pelaksanaan pementasan-pementasan ritual kenegaraan, misalnya ulang tahun dan peringatan naik tahta Sultan. Keraton Yogyakarta memiliki beberapa jenis srimpi yang cukup variatif, Salah satunya adalah Srimpi Pandhelori.
NILAI MAKNA
Karmini (2017, 150) berpendapat bahwa dalam sebuah karya seni pada dasarnya memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, yaitu melalui karya seni pembaca dapat belajar mengenai pengalaman yang dialami sang tokoh cerita, baik pengalaman yang baik maupun pengalaman yang buruk. Dengan merenungkan pengalaman-pengalaman sang tokoh cerita, pembaca dapat menentukan sikap, dapat menentukan pilihan hidup dan kehidupan yang dicita-citakannya.sejalan dengan jurnal yang ditulis oleh Enis Niken (2004: 5) tentang pendidikan karakter melalui pembelajaran tari, memberikan gambaran bahwa dengan memahami nilai-nilai suatu tarian dapat membawa dampak positif, karena seni tari mampu membawa manusia ke dalam pemahaman mengenai nilai-nilai kebudayaan melalui ragam gerak dalam satu rangkaian tari utuh. Secara tidak sadar, seseorang yang mempelajari tari Srimpi Pandelori akan memahami psikologi peran yang diperankan dalam tarian, artinya secara tidak langsung akan mendapatkan sebuah pengetahuan tentang sifat-sifat dasar manusia secara mendalam.
Tari Srimpi selain sarat dengan makna juga mempunyai beberapa pokok sendi seperti yang diungkapkan oleh (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 305-306) bahwa ada 7 pokok :
Tari Srimpi merupakan suatu sifat pendidikan gerak badan dan rasa keindahan. Artinya bahwa tari Srimpi merupakan salah satu sarana untuk melatih kepekaan tubuh dan kepekaan rasa estetika atau keindahan.
Tari Srimpi bersifat sport yang menghaluskan dan menyehatkan tubuh. Artinya dengan menarikan srimpi secara ridak langsung kita pun seperti sedang berolahraga, sehingga dapat membuat tubuh sehat.
Tari Srimpi itu mendidik rasa wirama dan wiraga. Artinya berlatih tari srimpi akan mengolah kepekaan badan dan kepekaan irama.
Tari Srimpi memberikan ketertarikan pada rasa kesenian. Artinya tari srimpi mampu menghipnotis alam bawah sadar kita untuk turut serta menikmati keindahan dari tari srimpi tersebut.
Tari Srimpi memberikan pendidikan moral. Tari srimpi adalah tari yang sarat dengan pesan moral yang bermanfaat bagi seseorang yang mau mempelajari, memahami, dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam tari srimpi.
Tari Srimpi merupakan suatu alat untuk menolak kebudayaan Barat yang tidak sesuai dengan adat ketimuran. Tari srimpi salah merupakan pondasi karakter khas bangsa Indonesia.
Tari Srimpi merupakan pusaka indah dari leluhur yang disebut dengan cahaya-keadaban, yang wajib kita hidupkan, muliakan dan sebar luaskan.
Berdasarkan 7 sendi pokok yang telah dijabarkan oleh Ki Hadjar Dewantara dapat disimpulkan bahwa Tari Srimpi dapat memberikan pendidikan dan pembelajaran bagi kehidupan manusia. Tari Srimpi bukan hanya sekedar memberikan olah rasa dan olah raga akan tetapi tari tersebut mampu memberikan pendidikan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta.
Penjabaran nilai pendidikan yang dapat dipahami dan dipelajari dari tari Srimpi Pandelori :
a. Nilai religi merupakan cerminan dari ragam gerak sembahan sila panggung. Hal ini tercermin dari sikap ragam gerak yang ditampilkan, sembahan sila panggung merupakan gambaran dari kelemahan diri manusia, sekaligus pembuktian adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sembahan berarti menyembah, sebagai manusia yang beragama, sudah sepantasnya selalu meminta keberkahan kepada Tuhan, dan sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang dilimpahkan Tuhan kepada umat manusia.
b. Nilai Sopan Santun
Nilai sopan santun merupakan interpretasi dari ragam gerak sembahan sila panggung. Sembahan sila panggung selain mempunyai makna menyembah dan memohon doa
kepada Tuhan Yang Maha Esa juga mengandung makna penghormatan, yaitu penghormatan kepada Raja dan tamu undangan raja. Sembahan sila panggung merupakan salah satu bentuk sikap yang positif, yaitu sebagai manusia yang tergolong makhluk sosial sudah diwajibkan untuk saling menghormati satu dengan yang lainnya.
c. Nilai Tanggung Jawab
Nilai tanggung jawab merupakan interpretasi dari ragam gerak kengser tasikan. Tasikan sendiri berarti berdandan dalam bahasa Indonesia, namun apabilka ditilik lebih dalam lagi berdandan merupakan sebuah usaha merawat diri, memperbaiki diri. Hal tersebut merupakan tanggung
jawab manusia sebagai makhluk Tuhan untuk merawat, menjaga dan memperbaiki diri sebagai suatu bentuk kesyukuran nikmat yang telah dikaruniakan kepada manusi.
d. Nilai Etika
Nilai etika merupakan interpretasi dari ragam gerak ecen,aben sikut, dan sudukan. Pesan yang dapat diambil dari ketiga ragam tersebut adalah akan selalu ada sisi baik dan sisi jahat dalam diri manusia. Ragam gerak tersebut menunjukkan sebuah pilihan hidup manusia, yaitu baik dan buruk. Sebuah petunjuk untuk menjadi pribadi yang memberikan dampak positif atau dampak negatif bagi diri sendiri dan orang lain.
e. Nilai Kepribadian
Nilai kepribadian merupakan interpretasi dari ragam gerak nglayang. Ragam gerak nglayang memiliki pesan yang bermakna bahwa sebagai manusia hendaknya selalu meletakkan hati dekat dengan tanah, dalam hal ini mengandung maksud bahwa sebagai manusia harus mempunyai sifat rendah hati, supaya hati menjadi tenang dan terhindar dari segala penyakit hati, karena rendah hati merupakan cerminan dari pribadi yang sabar dan tawakal.
RAGAM GERAK
Ragam gerak tari Srimpi Pandelori terdiri dari beberapa macam ragam, dimana ragam tersebut terdapat ragam gerak yang mengandung makna atau yang sering disebut dengan istilah gerak maknawi, dan ragam gerak yang hanya menonjolkan nilai estetis saja atau yang disebut dengan gerak murni. Keseluruhan rangkaian ragam gerak tari Srimpi Pandelori terinspirasi dari kehidupan sehari-hari manusia, dari tingkah laku binatang, tumbuhan atau alam sekitar. Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tari Srimpi Pandelori memiliki dua jenis gerak, yaitu gerak maknawi dan gerak murni, maka dalam proses pemaknaan ragam gerak perlu adanya pisau analisis yang digunakan untuk membedah.
Analisis ragam gerak tari Srimpi Pandelori secara umum merupakan sebuah gambaran dari satu individu manusia, yaitu merupakan sebuah konflik internal antara sisi baik dan sisi buruk yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Tari Srimpi Pandelori seperti dua sisi mata uang, yaitu gambaran hitam dan putih manusia yang saling bertentangan, gejolak hati yang selalu dalam posisi dinamis, dan pertentangan nafsu manusia itu sendiri yang terkadang membawa dampak negatif dan positif.
Secara garis besar ragam gerak maknawi dalam tari Srimpi Pandelori terdapat dalam ragam gerak sembahan silo panggung, kengser tasikan, ulap-ulap, sudukan, aben sikut, ecen dan sembahan jengkeng. Dari ke tujuh ragam gerak tersebut mempunyai makna yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dan moral manusia. Berdasarkan makna yang telah dianalisis menggunakan teori semiotika Peirce, dihasilkan beberapa nilai pendidikan yang terdapat dalam ragam gerak tari Srimpi Pandelori yang disesuaikan dengan tata nilai budaya daerah Yogyakarta.
Rincian ragam gerak Srimpi Pandeori :
1. Sesembahan sila panggung
Badan tegak lurus, kaki bersila-sila . Kedua ibu jari di dekatkan dengan hidung,ujung jari-jari membentuk sudut 30 derajat dengan poros ibu jari. Pacak gulu dilakukan dengan kepala ditolehkan kea rah kiri kemudian kea rah kanan dan kembali ke tengah
2. Kengser tasikan
Tangan kiri ngruji menghadap ke atas tangan kanan mengusap wajah dengan posisi tanga nyempurit
3.Ulap-ulap
Posisi tangan kiri ngruji menghadap ke atas sambil nyenthok sampur dengaan ujung jari ke arah depan dan kemudian ujung jari berganti menghadap ke belakang
4. Sudukan
Tangan kiri ngruji nyiku tangan kanan menusukkan keris kea rah centhik
5. Ecen
Tangan kanan nglurus ngithing, tangan kiri nyiku ngruji, kemudian masing-masing penari saling endo (menghindar)
6. Aben Sikut
Tangan kanan memegang keris, tangan kiri berkacak pinggang
7. Nglayang
Posisi kaki jengkeng, kedua tangan nglurus ukel jugag, badan condong ke kanan belakang, kepala noleh ke lantai
8. Sembahan jengkeng
Penari dengan posisi jengkeng dan menyembah dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung
PROPERTI
Propery yang digunakan dalam Tari Srimpi Pandhelori ini adalah keris branggah putri. Yang memberdakan dengan kersi putra alus adalah pada ukuran keris. Keris Tari Srimpi ini dari sisi ukuran lebih kecil.
STRUKTUR TARI DAN POLA LANTAI
Pola penyajian tari srimpi Pandhelori dapat digolongkan kedalam tiga bagian, yaitu: awal, tengah, dan akhir. Apabila dikaitkan dengan siklus kehidupan manusia, maka pola penyajian tari srimpi menggambarkan hal seperti berikut ini:
a. Purwa (awal) - lahir
b. Madyo (tengah) – hidup
Setelah lahir ke dunia manusia menjalani kehidupannya (masa remaja hingga dewasa), yang penuh dengan tantangan dan godaan. Dalam fase ini manusia juga bertemu dan berinteraksi
c. Wusana (akhir) - mati
Setelah menjalani fase lahir dan menjalani kehidupannya di masa remaja hingga dewasa, manusia akan menjadi tua dan mati. Suka atau tidak semua manusia pasti akan sampai pada fase terakhir
Struktur Tari Srimpi Pandelori
Bagian Tari Srimpi Pandelori
Ragam Gerak
Gendhing
Bagian Awal
Kapang Kapang
Berjalan menuju tempat menari
Ladrang Gati
Sembahan sila panggung -ndhodhok-sendhi ngregem sampur
Gendhing Pandhelori digunakan sekaligus menjadi judul tarian ini.
Nggrudha 1 x seblak noleh-sendhi cathok sampur
Mayuk jinjit merupakan gerak murni yang fungsinya sebagai gerak penghubung
Nggurdha 3 x noleh-sendhi cathok sampur berhadapan
Ndawah kethuk 4
Bagian Tengah
Pucang kanginan 3 x-sendhi
Ladrang Sobrang Betawen
Lampah Sekar Tawing (pindah tempat)
Pendhapan
Pendhapan ini juga merupakan stilisasi gerak orang berjalan perlahan-lahan
Lembehan
Lembehan adalah gerakan tangan ketika orang berjalan.
Tinting pindah tempat diagonal
Gerakan seperti lari-lari kecil, lututnya merapat, tangan kiri tekuk lengkung njimpit
Kengser Tasikan
Gerakan ini menggambarkan Tasikan artinya memakai bedhak.
Duduk wuluh
Sendhi
Adalah gerak penghubung, antara gerak satu dengan lainnya
Kicat gajah ngoling-nyamber
Ulap-ulap cathok sampur
Pendhapan cathok sampur
Gerakan berjalan maju dengan pelan
Mayuk jinjit
Merupakan gerak penghubung
Perangan
Nglambung
Tangan kiri tekuk nyiku, ngruji, tangan kanan menusukkan keris ke arah lambung
Srepeg
Ecen oyak-oyakan
Tangan kanan nglurus ngithing, tangan kiri nyiku ngruji, kemudian masing
Kupu Tarung (aben sikut)
Tangan kanan memegang keris, tangan kiri berkacak pinggang. Gerakan mendorong lawan
Bagian Akhir
1. Kicat boyong
Gerakan bergeser ke samping kanan dan kiri, dengan gerak kaki kicat
Ayak-Ayak
Nggrudha jengkeng
Nglayang
Posisi kaki jengkeng, kedua tangan nglurus ukel jugag, badan diayunkan ke belakang,
Sembahan jengkeng
Melakukan gerak sembahan dalam posisi jengkeng.
Sembahan silo
Melakukan gerak sembahan seperti di awal tarian. Artinya setelah kita selesaiSembahan silo
Kapang-kapang masuk
Berjalan keluar dari arena pentas menuju tempat semula
Ladrang Gati
TATA RIAS DAN BUSANA
Tata rias terdiri dari :
1. Kain Parang
2. Baju/Rompi Bludru
3. Sampur motif Cinde
5. Slepe Kulitan
6. Kelat Bahu Kulitan
7. Kalung Susun Tiga Kulitan
8. Jamang Kulitan
9. Asesoris di kepala:
Sinyong (untuk rambut), Mentul 5buah, Bunga Ceplok Jebehan, Pelik, Ron, Jungkat, Gelang, Giwang/Sengkang, Godeg, Bulu-Bulu
Tata Rias Srimpi Pandelori menggunakan rias jahitan, dibuat sperti jahitan pada bagian mata sehingga terbntuk mata sipit. Model make up yang hanya muka yang dipenuhi bedak dengan tambahan llipstik dan celak, tanpa eyeshadow dan tambahan rias mata lainnya.
Rias tari srimpi Pandhelori memiliki ciri khas pada riasan bagian mata yaitu menggunakan model rias ‘jaitan’ seperti pada riasan mata penganten ‘Paes Ageng’ gaya Yogyakarta. ‘jaitan’ pada mata dibentuk menggunakan pensil alis warna coklat. Maknanya untuk memperjelas penglihatan supaya dapat membedakan baik dan buruk, yang kemudian dinalar sehingga dapat dijadikan pegangan yang kuat selama hidup. Makna tersebut tergambar pada jaitan mata yang berupa dua garis menuju ke pelipis (Widayanti, 2011: 247) Rias srimpi juga dilengkapi dengan godheg, terbuat dari kain beludru hitam yang dihiasi dengan payet berwarna emas, atau putih keperakan.
Bentuk godheg ini melengkung ke belakang, merupakan simbol asal-usul manusia. Dari mana dia berasal dan kemana dia akan kembali. Makna bentuk godheg yang melengkung ke belakang adalah, agar dapat kembali ke asalnya dengan sempurna maka manusia harus mampu membelakangi keduniawian (Wibowo, dkk, 1987:58 ; Rahayu dan Pamungkas, 2014: 13).
Pentingnya mempelajari tari srimpi dikemukakan oleh Dewantara (2013,304) sebagai berikut: serimpi adalah kesenian kita yang amat indah dan berasal dari bercampurnya ‘religie’ dan ‘kunst’ yakni rasa kebatinan-suci dan rasa keindahan. Dulu hanya boleh dipelajari oleh gadis-gadis keraton, dan tidak pernah dipelajari oleh sembarang orang. Gadis-gadis yang terhitung beradab diwajibkan mempelajarinya. Sedangkan manfaat mempelajari tari srimpi ada tujuh hal, yaitu: (1) Tari srimpi itu memiliki sifat pendidikan gerak badan dan rasa keindahan (pendidikan jasmani dan aesthetika) untuk gadis-gadis, berasal dari jaman dahulu, ketika belum ada teori pingitan (2) Tari srimpi itu bersifat sport, yang menghaluskan dan menyehatkan tubuh (3) Tari srimpi itu mendidik wirama, yakni mengekang diri, dan gerak wiraga, yakni kesusilaan (4) Tari srimpi itu menarik gadis kepada rasa kesenian (5) Tari srimpi itu menarik gadis kepada rasa kesucian (6) Tari srimpi itu suatu alat atau senjata untuk menolak sifat-sifat adat-istiadat yang kasar dari gadis-gadis kita, yang jadi korban pendidikan cara barat. Yaitu yang umumnya tidak dapat membedakan mana adat-istiadat yang baik, mana yang jelek dan jahat (7) Tari srimpi itu pusaka indah dari leluhur kita, yang terbilang suatu cahaya keadaban; oleh karenanya harus kita hidupkan, kita muliakan, dan kita sebarkan. Kita pelihara serta kita populerkan sehingga tidak akan mati, atau hidup tetapi di negeri lain
Berdasarkan ketujuh manfaat tersebut di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa dengan mempelajari tari srimpi selain menyehatkan badan, secara batiniah juga dapat melatih pengendalian diri, melatih sopan santun, dan bisa menjadi filter bagi adat-istiadat/kebiasaan yang datang dari luar dan tidak sesuai dengan peradaban kita. Berkaitan dengan hal ini, jelas bahwa tari srimpi yang penciptaannya dilatarbelakangi oleh nilai-nilai luhur dapat dimanfaatkan sebagai media pendidikan.
Memanfaatkan sebuah karya seni apapun itu sebagai media pendidikan merupakan sebuah keniscayaan, karena sumber penciptaan sebuah karya seni adalah kehidupan manusia berikut interaksinya dengan sesama, alam, maupun Sang Khalik. Seperti yang diungkapkan oleh Sayuti (KR 20 Mei 2014), karya seni pada dasarnya merupakan hasil penafsiran kehidupan yang dilakukan oleh para seniman melalui proses kreatif. Menciptakan sebuah karya seni bagi seniman pada hakikatnya sama dengan laku yang tak terpisahkan dari ngelmu, bukan ‘ilmu’. Hal itu sejalan dengan adagium ngelmu kalakone kanthi laku, yakni laku menafsirkan realitas kehidupan berikut penilaian terhadapnya. Bagi seniman proses kreatif ini juga merupakan ‘proses pembelajaran’. Oleh karena itu dalam karya seni dimungkinkan terdapat makna yang bersentuhan dengan cara merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran realitas personal dan sosio-kultural. Dijelaskan lebih lanjut oleh Sayuti bahwa karya seni yang baik tetaplah memiliki akar kehidupan yang jelas, yakni hidup dan kehidupan itu sendiri.
Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020