Gambuh Pedungan

Tahun
2020
Nomor Registrasi
202001187
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Bali
Responsive image
1. Sejarah Gambuh Pedungan Gambuh sebagai dramatari diperkirakan telah ada sejak jaman pemerintahan Raja Waturenggong di Gelgel, Klungkung. Mula-mula gambuh lahir sebagai pertunjukkan istana. Bahkan ada petunjuk lebih awal, bahwa gambuh sudah muncul saat kraton penguasa baru di Samprangan selesai. Teks Babad Dalem misalnya memberi informasi singkat “…puput kadaton ring Samprangan, kadatwanira Dalem Wawu Rauh, wangun Gambuh para aryeng Majapahit…” Artinya, setelah usai pembangunan kraton di Samprangan (Gianyar), yang merupakan penguasa baru, para arya Majapahit membentuk sebuah gambuh, tahunnya sunia buta segara bumi (?aka 1350 atau 1428 Masehi). Perkembangan kemudian gambuh hadir sebagai kesenian upacara. Maria Cristina Formaggia, dalam bukunya berjudul: Gambuh, Drama Tari Bali menyatakan kebanyakan istana abad XIX memiliki bangsal khusus yang disebut Bale Pagambuhan. Bangsal-bangsal ini menempatkan gambuh pada pusat kehidupan umum istana, di mana rakyat bisa melakukan kewajiban ritual dan menyiapkan diri sebagai prajurit untuk raja mereka, dan tempat kedudukan raja mengatur kerajaan (2000:21). Julius Jacobs, dalam laporannya bertajuk Eenigen Tojd onder de Balier, eene Reisbechrijving Batavia (1883) menyatakan hingga akhir abad XIX gambuh masih merupakan tontonan penting di Bali yang dimiliki hampir semua istana pada jaman itu. Adanya bangunan Bale Pagambuhan di setiap kraton atau puri menjadi bukti bahwa seni pertunjukkan ini mendapat tempat begitu terhormat di kalangan istana-istana di Bali. Baru setelah istana-istana runtuh, kerajaan-kerajaan hancur, gambuh berkembang kemudian di masyarakat, tersebar ke desa-desa seantero Bali, dan bertahan hidup hingga kini. Namun kemudian, setelah lima abad itu, di Pura Puseh Pedungan, gambuh memang menjadi satu-satunya masih diwarisi hingga sekarang di Kota Denpasar. Sudah sekian lama dramatari kuna ini bertahan. Tak tertuliskan, entah sudah beberapa kali gambuh di Pedungan beralih generasi. Tak ada catatan pasti, sejak kapan gambuh di Pedungan mulai dirintis. Menurut mendiang I Gede Geruh, maestro penari gambuh di Pedungan, soal kapan munculnya dramatari gambuh di Pedungan, ia cuma bisa memberi perkiraan. Katanya, Gambuh di Pedungan sudah ada sejak tahun 1836. Informasi ini didapatkan dari sang kakek sendiri, bahwa dulu kakek dan kawan-kawannya pernah menjadi penari gambuh Puri Pamecutan. Bersamaan dengan itu berdiri pula Sekaa Gambuh di Banjar Sesetan. Sebagian penari berasal dari Sekaa Gambuh Puri Denpasar. Buku berjudul Deskripsi Tari Gambuh di Kabupaten Badung (1991), bahwa bertahannya gambuh di Pedungan sampai kini tak luput dari peran puri. Pada saat perang Puputan Badung, seorang putra Raja Denpasar dibuang ke Lombok oleh Belanda. Setelah dewasa ia dipulangkan, lalu diangkat menjadi Regen Denpasar. Putra raja ini menaruh perhatian besar terhadap gambuh di Pedungan, bahkan salah satu istrinya berasal dari Pedungan. Maka putra raja ini banyak memberi dorongan serta fasilitas, diantaranya menyumbang balai tempat latihan. Sejak terjalin hubungan baik dengan gambuh Pedungan dengan Puri Satria, sejak itu pula setiap ada kegiatan upacara di Puri Satria, gambuh Pedungan pasti diikutkan ngayah. Lalu raja mengukuhkan desa itu sebagai pusat gambuh, yang saban hari senantiasa siap menari ke puri, mengabdi pada raja. Dari sanalah diperkirakan seni tari dengan musik khas itu terus mengalir, hingga di fajar abad ke-21. Bila berpatokan dari catatan angka tahun yang diberikan Bapa Geruh, bahwa gambuh di Pedungan sudah ada sejak tahun 1836, itu berarti usia gambuh di Pedungan telah mencapai kurang lebih 182 tahun. Sungguh perjalanan amat panjang dan gambuh Pedungan layak dihargai sebagai benteng tangguh pelestari tari gambuh. Terlepas dari penuturan serta perkiraan para tokoh di Desa Pedungan, Jro Mangku Wayan Swandi (59 Th), pamangku ageng Pura Puseh, Desa Pedungan memberi pandangan tersendiri, bahwa perkembangan gambuh di Pedungan berasal-usul dari perjalanan leluhurnya dari Desa Tegalalang, Gianyar yang kelak kemudian menetap di Desa Pedungan. Konon sebagaimana diceritakan sang kakek, kedatangan leluhur dari Tegalalang teriring serta "Batara Taksu" dari Pura Dalem Panca Pandawa Tegalalang. Sang kakek, Jro Mangku Degeng adalah seorang pragina dan undagi serba bisa. Orang-orang di Pedungan kerap mengagumi sang kakek sebagai "bungkak makocok", artinya orang muda yang memiliki kemampuan dan pengetahuan di luar rata-rata orang biasa, termasuk pengetahuan yang bersifat rahasia. Begitu menetap di Desa Pedungan, leluhur Mangku Swandi seijin Raja Badung ketika itu membangun sebuah pura, belakangan dikenal dengan nama Pura Puseh yang dulu disungsung keluarganya. Sejak awal memang bernama Pura Puseh. Atas kesepakatan keluarga dan desa, Pura ini kemudian dijadikan Pura Puseh Desa Pedungan. Mengenai cikal bakal gambuh di Pedungan, menurut cerita Mangku Swandi dirintis oleh sang kakek sendiri. Setelah Pura Puseh dibangun, guna meneguhkan keyakinan, sang kakek lalu menstanakan taksu berupa anugerah dari Pura Dalem Panca Pendawa itu di Pura Puseh Pedungan. Menurut Jro Mangku Swandi, arca yang distanakan sebagai simbol Batara Taksu itu berbahan kayu, berwujud tokoh Panji. Arca ini kemudian dimuliakan dengan sebutan Ratu Made. Berharap keluarga selamat di tempat baru, dilimpahi rezeki dan kesehatan. Tahun 1967, di jaman Gubernur Soekarmen, Geruh dan Lemping berjasa besar mengantar gambuh Pedungan mencapai puncak kejayaan. Geruh mengembalikan pamor gambuh yang pada jaman penjajahan Belanda maupun Jepang hampir pudar. Di Denpasar, gambuh Pedungan-lah yang paling klasik gerakan tarinya. Perintis dan penerusnya memang tidak mau melakukan perubahan, atau meniru begitu saja reportoar gambuh dari desa lain. Para penerus tradisi itu tetap bertahan pada pakem yang diwarisi, kendati diakui sungguh betapa sulit mempertahankan keaslian itu. Dari jaman ke jaman, dari generasi ke generasi, seperti ada energi terus mengalir di Pedungan. Gambuh tetap menjadi bagian keseharian warga. Ia selalu hadir, kendati banyak orang harus was-was bahwa gambuh itu akan hilang ditelan jaman. Tetapi syukurnya selalu ada generasi yang lahir terpilih membawa taksu gambuh kembali. 2. Bentuk Pertunjukan Gambuh Pedungan Di Desa Pedungan, tepatnya di Banjar Puseh dan Banjar Menesa, gambuh tidak dipentaskan setiap hari. Alasannya, di Pedungan gambuh sangat disakralkan. Namun demikian, selalu ada perkecualian untuk gambuh ini. Bila ada permintaan dari desa tetangga misalnya, dimohon masolah pada odalan di Pura tertentu, atau dimohon hadir (dipendak) sebagai pertunjukan wali (tarian upacara) dalam upacara-upacara khusus di desa-desa atau di pura-pura tertentu di seputar Denpasar. Yang rutin berjalan di Pedungan, setiap odalan di Pura Puseh Pedungan, tepatnya saat hari suci Tumpek Wayang (setiap 6 bulan sekali) gambuh selalu digelar sebagai pertunjukkan sakral upacara odalan di Pura Puseh Pedungan. Biasanya tiga hari setelah odalan di Pura Puseh Pedungan berjalan gambuh kemudian dipentaskan sebagai renteten upacara di Pura Puseh. Namun demikian, seluruh gelung atau mahkota gambuh itu dituur (dimohon turun) untuk dilinggihkan (distanakan) pada saat piodalan pula. Prosesi ini kerap disebut sebagai prosesi nglinggihang (menstanakan) Bhatara Taksu. Baru kemudian, setelah tiga hari piodalan di Pura Puseh berjalan, gambuh di Pedungan dipentaskan secara khusus. Para penari, tua dan muda datang. Pertama-tama mereka memohon supaya pegelaran benar-benar diberkahi Bathara-Bathari di Pura Puseh. Para pragina, penabuh memohon kehadapan Bhatara Taksu supaya mereka selalu dalam tuntunan dewa penguasa keindahan. Musik iringan gamelan pagambuhan merupakan seperangkat gamelan untuk mengiringi dramatari gambuh yang memiliki isntrumen dengan jumlah terbanyak dari jenis-jenis gamelan untuk iringan tari-tarian Bali. Sebagaimana dijabarkan Prof. Dr. I Wayan Dibia (1999), instrumen dari gamelan gambuh terdiri dari: beberapa buah suling besar, satu atau dua buah rebab, sepasang kendang kecil, sebuah kempur, kajar, klenang, kenyir, sepasang gumanak, sepangkon ricik, satungguh kangsi, dan sebuah gentorang. Adapun gending-gending yang dimainkan antara lain: Tabuh Gari (untuk pembukaan), Subandar (untuk mengiringi condong), Sumambang (untuk Kakan-kakan dan putri), Sekar Gadung (untuk iringan Arya), Bapang Gede (untuk iringan Demang dan Tumenggung), Sumerdasa, Lengker, Bapang Selisir (untuk Panji), Bapang (untuk Penasar), Biakalang (untuk Prabu), dan Bebatelan (untuk mengiringi adegan perang). Mengenai gerak penari ketika dipentaskan pada setiap tokoh memiliki gerakan yang sangat khas, sesuai karakter atau perwatakan tokoh bersangkutan seperti: - Mungkah Lawang: gerakan tari membuka langse (tabir) sebagai awal dari suatu tarian. Gerakan ini juga merupakan penanda bila pun panggung pegelaran tanpa menyertakan langse. - Ngeseh: gerakan sendi untuk mengubungkan agem kanan ke agem kiri. - Nayog: gerakan berjalan disertai ayunan tangan yang difokuskan pada siku, dengan arah gerakan datar ke samping, kanan dan kiri secara bergantian baik lengan kiri maupun lengan kanan. - Nyambir: gerakan membawa saput dengan mengambil ujung sisi bawah saput sebelah kanan dengan tangan kiri dan tangan kanan jarak datar kurang-lebih 30 cm diangkat bersama-sama setinggi dada. - Milpil: langkah kaki dimana volume gerakannya dibuat lebih kecil dan ketat sesuai karakter tokoh. - Tayung Ngotes: gerakan berjalan ke depan atau dengan cepat disertai ayunan kedua lengan sirama pijakan kaki. - Gulu Wangsul: gerakan yang difokuskan pada leher dengan menggeser seluruh bagian muka ke kanan maupun ke kiri sesuai tempo gamelan (musik) pengiring. - Ulap-Ulap: gerakan kedua tangan yang dilambaikan ke depan muka seperti orang melihat sesuatu yang jauh. - Tetanganan: gerakan tangan yang dilakukan pada saat terjadinya dialog sebagai gerakan isyarat. - Nabdab Karna: gerakan tangan dengan menyentuh telinga bagian atas sesuai watak tari. - Nabdab Gelung: gerakan satu atau kedua tangan meraba hiasan kepala atau mahkota sesuai watak atau karakter. - Buta Ngawasari: merupakan posisi berdiri, bertumpu pada kaki kiri yang ditekuk, sehingga badan sedikit merendah, sedangkan kaki kanan diangkat setinggi lutut dan tangan kanan berada diatasnya. Sementara tangan kiri berada di atas kepala. - Sledet Capung: gerakan menoleh ke kanan maupun ke kiri dimana mata dan muka selalu seiring, sehingga tercipta kekhasan gerak. - Gelatik Nuut Papah: gerakan yang meniru gerakan burung gelatik tengah melompat-lompat di pelepah pohon kelapa. - Ngalih Pajeng: gerakan mencari payung atau pajeng yang ada di sebuah stage atau kalangan. Mengenai struktur pertunjukan diawali dengan sajian tabuh pategak, diantar dengan iringan tabuh Gari. Bagian kedua, merupakan inti dari pegelaran, yang juga dibagi menjadi empat adegan utama, meliputi papeson putri, papeson panji, papeson prabu, dan pasiat. Bagian ketiga, lazim disebut panyuud, dimana seluruh rangkaian dramatik dari lakon yang dipentaskan telah usai. Artinya pegelaran gambuh telah berakhir, ditandai dengan seluruh pemain atau pragina berkumpul, berjejer di stage atau kalangan. Struktur pertunjukan tersebut dibagi menjadi beberapa adegan seperti: Adegan Panji - Kade-kadean keluar menari diiringi dengan gending Lengker Gede. Terakhir Kade-kadean nikeh (duduk) di panggung depan. - Panji keluar dengan tari ngugal (gending Semarandana) diiringi Semar dan Turas. - Patangkilan Kade-kadean, kemudian dilanjutkan dengan adegan-adengan sesuai dengan lakon yang dipentaskan. Terakhir semua masuk. Adegan Prabu Keras - Demang dan Tumenggung keluar menari diiringi gending Bapang Gede. - Patih Manis keluar menghadap Demang dan Tumenggung kemudian masuk. Demang dan Tumenggung melanjutkan tariannya, kemudian duduk di panggung depan. - Arya Keluar menari diiringi gending Sekar Gadung. Terakhir Arya duduk di panggung depan. - Patih Manis menari dengan tarian ngugal (gending Tunjur). Terakhir duduk di panggung depan. - Prabu keras keluar dengan tari ngugal (gending Godek Miring atau Jaran Sirig) diiringi Semar dan Turas. Patih manis bangun mengadap Prabu keras. - Patangkilan Patih manis, Arya dan Demang Tumenggung, dilanjutkan dengan adengan-adegan seperti pertemuan, pasiat (peperangan) sesuai lakon yang dipentaskan. Adegan Prabu Manis Pepesonnya sama dengan adegan Panji (gending disesuaikan menurut tokoh yang dibawakan, diiringi Semar dan Turas. Sedangkan adegan yang mempergunakan tokoh Angga Dibya hanya keluar dengan nekin. Adegan Prabangsa - Jebung keluar menari dengan dua orang Potet diiringi gending Biakalang. Prabangsa keluar menari dengan tari ngugal diiringi dua orang Potet yang lain. Terakhir semua masuk. - Adegan berikutnya disesuaikan dengan lakon yang dipergunakan. 3. Tata Rias, Busana dan Properti Tata Rias Teknik tata rias ini dapat menentukan karakter dan penokohan dengan mempertajam karakter penari yang sesuai dengan karakternya. Bahan rias wajah (make up) sekarang sudah mengalami perubahan, yaitu dulunya menghitamkan alis digunakan bahan yang terbuat dari mangsi, sekarang sudah digunakan pensil alis yang sudah sangat mudah didapatkan di toko-toko make up. Tata rias muka putri halus dan putra keras (condong dan kakan-kakan) sekarang tidak lagi memperhatikan rias karakter, yang bisa dibedakan sekarang dari busana yang digunakan, misalnya condong memakai kain bawahan (kamen) berwarna merah, untuk kakan-kakan kain bawah berwarna hijau, sedangkan putri halus (sekartaji) kain bawahan berwarna biru. Busana Busana yang digunakan para penari, seperti tokoh putri maupun tokoh putra memiliki perbedaan pada gelungan (hiasan kepala) sesuai dengan tokoh dan karakternya. Berikut diuraikan jenis busana dalam Gambuh Pedungan ini, yaitu: - Baju putih lengan panjang. - Kain prada mekancut. - Sabuk stagen. - Lamak prada. - Tutup dada beludru masulam. - Badong beludru masulam. - Oncer prada. - Gelang kana dari beludru mesulam. - Gelang kana dari kulit maprada. - Ampok-ampok kulit maprada. - Gelungan pepudakan. - Keris. Hiasan kepala (gelungan) yang digunakan juga berbeda-beda sesuai dengan penokohan yang diuraikan sebagai berikut: - Gelungan Raja (prabu) berwarna merah. - Gelungan Panji berwarna hitam. - Gelungan Tumenggung berwarna coklat. - Gelungan Putri Halus. - Gelungan Putri Keras. - Gelungan Arya. Properti Properti yang digunakan dalam Gambuh Pedungan disesuaikan dengan cerita yang dipertunjukkan, seperti dalam lakon atau cerita Ki Dalang Anteban yang di dalamnya menggunaan properti kuda-kudaan sebagai kendaraan Prabu (Raja). Mengenai properti lainnya seperti keris itu merupakan sebuah properti yang menjadi satu kesatuan dengan busana penari putra, baik keras maupun halus. 4. Musik Iringan Iringan yang digunakan dalam pementasan Gambuh Pedungan disebut dengan Pegambuhan yang instrument dan reperator gending iringannya dijelaskan sebagai berikut: - Enam buah Suling Gambuh. - Dua buah Rebab. - Satu buah Kempur. - Satu buah Kajar. - Satu buah Kelenang. - Satu buah Kenyir. - Dua buah Gumanak. - Dua buah Kendang (lanang dan wadon). - Satu buah Rincik. - Satu buah Gentorang. Mengenai reperator gending yang digunakan oleh Gambuh Pedungan sudah sebanyak 25 gending, adapun nama-namanya seperti: - Perong Condong Subandar untuk iringan adegan Condong. - Sumambang Putri untuk iringan putri. - Sekar Gadung untuk iringan Arya. - Tunjur untuk iringan Patih Manis. - Brahmara untuk iringan Prabu Melayu. - Biakalang untuk iringan Prabangsa. - Semeradas untuk iringan Panji. - Lasem untuk iringan Prabu Lasem. - Lengker Gede untuk iringan Kade-kadean. - Jaran Sirig untuk iringan Prabu Keras. - Bambang Selukat untuk iringan roman dan aras-aras. - Dagang untuk iringan dagang. - Suduk Baru/Tangisan untuk iringan tarian tangis/sedih. - Lengker Cenik untuk iringan perjalanan Panji. - Godeg Miring untuk iringan Prabu Keras. - Bapang Gede untuk iringan Demang dan Tumenggung. - Gadung Melati untuk iringan Sri Ajin Melayu. - Rerangsangan untuk iringan Prabu Keras Nekin. - Tabuh Gari untuk gending petegak. - Pengecet Sekar Eled untuk gending petegak. - Semambang Bali untuk gending petegak. - Pengecet Pengarip-arip untuk gending petegak. - Pengecet Anuan untuk gending petegak. - Langsing Tuban untuk gending petegak. - Batel untuk gending petegak. 5. Sesaji dalam Upacara dan Pementasan Gambuh Pedungan Sesaji dalam pementasan Gambuh Pedungan dapat dikaitkan dengan proses upacara yang biasa masyarakat laksanakan, yaitu upacara biasa (setiap enam bulan sekali) tepatnya pada hari sabtu tumpek wayang dan upacara besar/nadi (setiap satu tahun sekali) yang juga jatuh pada hari sabtu tumpek wayang. Sesaji yang digunakan ketika upacara biasa setiap enam bulan sekali adalah udel kuren, sedangkan jika upacara besar/nadi menggunakan sesaji caru panca sata megodel. 6. Fungsi dan Nilai Sosial Gambuh Pedungan di Masyarakat Kehadiran dramatari gambuh di Pedungan memiliki fungsi baik dalam konteks sosial maupun dalam konteks religius. Secara sosial gambuh di Pedungan menjadi sendi-sendi penguat kehidupan masyarakat. Kehadiran gambuh mengikat masyarakat untuk senantiasa bersatu, ikut mengambil tanggung jawab bersama dalam urusan-urusan bersama kehidupan di desa. gambuhlah yang memperkuat keyakinan masyarakat untuk bersatu padu mengambil tanggung jawab sosial, dalam kehidupan bersama, dalam suka-duka hidup berdesa. Gambuh pula memperkuat rasa persaudaran, yang diikat dalam tata krama kehidupan desa. Gambuh menitipkan tanggung jawab tradisi pada generasi di Pedungan, bahwa apa yang mereka warisi kini harus dirawat, dilestarikan dengan penuh tanggung jawab. Ini adalah sebentuk tanggung jawab kultural, penopang hidup kebudayaan dan kesenian mereka, penopang persatuan dan persaudaraan mereka. Orang-orang di Pedungan memahami gambuh sebagai "tunggul desa", artinya monumen makna yang selalu memanggil mereka untuk tetap bersaudara, memuja dewa-dewa serta melakukan kewajiban hidup sehari-hari, merawat kebudayaan dan kesenian desa. Namun adakalanya gambuh di Pedungan memberi keyakinan dan daya hidup baru bagi masyarakat yang kebetulan ditimpa kemalangan, rasa sakit, dan penderitaan. Misalnya selalu ada yang dipulihkan keyakinannya, dipulihkan kekuatan jiwanya, dijauhkan dari rasa sakit setelah orang-orang di Pedungan dengan segenap keyakinan dipulihkan kesehatan mereka, dipulihkan kekuatan jiwa mereka berkat "sesangi" atau kaul yang ditujukan pada Batara Taksu Ratu Made di Pura Puseh Pedungan. Memang setelah mereka sembuh atau pulih dari penyakit orang-orang di Pedungan tak lupa membayar kaul itu dengan menggelar pegelaran dramatari gambuh. Inilah yang membuat gambuh di Pedungan terus hidup, karena diyakini masyarakat di Pedungan memberi nyala baru bagi masyarakat yang ditimpa keletihan, penyakit, keterpurukan, dan lain-lain. Itulah makna sesungguhnya dramatari gambuh bagi masyarakat di Desa Pedungan. Kendati kehidupan mereka tidak lagi dalam kultur masyarakat agraris, gambuh tetap menyambungkan tali batin masyarakat untuk senantiasa ingat pada Sang Maha Pencipta.

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Komunitas Karya Budaya

Sekaa Gambuh Dwi Tunggal Banjar Puseh – Menesa Pedungan

Jl. Pulau Bungin, No 8, Banjar Puseh, Desa Adat Pedungan, Kelurahan Pedungan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali

088219300380

-

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

Maestro Karya Budaya

I Wayan Suwendi

Jl. Pulau Bungin, GG Merdeka No. 5, Br. Puseh, Kelurahan Pedungan, Denpasar – Bali

085237852603

mangkubali870@gmail.com

I Kadek Agus Dwi Sudiartha, M.Sn

Jl. Pulau Bungin No.1, Br Menesa, Kelurahan Pedungan Denpasar – Bali

081805383880

agusdwisudiartha@yahoo.com

I Made Kari

Jl. P. Bungin, Gg. Damai No. 5 Pedungan, Denpasar - Bali

081993169002

imadekari123@gmail.com

Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020
   Disetujui Oleh Mochtar Hidayat Pada Tanggal 15-12-2020

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047