WAYANG OTHOK OBROL

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101293
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Jawa Tengah
Responsive image

WAYANG KULIT

OTHOK OBROL

 

Tim Riset

Pengajuan Warisan Budaya Tak Benda

Kabupaten Wonosobo

 

Dalam beberapa dialek bahasa Jawa, frasa uthuk ubrul (/uʈʊʔ ub̯rʊl/) banyak digunakan untuk menggambarkan keadaan yang terkesan ‘seadanya’, ‘kurang serius’, atau ‘improvisatif’. Kosakata lain yang senada, nggedabrul, muncul dalam kamus lama Baoesastra Djawa, yang bermakna ‘omong-omongan sinambi gegojègan’ (Poerwadarminta, 1939), serupa dengan kata obrol dalam Bahasa Indonesia. Boleh jadi, baik kata gedabrul, ubrul, maupun obrol, sepakat pada makna ‘ketidakseriusan’ ini, atau lebih eloknya: ‘kesederhanaan’.

Ada pula yang mengatakan bahwa istilah ubrul bersifat onomatopoeic (tiruan bunyi), seperti termuat dalam Platenalbums yang disusun oleh Ir. Moens, dkk. Di dalamnya, tercantum kesenian “barangan topeng moenjoek (gongsa oṭoek, obroel)” dan “barangan ringgit kempoel tiga oetawi noek, obroel”, dengan penjelasan “… sabab soewantening gongsa namoeng kapireng noek kalijan broel.” (Moens, 1930). Teori ini diamini oleh Yohanes Wagiyo dalam skripsinya (1991), dengan kata ‘thuk’ mewakili bunyi instrumen kethuk, dan ‘brul’ mewakili bunyi kempul.

Di berbagai tempat, kata uthuk ubrul (atau variannya: uthuk ubruk, othok obrol) diadopsi sebagai nama gamelan sepangkon yang ricikan-nya dipandang kurang lengkap untuk mengiringi kesenian tertentu. Di Rembang dan Ngawi, terdapat tarian Orèk-orèk yang diiringi gamelan Thuk Brul (Gathuk Gabrul). Dari dunia pewayangan, dikenal pula gamelan Uthuk Ubruk (6 ricikan) di Kebumen, Uthuk Ubrul (7 ricikan) di Magelang (Kunst, 1973), dan Othok Obrol di Wonosobo. Ketiganya memiliki kesamaan berupa fungsi iringan wayang, berlaras Sléndro, serta tanpa ricikan melodis rebab dan celempung/siter. Bahkan, Wayang Othok Obrol di Wonosobo tidak dilengkapi waranggana maupun gérong.

Di Wonosobo, kesenian Wayang Othok Obrol /oʈok̬ob̯rol/ dapat dijumpai di Selokromo, Kec. Leksono. Menurut buku Deskripsi Kesenian Wayang Obrol yang dihimpun oleh Paguyuban Penilik Kebudayaan Kabupaten Wonosobo, kesenian ini berkembang sejak era Sultan Agung di Mataram, dengan dalang Ki Ganda Wiradipa dari Traji (Parakan, Temanggung) sebagai cikal bakalnya. Alur pewarisan kesenian ini tercatat dengan baik hingga Ki Niya Karta Suganda (generasi kelima). Putra angkat Ki Niya, Ki Makim Kartosudarmo, turut mempelajari seni pedhalangan ini dari paman Ki Niya, Ki Arja Pawira.

Berdasarkan cerita turun-temurun, peraga wayang ini lahir secara ajaib di hadapan Sultan Agung di Mataram, ketika Ki Ganda Wiradipa memukul selembar kulit perkamen dengan tongkat gadingnya. Kulit perkamen tersebut pecah berkeping-keping, kemudian berubah menjadi sekotak peraga wayang (130 buah). Peraga inilah yang diyakini menjadi dasar bentuk wayang yang digunakan dalam kesenian Othok Obrol, yakni wayang Kedu. Jika dilihat fisiknya, wayang ini berbeda dari gaya Surakartan dan Ngayogyan, yakni memiliki dedeg yang sedang namun gemuk, serta wayang luruhan-nya memiliki wajah (praèn) yang sangat menunduk. Semua diwarnai dengan pigmen alami, seperti gerusan tulang, jelaga, biji gendhulak, dan sebagainya. Sunggingan byor-nya menggunakan sedikit gradasi warna, sehingga terkesan sederhana.

Sebagai varian dari pakeliran gaya Kedu Wanasaban, iringan Wayang Othok Obrol memiliki ciri gendhing bergaya Kedu, dengan saron yang dimainkan bersahutan (imbal) satu sama lain, khas Wanasaban. Selain itu, denting keprak-nya juga beradu dengan instrumen yang kini jarang ditemui pada gaya lain, yaitu ke(n)cèr. Tak ayal, iringan gamelannya terkesan ramai dan gagah. Beberapa gendingnya bahkan bernama Othok Obrol, menandakan penggunaan yang sifatnya spesifik.

Dalam adegan yang sifatnya khidmat, absennya rebab dan siter membuat komposisi lirihan-nya didominasi instrumen gendèr. Uniknya, alih-alih menggunakan gendèr barung, yang digunakan adalah gendèr panembung (slenthem) dengan teknik glenukan warisan Ki Ganda Wiragaru, putra Ki Wiradipa. Konon, penyederhanaan ini berawal saat Ki Wiragaru merekrut niyaga dari kalangan yang tak terbiasa menabuh gamelan: kaum petani. Perpaduan antara wayang kulit dengan keawaman penabuh inilah yang melahirkan Othok Obrol, genre yang terkesan kurang serius, penuh ‘obrol’, namun tetap nikmat dalam keterbatasannya.

Seperti halnya Wayang Purwa, Wayang Othok Obrol membawakan kisah dari Mahabarata dan Ramayana, serta beberapa lakon carangan seperti Murti Serat, Raja Kèngsi, Andhaliretna, atau judul yang cukup catchy seperti Semar Supit dan Semar Cukur. Wayang Othok Obrol pun memiliki satu tokoh yang tidak dijumpai di gagrag lain, yakni Puthut Mégajéndra. Tokoh ini merupakan murid dari Begawan Abiyasa (kakek para Pandhawa), yang divisualisasikan menggunakan peraga wayang Gathutkaca (putra Bima). Mégajéndra memiliki watak kesatria dan kesaktian yang serupa dengan tokoh Gathutkaca, semisal, kemampuan untuk terbang. Meskipun demikian, penonton tetap dapat membedakan tokoh ini dari Gathutkaca, sebab sebagai murid kinasih dari Abiyasa, para Pandhawa memanggil Megajéndra dengan sebutan kaki/éyang (‘kakek’). Berikut adalah percakapan antara Wrekudara (tokoh yang ada di berbagai gagrak), dengan Puthut Megajendra (tokoh yang hanya ada di wayang Obrol).

Puthut Megajendra ndangu marang Radèn Wrekudara. "Kulup Nggèr Wrekudara?" Wrekudara tumuli wangsulan, "waaa, apa, Eyang?"

Dengan lakon yang merakyat, ringan, namun sarat makna, Wayang Othok Obrol pernah sangat populer di Wonosobo. Terlebih, biaya operasionalnya cukup terjangkau, karena hanya membutuhkan satu dalang dan delapan niyaga, tanpa sinden. Tujuan pementasannya pun dapat bermacam-macam, seperti hajatan, merti désa, atau ruwatan. Dalam acara ruwatan, terdapat beberapa mantera dan laku khusus. Ki Makim sendiri disebut-sebut sebagai dalang yang dapat meruwat sukerta, keistimewaan yang tak semua dalang memilikinya.

Jika ditarik garis penghubung, terlihat bahwa penyematan nama Othok Obrol ini tak terlepas dari nilai kesederhanaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Nilai yang diwariskan sejak masa klasik ini tak hanya tersemat pada sisi penamaan instrumennya, namun juga segi aransemen, personil, hingga lakon yang ditampilkan. Di sisi lain, nilai ini pulalah yang seringkali dianggap membatasi popularitas Wayang Obrol di tengah perkembangan zaman. Buku Deskripsi Kesenian Wayang Obrol menyebut, popularitas kesenian ini meredup seiring membanjirnya media elektronik di era modern. Tak hanya budaya pop, media seperti radio tape dan televisi juga mendongkrak popularitas gagrag lain yang lebih inovatif. Sebaliknya, Wayang Othok Obrol dinilai terlalu kaku, tidak mampu menyesuaikan tuntutan zaman, sehingga perlahan kehilangan pasarnya. Yang menyedihkan, warisan pedalangan yang telah bertahan enam generasi ini terancam tidak ada penerusnya, sebab calon dalang Othok Obrol harus menghadapi godaan gagrag lain yang lebih populer.

Maka, agar transmisi pengetahuannya tidak terputus, serangkaian program telah dijalankan oleh masyarakat Selokromo bersama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo, sebagai langkah perlindungan dan revitalisasi Wayang Othok Obrol. Selain penulisan buku Deskripsi Kesenian Wayang Obrol bersama PEPADI Wonosobo, ada pula pelatihan Wayang Othok Obrol kepada generasi muda yang diinisiasi oleh masyarakat, Disparbud Wonosobo, dan Balai Bahasa Jawa Tengah. Hal ini diharapkan dapat merangsang kreativitas masyarakat untuk mengembangkan Wayang Othok Obrol, serta menambah nilai saing tanpa harus meninggalkan pakem yang sudah ada.


Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Jatayu

Banyumas Km. 10 Selokromo, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah

085328629700

-

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

Maestro Karya Budaya

Makim Kartosudarmo

Banyumas Km. 10 Selokromo, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah

085328629700

-

Mistur

Banyumas Km. 10 Selokromo, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah

085328629700

-

Sunarto

Banyumas Km. 10 Selokromo, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah

085328629700

-

Harmanto

Banyumas Km. 10 Selokromo, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah

081338971952

-

Subandi

Banyumas Km. 10 Selokromo, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah

085228370761

-

Sajudi

Banyumas Km. 10 Selokromo, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah

082325525304

-

Winarni Widayat

Banyumas Km. 10 Selokromo, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah

08112713500

naniek.widayat12@gmail.com

Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022
   Disetujui Oleh Shakti Adhima Putra Pada Tanggal 19-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047