Upacara Adat Gumbregan

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101276
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image

Upacara gumbregan hingga saat ini masih dilakukan oleh masyarakat di Wilayah Kabupaten Gunung Kidul, misalnya di wilayah Ponjong, Tepus, dan Harjobinangun. Masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul yang masih banyak melakukan upacara gumbregan mempunyai perhatian terhadap binatang ternak peliharaannya. Dalam kajian kearifan tradisional dalam kaitannya dengan lingkungannya Sumintarsih dan Christriariyati mengutarakan, ternak piaraan yang mendapat perhatian lebih banyak oleh petani adalah sapi dan kambing. Sapi dan kambing memiliki banyak kegunaan bagi petani, maka tidak mengherankan bila dalam pemeliharaannya hewan ternak tersebut tidak hanya diberi makan rumput dan dedaunan, tetapi juga dijaga secar mistik, yaitu disajeni (diberi sesaji) atau dislameti (dibuatkan selamatan). Sapi yang telah membantu petani dalam pekerjaan pertanian, diperlakukan layaknya seorang anggauta keluarga. Pada saat sapi melahirkan (khususnya bila lahir sapi jantan) petani membuat bancakan. Pada saat sepasaran (lima hari setelah kelahiran) petani membuat jadah tetel sakdangan (4 kilogram). Kalau lahir sapi betina tidak dibancaki, karena sapi jantan lebih menpunuyai nilai jual tinggi daripada sapi betina. Bahkan di desa lain ada upacara gumbreg, sebagai bentuk manifestasi rasa terimakasih petani kepada sapinya yang telah membantu petani dalam mengolah pertanian. Dalam pelaksanaanya upacara adat gumbregan menggunakan wuku (pawukon), karena gumbreg merupakan satu wuku di antara 30 wuku dalam konsep kehidupan masyarakat Jawa.

Selama memasuki masa gumbreg, penduduk di wilayah Desa Hargosari Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Gunung Kidul melakukan ritual gumbreg-an untuk kelangsungan hidup ternak yang dipelihara, utamanya ternak sapi. Masyarakat di Gunung Kidul, terutama penduduk di Desa Hargosari Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Gunung Kidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga melakukan ritual agar ternak dan lingkungannya juga terhindar dari marabahaya dan ternaknya dapat beranak pinak, jika jantan tubuhnya besar (nyesak i lawang) dan jika betina memenuhi kandang (ngebak i kandang). Ritual yang hingga kini masih dilaksanakan tersebut dinamai gumbreg-an dan dilaksanakan pada masa datangnya waktu gumbreg. Tahun 2019 wuku gumbreg jatuh pada minggu keempat tanggal 16 hingga 22 dan tahun 2020 jatuh pada bulan januari minggu ketiga tanggal 12 hingga 18 dan bulan agustus juga jatuh pada minggu ketiga yaitu tanggal 9 hingga 15.

Ritual gumbreg-an hingga saat ini masih dilakukan oleh penduduk di wilayah Desa Hargosari, mereka sangat percaya dengan dilakukan ritual itu perasaan terhadap ternak yang dipelihara menjadi tenang, walaupun kondisi musim ini sedang memasuki musim kemarau. Selain itu penduduk ada yang menjawab, mereka sampai saat ini selalu mengadakan gumbreg-kan karena itu juga dilakukan oleh orang tua, simbah, atau saudara lainnya. Mereka menyebutnya sudah naluri dilakukan setiap memasuki wuku gumbreg, maka mereka akan membuat kupat, jadah ketan, dan menyediakan gamping, sedikit minyak kelapa, dan kembang sajen untuk melakukan gumbreg-kan.

Sugianto yang berasal dari Ponjong dan sekarang berkeluarga dan menetap di wilayah Hargosari mengungkapkan pernah suatu ketika ada penduduk yang tidak melakukan gumbreg-an, dan pada keesokan harinya kambing yang dipelihara tiba-tiba mati. Terkait dengan kepercayaannya terhadap ritual gumbreg-kan ini Sugiyanto awalya tidak mempercayai, namun ada tetangganya yang menyarankan untuk melihat apa yang datang pada ternak dan menjadikan ternak sakit, bahkan ada yang meninggal. Untuk melihat gejala datangnya gangguan pada ternak harus memakai laku, paling tidak puasa dua hari. Oleh karena Sugiyanto memang berkeinginan melihatnya, maka suatu ketika ia berpuasa dua hari dan tidur di dekat kandang dengan beralaskan daun pisang. Betul seperti yang diceritakan oleh tetangganya, pada malam harinya ada seperti binatang kunang-kunang sebanyak dua atau tiga ekor mendatangi kandang sapi miliknya. Waktu itu ada dua ekor sapi dan yang satu saat itu juga seperti menggigil dan jatuh. Kemudian sapi tersebut mati, sedangkan sapi yang satunya selamat. Mulai saat itu hingga sekarang karena masih memelihara sapi, mmaka setiap datang wuku Gumbreg Sugiyanto juga menyiapkan ubo rampe untuk melakukan ritual gumbreg-an. Begitu juga para tetangganya yang sebagian besar juga memelihara ternak juga selalu melakukan ritual gumbreg-kan baik di kandang atau di balai desa. Cerita-cerita semacam itu banyak tersebar di dalam kehidupan masyarakat dan oleh karena mereka tidak mau mengambil risiko untuk ternaknya, maka penduduk Gunung Kidul selalu mengadakan ritual gumbreg-an. Ritual gumbregan yang selalu dilakukan oleh Msyarakat di Gunung Kidul sebenarnya sebagai sebuah harapan petani terhadap ternak dan lingkungannya untuk tetap hidup dan mempunyai anak karena ternak yang dipelihara mempunyai nilai ekonomis yang dapat membantu memenuhi kebutuhan ekonominya.


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 18-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Masyarakat Desa Hargosari Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul

Desa Hargosari Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul

0

-

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 18-01-2022

Maestro Karya Budaya

Darto Suwito

Pedukuhan Candisari RT 05 RW 01 Desa Hargosari Kec Tanjungsari

0

-

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 18-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 18-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047