Leningo

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101342
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Gorontalo
Responsive image

Hasil inventarisasi sastra lisan Gorontalo pada tahun 1995 terdapat 15 ragam sastra lisan Gorontalo. Ragam sastra lisan tersebut terbagi atas 4 kelompok yaitu ragam yang berhubungan dengan adat, ragam yang berisi kata-kata arif, ragam yang berhubungan dengan magis dan ragam tembang sastra lisan Gorontalo. Leningo, termasuk kateori ragam yang berisi kata-kata arif bersama dengan jenis lainnya seperti tahuli, tahuda, dan taleningo (puisi filsafat).    Leningo, ialah kata-kata arif yang dituangkan dalam bentuk sajak berisi petuah yang diucapkan oleh orang tua yang pandai dan bijaksana. Bentuk ini lebih dekat atau tepat disebut peribahasa. Leningo juga merupakan salah satu ragam puisi lisan yang digunakan sebagai pepatah untuk mematahkan perangai atau tingkah laku seseorang yang sangat berlebihan atau tidak senonoh, dengan norma yang berlaku dalam masyarakat Gorontalo. Puisi lisan ini diucapkan oleh pemangku adat sebagai juru bicara atau utusan (utoliya) yang berasal dari pihak pengantin putera disebut luntu dulungo layi’o (juru bicara pihak mempelai putra yang datang) dan jika berasal dari pihak pengantin puteri disebut luntu dulungo wolato (juru bicara pihak mempelai putri yang menunggu). Leningo berbeda dengan tuja’i yang termasuk kategori puisi adat yang kandungannya berisi tentang kata-kata pujaan terhadap pengantin atau pun orang yang dihormati.

        Leningo merupakan salah satu warisan budaya leluhur yang mempunyai peranan penting dalam memperbaiki moral masyarakat Gorontalo pada zaman dulu, karena mengandung nilai didik yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan. Pesan-pesan yang terkandung dalam leningo dapat menjadi pegangan bagi masyarakat sekarang. Dikatakan sebagai warisan budaya leluhur karena puisi lisan ini dipakai untuk mengiringi pelaksanaan upacara perkawinan secara adat Gorontalo. Seorang maestro budaya Gorontalo mengatakan bahwa budaya lisan seperti leningo ini merupakan bagian dari budaya Gorontalo yang dipakai dalam acara pernikahan yang telah dikenal sejak zaman pra-Islam. Dalam sejarah kedatangan Islam di Gorontalo disebutkan bahwa keberadaannya sejak pemerintahan Sultan Amai pada abad ke-16 yaitu sejak tahun 1525. Leningo diperkirakan muncul sejak zama itu atau pada abad ke enam, atau sejak masuknya agama Islam ke Gorontalo tahun 1525. Dengan demikian leningo telah dikenal pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan pernah terjadi pada zaman itu ada seorang Calon Raja yang kemudian batal menjadi raja karena perkataannya yang menyinggung masyarakat dan dibatalkan pencalonannya oleh Para Baate (Tokoh adat) yang duduk dalam Banthayo Pobo'ide (sekarang DPRD).

         Sebagai sastra lisan Gorontalo leningo mempunyai dua karakteristik utama yaitu bentuk dan isi. Ditinjau dari bentuknya maka leningo mempunyai tipografinya berbentuk puisi lama karena masih terikat pada konvensi lama seperti jumlah baris dalam bait, jumlah kata dan matra dalam baris, maupun persajakannya. Baris dalam setiap bait leningo memiliki jumlah yang tetap, yaitu empat baris. Setiap baris terdiri atas dua sampai empat kata, dengan pembagian dua matra yang setiap matranya antara satu dan dua kata. Setiap baris selalu diakhiri dengan persajakan atau rima lurus atau a-a-a-a. Kehadiran konvensi puisi lama menjadikan sastra lisan leningo sebagai salah satu karya sastra yang memiliki cita rasa estetis yang tinggi. Selanjutnya ditinjau dari segi isi, leningo berisi kata-kata bijak yang dapat dijadikan panduan atau tuntunan bagi manusia dalam bertingkah laku, baik dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, maupun dengan Tuhan. Leningo diciptakan oleh para tetua untuk mengarahkan dan mengendalikan perilaku setiap anggota masyarakat Gorontalo dulu, sekarang, dan akan datang, agar selalu ingat akan eksistensinya sebagai mahluk individu, mahluk sosial, dan mahluk ciptaan tuhan. Oleh sebab itu, leningo dapat dikategorikan sebagai sastra humanis, karena di dalamnya banyak membicarakan berbagai hal tentang kemanusiaan.

         Bagi masyarakat Gorontalo leningo memiliki kedudukan yang penting, baik dalam konteks sosial maupun budaya. Dalam konteks sosial, leningo merupakan salah satu ragam sastra yang di dalamnya memuat pesan atau makna penting untuk mengatur setiap anggota masyarakat dalam 

berinteraksi sosial. Leningo berisi kata-kata arif atau ungkapan leluhur yang dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Leningo juga dipakai sebagai pepatah, yaitu untuk mematahkan perangai atau tingkah laku seseorang yang sangat berlebih-lebihan atau yang tidak senonoh, dengan norma yang berlaku dalam masyarakat Gorontalo. Leningo bagi masyarakat Gorontalo menjadi salah satu media untuk mengontrol perilaku sehingga setiap orang selalu berada dalam koridor tatanan sosial masyarakat Gorontalo.

         Ditinjau dari konteks budaya, leningo merupakan salah satu ragam sastra lisan yang tidak dapat dilepaskan dari tahapan prosesi upacara adat, khususnya upacara adat pernikahan. Leningo menjadi salah satu tahapan penting yang tidak dapat dihilangkan dalam prosesi upacara adat pernikahan. Leningo dilisankan oleh seorang pemangku adat yang disebut baate ketika melakukan prosesi lamaran (tolobalango) maupun prosesi hantaran atau antar harta (duutu). Leningo menjadi wajib dalam tatanan peradatan Gorontalo karena di dalamnya banyak terdapat kata kiasan yang padat makna. Di antaranya adalah untuk mempererat tali kekeluargaan antara dua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan, dan yang lebih penting lagi adalah memberikan tuntunan kepada calon pengantin.

 

Contoh Leningo:

 

Huayo ngango-ngango  (Buaya yang menganga)                       

Wanu bolo tala to diambango (Bila salah melangkah)

Mohe’upo modanggango (Menangkap mencengkeran=menerima sanksi yang berat)

Bolo tala to olio’o (Bila keliru berperilaku)

Modanggango mohe’upo (mencengkeram dan menangkap)

 

Wonu delo ta hemongadi kitabi (Laksana orang yang membaca kitab)

De mawolatala ngadi-ngadi (Akan ditunggu saat membaca)

Mealo delo ta hemoluladu (Atau laksana orang yang sedang menulis)

Penu de mawolatala to buku bu’a-bu’adu (Akan ditunggu saat terbuka) 


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Drs, H, Karim T. Laiya (Baate lo Hulontalo)

Kelurahan Lekobalo Kota Barat Gorontalo

082193196836

-

Prof. Dr. H. Nani Tuloli

Kelurahan Heledulaa Utara Kota Timur Gorontalo

0

-

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

Maestro Karya Budaya

Yamin Husain (Praktisi Budaya)

Desa Kramat Kecamatan Tapa

085145336588

-

Prof. Dr. Moh. Karmin Baruadi, M.Hum (akademisi)

Jln. Taman Surya, Kota Gorontalo

08124416177

Karminbaruadi11@gmail.com

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 21-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047