GUBAL

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101523
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Kepulauan Riau
Responsive image

Di pulau Lingga akan mudah ditemui pohon-pohon sagu yang tumbuh subur di dekat pemukiman penduduk, hingga sampai jauh ke dalam hutan. Di zaman Lingga sebagai pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga (1787-1830) sagu telah menjadi bagian dari hasil pertanian rakyat. Di masa Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812), sagu telah menjadi barang dagangan yang menguntungkan di Lingga. Untuk mempererat hubungan persahabatan, Sultan Mahmud Riayat Syah pernah mengirimkan hadiah delapan ratus kantong sagu  kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda P.G. van Overstraten di Batavia. Dalam penutup suratnya yang bertarikh 27 Ramadhan 1212 (15 Maret 1798) dinyatakan “Suatu pun tiada ada tanda hayati hanyalah kain Cina Kantun sepasang dan gading sepasang dan lilin dua pikul dan payung Cina sepasang  dan sagu dualapan ratus kantong tiada ada dengan sepertinya melainkan karena menyatakan tulus ikhlas sahaja.” (Mu’Jizah, 2009:30). Pada tahun berikutnya Sultan Mahmud mengirimkan lagi sagu sebanyak dua puluh pikul kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Di zaman Kerajaan Lingga-Riau, usaha sagu memberikan keuntungan pada pemasukan cukai.  Di masa awal pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, pada 1 Desember 1857 disepakati bersama Belanda tentang cukai yang berlaku di Lingga-Riau. Masa itu tiap-tiap seratus tampin sagu yang dibawa keluar dari Lingga dikenakan cukai senilai tiga puluh sen setengah. Setelah gagal dalam bidang pertanian padi, Sultan secara langsung melibatkan diri pada usaha perdagangan sagu. Masyarakat yang berada di pulau Lingga juga memperbanyak penanaman pohon sagu. Memperbanyak penanaman pohon sagu tentunya mengakibatkan bertambah luasnya lahan dan  menambah hasil produksi. Usaha perluasan lahan tentunya  berhasil, karena kondisi tanah yang cocok untuk ditanami sagu. Untuk mendukung usahanya, Sultan juga mendirikan pabrik di dekat tepi sungai Daik, yang berdekatan dengan wilayah Robat.  Tapak pabrik sagu Sultan masih bisa disaksikan sampai ke hari ini. Oleh pemerintah Kabupaten Lingga, tapak pabrik sagu Sultan ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Sultan juga mempunyai kapal kargo untuk membawa sagu ke luar daerah.

Di masa itu aturan pertanahan Kerajaan Lingga-Riau telah berjalan baik. Kerajaan juga memerlukan pemasukan cukai dari lahan-lahan yang dimiliki atau dibuka sebagai perkebunan.  Untuk melindungi rakyat dari sengketa, perampasan secara paksa dan memudahkan urusan pemungutan cukai,  rakyat yang ingin memiliki lahan perkebunan perlu mendapatkan izin dari Kerajaan. Para pemilik lahan  yang telah diberi izin, akan dikaruniakan grant tanda bukti kepemilikan. Di dalam grant tanda kepemilikan lahan sagu diatur juga tentang denda terhadap orang yang menebang pohon sagu atau pohon lain tanpa izin dari pemilik. Lahan-lahan sagu yang dimiliki rakyat menguntungkan kerajaan, karena pemilik lahan membayar cukai setiap tahun. Keuntungan lainnya, kerajaan mendapatkan cukai dari hasil sagu yang dibawa keluar dari Lingga

Usaha sagu telah menggerakkan perekonomian rakyat. Para pemilik lahan mendapatkan keuntungan dari penjualan batang sagu. Sebagian pemilik mengolah sagu untuk dijual di dalam dan luar daerah. Pabrik-pabrik pengolahan sagu yang dimiliki oleh Sultan atau para saudagar menyerap tenaga kerja, sehingga mengurangi angka pengangguran. Untuk mendapatkan keuntungan lain, masyarakat membuat berbagai makanan dari sagu yang diperdagangkan di dalam dan luar daerah. Selain itu, daun sagu yang dijadikan bahan atap rumah menjadi barang dagangan yang menguntungkan.

Perhatian Sultan terhadap usaha perkebunan sagu turut juga memperkuat ketahanan pangan masyarakat Lingga. Sagu bisa dijadikan makanan pokok pengganti beras.  Makanan dari olahan sagu yang dijadikan makanan pokok pengganti nasi yakni gubal. Sagu sebagai makanan pokok pengganti beras berjasa besar di zaman pendudukan Jepang. Menurut cerita orang-orang tua yang pernah hidup di  zaman pendudukan Jepang,  masa itu   sangat  sulit mendapatkan beras dan gubal sagu dijadikan makanan pokok  pengganti nasi. Sama seperti nasi, gubal bisa dimakan bersama lauk dan sayur.

Di masa yang lalu sagu menjadi makanan pokok utama Orang Laut yang berada di Kepulauan Lingga. Orang Laut di Lingga awalnya  ialah sekelompok masyarakat yang tinggal di atas perahu kecil seperti sampan atau jongkong, dan berkelana berpindah-pindah tempat diperairan Lingga. Di Lingga, Orang Laut yang biasa dikenal masyarakat terdiri dari Orang Barok dan Mantang. Orang Melayu tidak memanggil mereka dengan suku Barok dan Mantang, karena dianggap menghina. Untuk menghormati, orang Melayu memanggil  mereka dengan Orang Laut. Di masa kini sebagian besar dari Orang Laut telah menetap di satu pemukiman di tepi pantai dan mengutamakan beras sebagai makanan pokok. Dalam satu penelitian yang berjudul “Upacara Tradisional: Upacara Kematian di Daerah Riau” di tahun 1982 menyinggung tentang sagu sebagai makanan  pokok Orang Barok dan Orang Mantang yang berada di Lingga. Hasil olahan sagu yang dijadikan sebagai makanan pokok yakni gubal. Mengenai gubal di halaman 55 dalam penelitian ini dinyatakan sebagai berikut:

Sagu yang menjadi makanan pokok Orang Barok diolah dengan menggosengnya tanpa kelapa, yang disebut gubal. Orang Melayu membuat gubal dengan cara sagu diayak halus, dicampur kelapa kukur dan sedikit garam, kemudian digongseng sampai  masak. Gubal tersebut oleh Orang Barok dimakan dengan berlauk ikan bakar, tanpa lauk pauk yang lain. Mereka tidak suka makan nasi, karena tidak merasa kenyang. Rata-rata Orang Barok dewasa dapat menghabiskan 3 piring gubal dengan beberapa ekor ikan bakar. Dengan susunan menu yang serupa itu Orang Barok dapat mempertahankan hidupnya sejak berabad-abad yang lalu. Selain gubal dan ikan bakar tidak dikenal makanan pokok yang lainnya.

Ada hal lain yang menarik tentang gubal jika berhubungan dengan cerita rakyat. Dalam cerita rakyat Lingga, gubal makanan khas Orang Barok. Menurut cerita rakyat, Raja Barok mengundang empat puluh empat raja yang berasal dari selatan, barat, timur dan utara ke pulau Barok. Tamu yang datang dihidangkan gubal dengan lauk gulai asam pedas. Empat puluh empat raja yang datang bertanya, mengapa dihidangkan dengan makanan seperti itu. Kata Raja Barok, Gubal Sagu dan gulai asam pedas makanan kami.

Setelah mendengar jawaban, Raja yang empat puluh empat tegak berdiri mengambil badik dan menikam Raja Barok. Raja Barok terluka parah, sebelum ajal menjemput dia berpesan kepada Datok Kaya dan empat puluh empat raja, dia berkata Dabo Singkep, Pulau Pelang, dan Daik Lingga jangan tersentuh karena satu keluarga, Jika tersentuh Orang Barok dan Daik Lingga akan musnah. Setelah berpesan, Raja Barok meninggal dunia dan luka tikaman ditubuhnya mengeluarkan darah berwarna putih. 

Di masa kini sebagian orang Melayu Lingga dan Orang Laut masih gemar menyantap gubal. Hanya saja gubal tidak dijadikan makanan pokok harian pengganti nasi.  Gubal dimakan saat seseorang berselera untuk menyantapnya. Di lingkungan orang Melayu, kadang gubal di buat sebagai makanan pendamping nasi saat melakukan gotong-royong. Tidak semua orang bisa membuat gubal dengan baik. Sebagian orang yang kurang faham, akan menghasilkan gubal yang tidak begitu sedap di makan. Gubal juga tidak bisa bertahan lama karena  mudah keras atau orang Lingga menyebutnya dengan koyol. Agar kembali lunak dan sedap dimakan, gubal koyol perlu  dimasak ulang.

Cara membuat gubal di lingkungan orang Melayu terdiri dari dua jenis. Orang Melayu yang berada di sekitar Daik lebih menyukai gubal di masak dengan parutan kelapa yang agak muda dan dicampur sedikit garam. Orang Daik menyukai gubal yang dimasak dengan campuran parutan kelapa karena terasa lemak dan sedap dimakan. Sebagian orang Melayu di luar Daik seperti di wilayah Lingga Utara, lebih menyukai gubal tanpa campuran parutan kelapa.

 

Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat gubal yang dicampur kelapa:

1.    Sagu basah bersih sesuai kebutuhan yang diayak halus

2.    Parutan kelapa secukupnya (Kelapa yang agak muda)

3.    Air putih yang dicampur garam secukupnya

 

Cara membuat:

1.    Panaskan kuali atau wajan di atas tungku dapur atau kompor dengan api sedang tidak seberapa besar

2.    Masukkan terlebih sedikit parutan kelapa di dalam kuali, agar sagu tidak lengket digongseng

3.    Masukkan sagu basah yang telah diayak halus untuk digongseng

4.    Sagu yang tengah digongseng dimasukkan parutan kelapa secara bertahap dan terus diaduk agar menyatu

5.    Jika telah agak matang, renjis dengan air garam dan terus diaduk

6.    Jika gubal telah matang, angkat dan hidangkan di dalam mangkok atau wadah

Orang Melayu Lingga menyukai gubal yang dihidangkan dengan lauk ikan masak gulai asam pedas dan sambal belacan, ditambah ulam jering atau petai. Ikan yang disukai untuk dimasak asam pedas, yakni seperti ikan pari, hiu, sembilang, jahan, seminyak dan lain-lain. Sambal belacan yang dibuat, ialah dari lada kecil atau cabe rawit, yang ditumbuk lumat dalam lesung batu, dicampur belacan dan garam sebagai penyedap rasa.


Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 03-02-2022

Komunitas Karya Budaya

SYAMSUL ASRAR, S.ST, MM

Jl. Istana Robat Daik Lingga

081277799773

syamsul.asrar@gmail.com

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 03-02-2022

Maestro Karya Budaya

M. Saleh (Pak Ndak Atan),

Jl. Tengku Embong Fatimah No.5, Kp. Tandahulu, Kel. Daik, Kec Lingga.

0

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 03-02-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 03-02-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047