Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, akan timbul gesekan-gesekan yang ada kalanya bisa diredam dengan toleransi tapi ada juga yang berujung pada pertikaian atau adu fisik. Dalam adat Palembang, jika seseorang bebala atau berkelahi dan menyebabkan lawannya mengeluarkan darah, maka ia wajib melakukan tepung tawar atau perdamaian. Dengan melakukan Denda tepung tawar, maka segala rasa marah, dendam, sakit hati yang bekecamuk di dalam hati orang yang bertikai akan hilang atau tawar alias tidak ada rasa lagi. Konon, jika tidak dilakukan Denda tepung tawar, maka orang tersebut akan berkelahi terus-menerus sepanjang hidupnya. Dengan kata lain, haus darah. Setiap saat, ingin membuat orang lain mengeluarkan darah. Oleh karena itu, orangtua yang anaknya terlibat perkelahian buru-buru melakukan Denda tepung tawar agar hal tersebut tidak terulang lagi.
Selain berkewajiban mengobati, pihak keluarga, si pelaku datang bersilaturahmi ke kediaman si Korban sambil membawa makanan yang menjadi simbol perdamaian. Makanan yang dibawa biasanya ketan kunyit ayam panggang, kembang 7 warna dan kue-kue tradisional Palembang
Tanda perdamaian adalah jika makanan yang dibawa oleh keluarga si pelaku diterima oleh keluarga si korban. Kemudian makanan itu disantap bersama-sama. Acara ini diakhiri dengan doa yang mengharapkan agar peristiwa seperti ini tidak terulang kembali di kemudian hari. Banyaknya makanan yang harus dibawa sebagai bagian dari tepung tawar membuat orang berfikir berulang kali untuk berkelahi.
Hingga sekarang Denda tepung tawar masih digunakan oleh masyarakat di Palembang dalam menyelesaikan perselisihan, hal ini bahkan diangkat menjadi peraturan oleh Kapolri yaitu Perkap Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian masyarakat .
Jadi dengan Perkap tersebut masyarakat di palembang untuk mengutamakan penyelesaikan perselisihan dengan cara musyawarah damai / Denda tepung tawar terlebih dahulu.
Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 28-01-2022
© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya