Sinongkelan

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101497
Domain
Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Provinsi
Jawa Timur
Responsive image

“Sinongkelan” merupakan tradisi adat istiadat yang berasal dari Desa Prambon Kecamatan Tugu Kabupaten Trenggalek yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan selo hari jumat legi (dalam penanggalan jawa) bersaman dengan perayaan Bersih Desa. Tradisi adat istiadat ini yang melatarbelakangi terbentuknyaa Desa Prambon. Tradisi Sinongkelan diadakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Desa Prambon atas berkah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan memohon berkah supaya ditahun berikutnya Desa Prambon terbebas dari segala bencana. Selain itu Sinongkelan juga mempunyai keterkaaitan dalam budaya masyaarakat yakni penghormatan terhadap leluhur, gotong royong antar sesama warga, ketertiban, kepatuhaan terhadap budaya dan persaudaraan. Dalam tradisi Sinongkelan menggunakan sesaji dan mantra yang diberikan sebagai bentuk rasa syukur dann permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada kebudayaan Jawa memiliki makna simbolik yang digambarkan lewat sesaji. Sesaji adat Sinongkelan memiliki makna yang berhubunngan dengan ajaran kehidupan, misalnya untuk menginggat sejarah, selalu menghargaai perbedaan, selalu ingat kepada Tuhan dan para leluhur, selalu bersyukur dan sebagainya. Sinongkelan bermula dari jaman peralihan Hindhu Budha dan Islam pada tahun 1157. Pada saat itu terjadi peperangan di Kerajaan Majapahit. Peperangan terjadi antara pemeluk agama Hindhu Budha dan agama baru yakni Islam. Beberapa penghuni kerajaan terpaksa untuk melarikan diri demi mempertahankan agama Hindu Budha, salah satunya adalah anak Raja Brawijaya. Anak Raja Brawijaya berusaha untuk melarikan diri beserta dengan pengikutnya menuju Desa Jong Biru. Ia menyamar untuk menutupi jati dirinya dengan nama Kanjeng Sinongkel yang berasal dari kata songkel atau lengser, dan pengikutnya tetap menggunakan nama aslinya. Kehidupan mereka berjalan layaknya masyarakat petani biasanya. Beberapa minggu setelah itu terjadilah musibah yang menimpa Desa Jong Biru yakni gagal panen yang membuat para petani kelaparan. Dari musibah tersebut membuat Kanjeng Sinongkel memutuskan untuk bersemedi di bukit Slakar. Pada semedinya Kanjeng Sinongkel mendapatkan wangsit, yakni wilayah ini dapat subur makmurloh jinawi apabila dapat menemukan seekor Kidang Kencana. Karena pada saat itu daerah Jong Biru dikuasai oleh roh jahat yakni Boncolono dan Sabuk Alu. Roh tersebut meminta tumbal Kidang Kencana yang berciri “Bubat Kawat, Mata Kumala, Bol Karah, Tracak Wojo” (berbulu kawat, bermata emas, berdubur besi, berkaki baja). Setelah mendapatkan wangsit kanjeng sinongkel bergegas pulang untuk menyampaikan pesan tersebut kepada warga dan setelah mengetahuainya maka warga segera untuk melakkan perburuan. Setelah beberapa bulan pencarian tidak membuahkan hasil kemudian kanjeng sinongkel merasa ragu dengan wangsit tersebut dan melakukan semedi kembali dan mendapatkan wangsit yang menyebutkan “Bubat Kawat, Mata Kuala, Bol Karuh, Tracak Wojo” hanyalah makna kiasan yang berarti bahwa Desa Jong Biru Desa Prambon dahulunya disebut membutuhkan pemimpin berciri “berburu kidang kencana yang artinya suatu cita-cita yang tinggi dan harus digapai. “Bubat Kawat”artinya rakyat jelata atau rakyat kecil yang harus dilindungi, “Mata Kumala” artinya pemimpin yang mempunyai pandangan hidup yang baik, “Bol Karah” artinya rejeki yang harus digunakan dengan bijak, “Tracak Waja” artinya seseorang pemimpin yang bisa membawa rakyatnya kepada arah yang lebih baik. Mendengar wangsit yang disampaikan oleh Kanjeng Sinongkel membuat masyarakat yakin bahwa Kanjeng Sinongkel dapat memimpin Desa Jong Biru sehingga semenjak saat itu Kanjeng Sinongkel diangkat sebagai pemimpin Desa Jong Biru yang diberi julukan Prabu Anom. Desa Jong Biru di ubah menjadi Desa Prambon yang artinya kepemimpinan Prabu Anom. Dari situlah Tradisi Sinongkelan awal mulanya dibentuk yang bertujuan untuk mengenang setiap perjuangan Kanjeng Sinongkel. Rangkaian acara yang dilakukan dalam tradisi ini diawali dengan nyadran. Nyadran dimulai dari pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri atau genduren selamatan di makam leluhur. Nyadran pada ritual bersih desa Prambon tersebut dilakukan selama dua hari yang berlangsung pagi hari dan berakhir sebelum adzan dzuhur berkumandang. Sinongkela dimulai sejak dini hari utuk mempersapkan segala macam sesaji berupa lodho ayam kampung, urap-urap, nasi gurih, mule, metri, hingga jerami padi. Persiapan tersebut dilakukan oleh para wanita yang elah lanjut usia atau yang biasa disebut sebagai wanita yang telah luas ari. Setelah semua persiapan selesai selanjutnya para lelaki yang telah lanjut usia atu para sesepuh Desa memulai ritual nyadran di beberapa tempat petilasan atau tempat yang dianggap keramat. Diantaranya ialah makam mbah Budha lanang dan Mbah Budha Wedok, Mbah Canting lanang dan Mbah Canting wedok, Mbah Cokro lanang dan Mbah Cokro wedok, Bukit Slakar, dan Siraman. Malam hari setelah nyadran di hari kedua selanjutnya digelar sebuah pertunjukan yakni Sinongkelan. Pertunjukan tersebut digelar di halaman yang luas karena pertunjukan tersebut digelar dengan beralaskan tikar, duduk bersila dan hanya akan berdiri pada gerakan tertentu. Pertunjukan Sinongkelan ini diikuti oleh 15-20 orang sesepuh Desa dengan tiga tokoh di dalamnya, diantranya ialah satu tokoh Kanjeng Sinongkel, satu tokoh Patih Jaksa Negara, satu tokoh Gandek atau pengawas dalam pertunjukan serta beberapa sesepuh Desa lainnya sebagai wayang atau rakyat. Pertunjukan tersebut berupa tarian yang menceritakan tentang perjuangan Kanjeng Sinongkel dalam mensejahterakan kehidupan warga Desa Prambon atau yang dulu disebut sebagai Jong biru. Kanjeng Sinongkel merupakan salah satu pembesar istana yang melarikan diri dari kerajaan dan menutupi jati dirinya dengan mengganti nama menjadi Sinongkel. Lalu sebagai penutup acara Sinongkelan, selain menggelar doa kepada Tuhan Ynag Maha Esa, acara dimeriahkan dengan gelaran Tari Tayub (tari yang sifatnya tarian rakyat) dengan melibatkan banyak orang. Tari Tayup tak hanya hadir sebagai sarana hiburan rakyat semata. Konon pada jaman Kanjeng Sinongkel para pengikut setianya menggelar Tari Tayub sebagai rasa syukut karena berhasil membasmi malapetaka di Desa Prambon. Sinongkelan selain bertujuan untuk mengenang setiap perjuangan Kanjeng Sinongkel juga mempunyai fungsi utama yang digunakan sebagai pijakan masyarakat di Desa Prambon. Maksud dan tujuan penyelenggaraan Sinongkelan adalah sebagai ritual Bersih Desa, yakni membersihkan segala keburukan yang terjadi pada tahun sebelumnya dan mengucap rasa syukur kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, serta para leluhur yang telah melimpahkan berkah sehingga hasil pertanian dan kehidupan dapat lebih baik. Ritual ini bertujuan supaya hasil pertanian yang akan datang bisa lebih baik. Sinongkelan ini juga mengajarkan kepada generasi muda untuk selalau ingat pada sejarah dan leluhurnya sehingga nilai-nilai adat dapat dipertahankan dan tidak akan hilang oleh perkembangan zaman.


Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 02-02-2022

Komunitas Karya Budaya

1. Desa Prambon 2. Kecamatan Tugu

1. Jl. Pakelor KM 3 Desa Prambon Kec Tugu, 2. Jl. Raya Trenggalek – Ponorogo KM. 7

0355792817

disparbudtrenggalek@gmail.com

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 02-02-2022

Maestro Karya Budaya

Sabar

RT 018 RW 003 Desa. Prambon Kec. Tugu

0355791741

disparbudtrenggalek@gmail.com

Seni

Desa Prambon Kec. Tugu Kab. Trenggalek

0355791741

disparbudtrenggalek@gmail.com

Gimin

Desa Prambon Kec. Tugu Kab. Trenggalek

0355791741

disparbudtrenggalek@gmail.com

Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 02-02-2022
   Disetujui Oleh Nasya Adlina Pada Tanggal 02-02-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047