Bansi

Tahun
2021
Nomor Registrasi
202101360
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Sumatra Barat
Responsive image

BANSI

Bansi adalah salah satu alat musik tiup tradisional Minangkabau. Klasifikasi alat musik bansi ini seperti yang dikatakan oleh Curt Sachs dan Eric Van Hombostel, tergolong ke dalam jenis alat musik aerofon, penghasil udaranya adalah badannya sendiri (winds instrument proper) (Budaya, 2012). Di samping itu, Arga Budaya juga menyebutkan bahwa alat musik bansi terbuat dari bambu, baik bambu batuangporiang, soriak dan tolang. Secara fisik Bansi berbentuk seperti instrumen musik tiup recorder yang secara memiliki 6 (enam) lubang, 7 (tujuh) lubang, hingga 8 (delapan) lubang. Ukuran Bansi diperkirakan sekitar 33,5 cm hingga 36 cm dan ukuran garis tengah sekitar 2,5 cm hingga 3 cm (Budaya, 2012).

Alat musik Bansi dimainkan dengan cara ditiup. Jika ditiup dengan tekanan yang kuat maka akan menghasilkan nada oktaf yang tinggi dan jika ditiup dengan tekanan yang rendah, maka akan menghasilkan nada oktaf yang rendah. Lubang-lubang yang terdapat pada Bansi berfungsi sebagai nada dasar dan lubang pemecah udara yang diatur dengan jari-jari tangan. Semua lubang nada Bansi jika ditutup akan menghasilkan nada B yang menjadi nada dasarnya, kemudian jika jari pertama dibuka akan menghasilkan nada C#, selanjutnya jari pertama dan kedua dibuka menghasilkan nada D#, jika jari pertama, kedua, ketiga dibuka akan menghasilkan nada E, jika jari pertama, kedua, ketiga dan keempat dibuka akan menghasilkan nada F#, jika jari pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima dibuka akan menghasilkan nada G#, jika jari pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan keenam dibuka akan menghasilkan nada A#, dan jika semua lubang nada dibuka akan menghasilkan nada B’.

Sejarah kemunculan Bansi di Minangkabau belum dapat diketahuai dengan pasti tahun berapanya. Namun, sejarah Minangkabau pernah mencatat bahwa di masa pergerakan Perang Paderi, salah satu yang dipertentangkan adalah penggunaan alat musik yang didengar oleh orang lain membawa akibat buruk, salah satunya adalah alat music Bansi. Kebanyakan orang tergoda mendengar bunyi Bansi yang secara umum adalah perempuan, sehingga muncullah anggapan bahwa alat musik Bansi tersebut terdengar bagus bunyinya karena diberi Pitunang. Pitunang adalah penghubung, pengikat jiwa seseorang yang menggunakan mantera-mantera atau doa-doa ke dalam alat musik tersebut (Efrizal, 1990). Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa Bansi telah ada sebelum abad ke-19 di Minangkabau.

Sejalan dengan itu, Bansi di Tanah Datar juga sudah diwarisi semenjak zaman dahulu dari generasi ke generasi. Menurut penuturan Nazirman (55 th) seorang maestro bansi di Tanah Datar, bahwa dia belajar bansi dari mamaknya, dan mamaknya tersebut belajar bansi dari kakeknya. Artinya alat musik bansi ini sudah ada setidaknya tiga generasi sebelum beliau di Kabupaten Tanah Datar.

Hampir setiap daerah di Sumatera Barat sekarang kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai, sudah mengenal alat musik Bansi. Persebaran dan perkembangan Bansi di daerah Minangkabau cukup signifikan ditambah Bansi juga digunakan hampir di setiap acara hiburan, acara adat, ritual dan sebagai pelipur lara. Salah satu daerah yang dikenal sebagai daerah asal mula Bansi ini yaitu Kabupaten Tanah Datar atau yang sering disebut sebagai Luhak nan Tuo. Hampir setiap daerah di Tanah Datar memiliki alat musik tiup bansi. Sebutlah misalnya di daerah Saruaso, Andaleh, Lintau, Batipuah, Sungayang, Pariangan dan lainnya.

Arga Budaya (2012) mengatakan bahwa menurut konsep masyarakat Minangkabau bahwa bunyi musik bansi termasuk kepada pamenan (permainan) rakyat sebagai satu alat musik yang disukai, baik itu suara, struktur organologis, atau kemampuan mengakomodasi musik tradisional. Selain sebagai pemenan, Bansi juga digunakan untuk berbagai keperluan acara. Ada acara adat seperti baralek (pesta perkawinan), acara dendang di gelanggang, pengiring berbagai kesenian lain seperti tari, randai dan acara acara adat lainnya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam permainan alat musik bansi ini tidak hanya sekedar nilai estetika atau nilai hiburan saja, tetapi juga terdapat nilai gotong-royong dan sosial budaya yang terkandung dalam permainan alat musik ini. Salah satu contohnya yaitu penggunaan bansi dalam upacara Manyodok Onou (menyadap enau) seperti yang dikemukakan Agusmedi, sebagai seorang tukang sodok Onou (tukang penyadap Enau), di Nagari Saruaso, Batusangkar. Manyadok Onou adalah pekerjaan yang dilakukan tukang sadok, untuk mendapatkan Niro (Nira) dari batang Onou (batang Enau), dengan jalan mengorek (menyadap, sap from trees) ujung mayang lalu air yang bertitik-titik dari mayang itu ditampung dengan tabung). Dalam pekerjaan menyadok Onou, Bansi digunakan sebagai alat untuk mamintak (meminta dan memohon) dan maimbau (memanggil air Nira agar datang). Tukang sadok Onou yakin dan percaya, bahwa batang Onou berpenghuni mahkluk-makhluk halus atau dihuni oleh kekuatan gaib yang baik maupun yang jahat. Kekuatan gaib yang baik maupun yang jahat tersebut dikonsepsikan antara lain: seperti adanya dewa-dewa, hantu, syetan, jin, roh-roh leluhur, atau rowa-rowa urang tuo-tuo (arwah–arwah orang tua), yang telah meninggal dunia

Sampai sekarang ini masih banyak anggota masyarakat yang terampil memainkan bansi.  Keterampilan tersebut dipelajari melalui guru seni budaya yang mau melestarikan kesenian tradisional. Mereka mengajarkan bansi di rumah, di pondok pondok atau dangau- dangau, di sawah ataupun di ladang. Sebagai contoh pada Sanggar Sari Bunian di Andaleh.  Para seniman yang terampil meniup bansi mengajarkan meniup dan membuat bansi kepada anggota sanggar ataupun anggota masyarakat yang mau mempelajarinya. Salah seorang gurunya ini adalah Nazirman yang sudah terkenal dengan kepandaiannya meniup bansi serta membuat bansi dengan berbagai corak dan ukiran yang berbeda beda. Bansi dimainkan oleh satu orang dan bisa dicampur atau disatukan dengan berbagai jenis alat musik lainnya seperti talempoang, gendang, dan berbagai alat musik lainnya.

Midgley (1979) mengatakan bahwa bansi juga merupakan block flute, karena salah satu ujungnya tertutup dan ujung yang lain terbuka.  Artinya, bansi tidak akan berbunyi jika seluruh lobangya ditutup. Namun jika dibuka semuanya bansi tetap mengeluarkan bunyi tetapi iramanya tidak ada. Hanya bunyi suara yang keluar bebas dari lobang lobang yang dibuat pada bambu atau buluah tersebut.

Meniup bansi ini harus memiliki berbagai keterampilan seperti: memiliki nafas yang panjang sehingga bisa berlama lama membunyikannya, memahami nada dan lagu serta menyesuaikan irama musik lain yang akan diiringi ataupun dikolaborasikan. Para pemain bansi harus tahu kapan saatnya membunyikan bansi dengan suara tinggi dan kapan harus dengan suara rendah.  Dan ada pula saatnya bansi harus dihentikan atau diam karena harus mendengarkan musik tertentu yang tidak bisa dikolaborasikan dengan bansi.


Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

Komunitas Karya Budaya

Komunitas Nagari Tuo Pariangan

Nagari Tuo Pariangan, Kabupaten Tanah Datar.

08116651744

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

Maestro Karya Budaya

Nazirman Gindo Malano

Nagari Tuo Pariangan, Kabupaten Tanah Datar

082388304248

Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022
   Disetujui Oleh Ronggo Utomo Hardyanto Pada Tanggal 24-01-2022

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047