Bidai (Bide')

Tahun
2013
Nomor Registrasi
201300035
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Kalimantan Barat
Responsive image

Bidai, bide; atau kasah bide' merupakan hasil seni kriya tradisional masyarakat Bidayuh yang berbentuk lembaran anyaman, dan terbuat dari kulit kayu dan rotan. Pada masa lalu bidai atau kassah bide banyak digunakan untuk menjemur hasil panen berupa padi-padian atau palawija, dan juga digunakan untuk perlengkapan rumah. Baik untuk alas tidur atau fungsi lainnya yang sejenis. Karena bahan bakunya yang terbuat dari rotan kecil yang dan kulit kayu, bidai atau kassah bide' ini memiliki bentuk anyaman yang khas alam serta kuat atau tahan lama. Sekalipun itu pernah atau sering terendam air dan terkena panas matahari langsung.

Bahan baku bidai atau kassah bide' yang terbuat dari rotan dan kulit kayu ini juga mencerminkan kondisi alam sekitar dimana masyarakat Bidayuh tinggal pada masa lalu. Yaitu daerah-daerah perbukitan atau pegunungan, atau hulu sungai dengan kondisi hutan yang lebat. Dimana hampir sulit menemukan jenis-jenis bahan baku pengganti yang lain dan bisa mereka digunakan untuk membuat benda-benda berbentuk lembaran alas atau sejenisnya, kecuali yang memang berasal dari tumbuhan sekitar.

Secara etimologi, bidai memang tidak dikenal dalam bahasa Bidayuh, khususnya di Jagoi Babang, Kalimantan Barat. lstilah ini justru dipopulerkan oleh komunitas ketiga, yaitu warga Malaysia diluar Bidayuh, sebagai pengalih identitas atau konsumen terbesar pada saat ini. Menunjuk pada pengertian semua bentuk benda yang berarti lembaran alas atau tikar. Belakangan, istilah ini justru lebih popular ditujukan pada jenis produk berupa lembaran anyaman yang terbuat dari bahan baku rotan dan serat kulit kayu, atau apa yang dikenal dan disebut oleh masyarakat Bidayuh sebagai kassah (semua anyaman yang terbuat dari rotan dan kulit kayu).

Karena bentuknya yang khas alam (rotan dan kulit kayu), unik atau artistik serta kuat atau tahan lama, bidai atau kassah bide kemudian berkembang tidak semata dalam fungsinya, namun juga dalam proses pembuatan, serta unsur-unsur bahan bakunya. Selain bahan pewarnaan alami yang berasal dari daun anyam, pilihan pada jenis-jenis rotan yang digunakan juga bertambah, yaitu rotan jenis /oho dan bilu atau runtian, selain tentunya adalah rotan saga'.

Sekalipun hampir semua kelompok masyarakat yang pernah mengenalnya saat ini mampu membuat dan mengakui bidai atau kassah bide' sebagai produk asli budayanya, namun efektifitas dan kualitas yang dihasilkan tidaklah sebaik pemilik asli budayanya pada masa lalu, yaitu Bidayuh.

Bidai, bide; atau kasah bide' merupakan hasil seni kriya tradisional masyarakat Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Berbentuk lembaran anyaman, bidai ini terbuat dari serat kulit kayu dan bilahan rotan kecil yang disusun dengan pola perwarnaan membentuk motif blok-blok kecil atau gabungannya. Hanya ada dua jenis warna dominan yang terdapat pada bidai, yaitu warna asli dari serat kulit kayu dan bilahan rotannya sendiri, serta warna hitam pekat dari bilahan rotan yang telah mengalami perlakuan pewarnaan secara khusus dan alami.

Meski begitu, pola motif yang dihasilkan dari gradasi warna antara warna asli serat kulit kayu, warna kulit rotan, dan warna hitam pekat rotan yang telah mengalami perlakukan khusus tersebut, menghasilkan pola motif pewarnaan yang beragam, kuat, unik, alami dan memiliki nilai estetika tinggi.

Sebagai sebuah tradisi, bidai memiliki tiga dari tujuh unsur dalam bagian apa yang disebut sebagai unsur kebudayaan lokal. Antara lain unsur pengetahuan dari keterampilan cara membuatnya, unsur estetika dalam keindahan motif Bidai yang akan siap dijual atau pola gradasi Warna yang dihasilkan, serta unsur bentuknya yang secara sosial dan kultural dapat digunakan sebagai perlengkapan, atau peralatan rumah tangga. Oleh karena itu, selain sebagai sebuah karya budaya seni kriya yang mencirikan budaya lokal, kassah bide atau bidai ini juga dapat dikatagorikan sebagai karya seni yang bersifat terapan. Tidak heran, sebagai produk kerajinan tradisional, bidai, bide' atau kassah bide' ini telah menjadi salah satu komoditas unggulan yang diperdagangkan secara lintas batas hingga ke wilayah Serikin, Distrik Bau, negara bagian Serawak, Malaysia. Tidak hanya sampai di situ, karya budaya ini juga kemudian diperdagangkan kembali hingga ke wilayah Khucing, lbu Kota Negara bagian Serawak, Malaysia Timur, atau bahkan hingga keluar dari wilayah Malaysia.

lronisnya, ketika karya budaya yang berakar dari tradisi dan dikembangkan oleh masyarakat sekitar perbatasan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang ini telah berada di wilayah negara tetangga, maka identitasnya kemudian menjadi milik masyarakat mereka. Hal ini karena produk karya budaya bidai yang dihasilkan oleh masyarakat perbatasan Jagoi Babang, jika dijual atau didistribusikan kembali keluar dari wilayah Malaysia, justru telah diberi label atau identitas sebagai produk Malaysia. Sekalipun mereka sudah tidak lagi memiliki ketrampilan dalam membuatnya, karena memang tidak ada lagi yang membuatnya, apalagi mengembangkan seperti halnya saat ini. Perlu suatuupaya dari pemerintah untuk mempatenkan, karena bidai ini merupakan murni hasil kerajinan masyarakat Jagoi Babang di Bengkayang. Bahan baku untuk membuat bidai terdiri dari rotan dan kulit kayu. Untuk membuat satu buah bidai dibutuhkan 1,5 ikat rotan dan 7 kg kulit kayu. Bahan baku berupa rotan didatangkan langsung dari Kalimantan Tengah, sedangkan kulit kayunya merupakan kulit kayu tembaran yang diambil di hutan-hutan. Sedangkan peralatan yang digunakan antara lain: palu tembaran, untuk memukul kulit kayu tembaran, sejangat digunakan untuk menghaluskan rotan, pemalu digunakan untuk merapatkan anyaman dan ririt, untuk membuat jahitan tepi.

Proses pembuatannya melalui beberapa tahapan, diantaranya:

• Pembelahan Rotan

Sebelum dibelah, rotan terlebih dahulu dibersihkan/dikikis kulit arinya dan cuci dengan air agar lebih bersih dan kemudian dibelah dengan menggunakan pisau. Untuk ukuran besar, rotan dibelah menjadi empat bagian. Jika ukurannya kecil, rotan bisa dibelah menjadi tiga atau dua bagian.

• Penjemuran

Setelah rotan dibelah, proses selanjutnya adalah penjamuran. Proses ini memerlukan waktu tiga hari atau bergantung pada cuaca.

• Meraut

Proses perautan ini dilakukan guna menghasilkan rotan yang halus dan tipis untuk memudahkan dalam penganyaman.

• Penganyaman

Sebelum dilakukan penganyaman, kulit kayu kapuak terlebih dahulu dibelah menurut ukuran yang diinginkan dan dibasahi dengan air. Lalu, rotan-rotan disusun sesuai motif yang diinginkan (dengan pewarnaan atau tanpa warna) dan dipasang tiga tali tempuak di tengah untuk langkah awal penganyaman. Agar bidai yang dihasilkan tidak bengkok atau tak berlipat, prosesnya perlu dibantu dengan pemakuan di tengah. Selanjutnya, tali tempuak yang telah dibasahi dengan air dipasang/dianyam ke rotan satu per satu. Untuk menghasilkan bidai dengan ukuran 150 x 210 cm, diperlukan satu ikat rotan yang belum dibelah atau sebanyak 500 batang rotan halus yang telah diraut.

• Menjagat

Proses akhir dari penganyaman ini adalah penjangatan, yaitu mengikat pinggiran bidai agar kuat dan tidak lepas.

• Menjemur

Bidaiyang telah selesai dikerjakan kemudian dijemur kembali untuk menghasilkan bidai yang mengilap.

• Siap dipasarkan

Para konsumen mendapatkan tikar bidai ini dengan cara mendatangi langsung para perajin untuk selanjutnya dipasarkan. Harga tikar ini bervariasi sesuai ukuran.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047