Ulap Doyo

Tahun
2013
Nomor Registrasi
201300040
Domain
Kemahiran dan Kerajinan Tradisional
Provinsi
Kalimantan Timur
Responsive image

Untuk mendapat kepastian kapan tenun tradisional Ulap Doyo dikenal oleh masyarakat Dayak Benuaq, dapat merujuk kembali latar belakang sejarah masyarakat yang mendiami daerah Tanjung lsuy, Kalimantan Timur. Daerah Tanjung lsuy didiami oleh masyarakat Dayak Benuaq yang berasal dari Suku Lawangan dari Kalimantan Tengah. Suku Lawangan ini hidup berpindah-pindah dan akhirnya sampailah mereka di suatu daerah yaitu Tanjung lsuy. Di daerah ini, Suku Lawangan akhirnya hidup menetap dan menamakan dirinya Dayak Benuaq.

Apabila merujuk hasil studi para ahli yang mengatakan bahwa kegiatan menenun terjadi setelah manusia atau masyarakat hidup menetap dan untuk melakukan kegiatan ini tidak mungkin dilakukan apabila masyarakat hidup berpindah-pindah karena tidak akan memiliki waktu tentunya dapat dipastikan bahwa tenun tradisional Ulap Doyo dikenal oleh masyarakat Suku Lewangan setelah mereka hidup menetap di daerah Tanjung lsuy dan mengidentifikasikan dirinya menjadi Suku Dayak Benuaq.

Sedangkan untuk mengetahui sejak kapan masyarakat Lawangan menetap di Tanjung lsuy tidak ada data atau sumber-sumber terulis yang dapat memberikan gambaran secara pasti. Oleh karena itu, untuk pijakan sejarah perkembangan tenun tradisional Ulap Doyo di masyarakat Dayak Benuaq berdasarkan wawancara dengan para informan di Desa Tanjung lsuy diperkirakan baru berlangsung pada masa tentara Jepang masuk dan menguasai daerah tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa kegiatan menenun yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Benuaq di Desa Tanjung lsuy baru berlangsung sekitar abad ke-20.

Kegiatan pertama pada proses menenun Ulap Doyo adalah menyusun corak dan warna yang diinginkan. Alat yang dipakai untuk menyusun corak dalam bahasa Dayak Benuaq adalah Ngorak Utah yaitu berupa dua buah tiang yang berdiri tegak lurus yang ditancapkan pada sebuah balok kayu berukuran agak besar sehingga dapat berdiri dengan kokoh. Kedua tiang kayu ini dalam bahasa Dayak Benuaq disebut teter dan untuk menjaga kestabilan teter harus dipasang alat bantu yang terbuat dari bambu yang dilubangi di kedua bagian ujungnya. Alat ini dalam bahasa Dayak Benuaq disebut Pe/epuk. Apabila Ngorak Utah sudah terpasang dengan baik barulah benang-benang Doyo disusun dengan rapi pada kedua tiang tersebut dan diikat diujungnya.

Benang-benang Doyo yang telah disusun rapi dan diikat di ujungnya kemudian dibagi kedalam beberapa bagian sesuai dengan jumlah lipatan kain yang diinginkan. Setelah proses ini selesai barulah disusun ke dalam alat pembuat pola. Alat ini terbuat dari kayu ulin yang diberi palangan pada bagian atas dan bawahnya, oleh masyarakat Dayak Benuaq disebut Daaq.

Adapun ukuran alat ini disesuaikan dengan benang yang disusun adalah seperempat dari panjang kain. Sebagai contoh, apabila menginginkan panjang kain 1 meter maka alat ini cukup dengan ukuran 25 cm saja.

Sebagaimana diceritakan oleh ibu Sampurna seorang penenun Ulap Doyo di Desa Tanjung lsuy, apabila proses pengikatan selesai maka benang tersebut dilepaskan dari spandraan pengencang untuk selanjutnya dilakukan proses pewarnaan atau dalam bahasa Dayak Benuaq disebut nyarau. Jika menginginkan warna berbagai macam gabungan warna maka pewarnaan yang pertama adalah yang paling rendah intensitas warnanya. Sebagai contoh apabila menginginkan satu kain Doyo berwarna kuning, hijau, merah dan hitam, maka proses pewarnaan yang pertama adalah warna kuning karena kuning lebih muda dari warna hijau, merah dan hitam. Demikian seterusnya berurutan sesuai dengan intensitas warnanya. Apabila luas permukaan warna tersebut tidak terlalu lebar maka proses ini cukup dilakukan pada saat benang-benang berada di spandraan saja. Selesai proses pewarnaan selain warna hitam, maka masing-masing warna tersebut (kuning, hijau dan merah) diikat sesuai dengan motifnya agar terlindungi dari warna hitam yang dilakukan pada akhir proses pewarnaan. Pewarnaan hitam merupakan warna dasar yang memerlukan bidang luas sehingga benang harus dilepas dari spandraan dan dicelup ke dalam cairan pewarna hitam. Proses pewarnaan ini memerlukan waktu satu malam dan keesokan harinya harus dijemur agar kering dan seluruh ikatan harus dibuka. Apabila sudah kering, benang-benang ini selanjutnya dikencang kembali pada alat pengencang (pengorak). Pada saat benang dikencang harus diteliti kembali untuk melihat motif dan susunannya dari kemungkinan benang putus atau bergeser. Jika proses ini sudah selesai, benang-benang tersebut untuk selanjutnya dipasang alat tenun dan proses menenun pun dapat dilakukan. Untuk benang-benang selang (lungsi) diberi warna hitam sebagai pendukung warna dasar dari kain.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2013

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047