Guro-Guro Aron

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800604
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
Sumatra Utara
Responsive image
Tari Lima Serangkai merupakan tari tradisional yang biasanya ditampilkan dalam kegiatan Gendang Guro-guro Aron. Guro-guro Aron berasal dari kata Guro-guro dan Aron. Guro-guro artinya senda gurau atau bermain, sedangkan Aron artinya muda-mudi (usia tidak dibatasi) dalam satu kelompok kerja berbentuk arisan untuk mengerjakan ladang. Gendang Guro-guro Aron merupakan suatu pertunjukan seni budaya karo yang dilakukan oleh muda-mudi yang terdapat dalam kelompok kerja yang mengerjakan ladang, dengan menampilkan gendang karo dan perkolong-kolong (penyanyi) diiringi tarian yang dilakukan oleh muda mudi. Pada saat pelaksanaan Gendang Guro-guro Aron, keterlibatan unsure kekerabatan masyarakat Karo yang tergabung pada Rakut Si Telu mempunyai peranan yang sangat penting walaupun secara teknis pelaksanaannya dilakukan oleh muda-mudi yang tergabung dalam kelompok aron. Dalam Guro-guro Aron, tari Lima Serangkai merupakan satu tarian yang diiringi lima gendang yaitu gendang morah-morah, gendang perakut, gendang patam-patam sereng, gendang sipajok dan gendang kabangkiung, yang menghasilkan komposisi pola gerak tari dan gerak tersebut memiliki nilai-nilai estetis dalam penyajiannya. Keindahan dalam suatu tarian tidak terlepas dari unsure pembentuk, maka unsure pembentuk tarian tersebut adalah: Gerak endek (gerak naik turun); Gerak jole (gerak goyang badan); dan Gerak lampir tan (gerak kelentikan jari). Dari struktur tari ini ada bagian-bagian gerak yang berkaitan satu dengan yang lainnya dan gerak tersebut dianggap memiliki makna. Bagi masyarakat Karo, gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu. Perlambangan yang dimaksud yaitu menggambarkan makna yang terkandung pada tari Lima Serangkai. Biasanya menceritakan sifat manusia, hubungan dengan individu maupun hubungan dengan kehidupan sosialnya. Tari Lima Serangkai ini menceritakan tentang muda mudi yang bertemu dan ertutur (berkenalan) satu dengan yang lainnya, hingga mereka menjalin hubungan dan menuju perkawinan. Tari Lima Serangkai ditarikan oleh sepasang muda mudi (usia tidak dibatasi), dalam bentuk perkelompok (biasanya 5 pasang muda-mudi). Pertunjukan tari Lima Serangkai menggunakan pakaian adat, bekabuluh (laki-laki) dan uisnipes (perempuan). Pakaian adat akan dipakaikan secara bersama sama setelah semua penari sudah berdiri di atas panggung, sambil memasang pakaian tersebut para penari melakukan endek (gerakan naik turun) sesuai iringan music dalam hitungan tertentu. Bagi penari perempuan uisnipes dilingkarkan dari pundak sebelah kanan menuju bawah lengan sebelah kiri, seperti menggendong anak menggunakan kain panjang. Tetapi dalam hal ini kain yang digunakan adalah kain adat Karo yang disebut uisnipes. Ada dua buah bekabuluh yang digunakan oleh penari laki-laki, yaitu bekabuluh yang sudah terpasang di pundak, dan bekabuluh yang dipegang di depan dada. Bekabuluh yang dipegang di dada, pada saat menariakan dilipatkan di kepala membentuk penutup kepala yang disebut bulang-bulang. Pembentukan bulang-bulang itu akan dilakukan bersamaan dengan penari perempuan yang memasangkan uisnipes dipundaknya yang membentuk kain seperti menggendong anak. Bulang-bulang merupakan bekabuluh yang telah berbentuk menyerupai topi untuk penutup kepala. Dalam Guro-guro Aron, muda-mudi dilatih memimpin, mengatur, mengurus pesta tersebut. Untuk itu ada yang bertugas sebagai penguluaron, bapa aron atau nande aron. Mereka dengan mengikuti Guro-guro Aron ini dipersiapkan sebagai pemimpin desa (kuta) dikemudian hari. Dalam melaksanakan Guro-guro Aron, muda-mudi juga belajar tentang adat Karo. Misalnya bagaimana cara ertutur, mana yang boleh teman menari, mana yang boleh menurut adat atau mana yang tidak boleh dilakukan dan lain-lain. Guro-guro Aron juga berfungsi sebagai alat hiburan bagi peserta dan penduduk kampung. Malahan pada waktu itu penduduk kampung, dan tetangga kampung lain juga biasanya hadir. Dengan diselenggarakannya Guro-guro Aron, maka muda-mudi, yakni anak perana dan singuda-nguda belajar tata rias (metik) guna mempercantik diri. Mereka belajar melulur diri, membuat tudung atau bulang-bulang dan lain sebagainya. Dalam melaksanakan Guro-guro Aron ini, anak perana dan singuda-nguda juga belajar etika atau tata karma pergaulan hidup dengan sesamanya. Guro-guro Aron juga dimaksudkan sebagai arena cari jodoh bagi anak perana dan singuda-nguda. Oleh karena itu ada kalanya pelaksanaannya didorong oleh orang-orang tua, karena melihat banyak perawan tua dan lajang tua di kampungnya.

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047