Maca Syekh

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800668
Domain
Tradisi dan Ekspresi Lisan
Provinsi
Banten
Responsive image
Maca Seh terdiri dari kata “maca” = membaca, dan “Seh” = Syeh, artinya membaca riwayat Syeh Abdul Qodir Jaelani, salah seorang tokoh ulama fiqih, tarekat, dan sufisme yang sangat dihormati oleh kalangan Sunni di seluruh dunia. Bacaan riwayat tersebut ditulis pada sebuah buku dalam bentuk manuskrip (tulisan tangan) yang dalam pengelompokkan ilmu sosial termasuk ke dalam kelompok naskah kuno. Jika seseorang mempunyai maksud tertentu (Sunda : gaduh maksad), misalnya akan membuat rumah, akan mengiusi rumah, atau syukuran atas karunia Tuhan, maka mengundang Pembaca Syeh. Itulah salah satu maksud tradisi Maca Seh ini. Ada syarat yang harus dipenuhi oleh pengundang Maca Seh ini yaitu harus menyediakan sesajian antara lain : air kopi manis, air kopi pahit, nasi kebuli (liwet), bawang merah, cabe merah, telur, air putih, dan beberapa jenis makanan alakadarnya untuk dimakan bersama. Naskah Maca Seh ditulis dalam huruf Arab (Arab Pegon) dengan menggunakan bahasa Jawa, bentuknya adalah wawacan. Wawacan adalah ceritera yang ditulis berdasarkan aturan tertentu yang disebut pupuh. Sajak atau puisi tradisional yang disebut pupuh ini terdiri atas beberapa satuan yang membedakan antara satu pupuh dengan pupuh yanh lain. Umumnya cerita yang berbentuk wawacan ini mengenal sebutan “tujuh belas pupuh”. Satu cerita bisa saja terdiri atas beberapa penggunaan pupuh. Dan satu pupuh yang merupakan sub atau bab dari rangkaian sebuah cerita, dapat pula terdiri atas beberapa buah yang disebut “bait". Demikianlah, sebuah naskah Abdul Qodir Jaelani menurut informasi terdiri atas sekurang-kurangnya 40 bab (pokok cerita) dengan menggunakan beberapa pupuh. Dalam praktiknya tradisi Maca Seh ini tidak dibaca sekaligus tamat, tetapi berlangsung secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu. Biasanya dilakukan semingguy sekali yaitu pada malam Jum’at. Dengan demikian mudah dimengerti apabila seseorang yang berhajat membaca riwayat Seh ini dilakukan dalam tempo 40 kali malam Jum’at. Itu artinya setiap kali membaca dilakukan sebanyak 1 (satu) pupuh (bab). Dahulu, dalam cara membacanyapun dilakukan dengan cara Seni Beluk. Namun saat ini cukup dilakukan oleh seorang saja sebagai pemandunya (pemimpinnya), sementara orang yang berhajat cukup memperhatikan atau mengamininya. Ketika informan memperagakan bagaimana tradisi maca seh dilakukan, maka hal yang terlbih dahulu dilakukan adalah membaca hadiah (sarsilah) dan tahlilan. Membaca doa hadiah untum para karuhun atau leluhur mereka yang dimulai dari Rasulullah SAW, para sahabat, para tabiin, syeh Abdul Qodir Jaelani hingga pendiri Kota Banten. Informan menyebut doa hadiah ini dengan sebutan membaca sarsilah. Setelah itu dilakukan dengan tahlilan, yakni mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia, barulah kemudian pembacaan “Maca Seh” dimulai. Pembacaanpun tidak melulu dalam bahasa Jawa, tapi dilakukan sebagai layaknya seseorang membaca Alqur’an dalam sebuah tayangan televisi. Artinya setelah dibacakan ayat-ayat Alqu’an, maka orang lain bertindak sebagai pembaca sari tilawah. Demikian pula halnya dengan seorang pemimpin Maca Seh : ia melanjutkan syair-syair dalam pupuh tertentu kemudian diterjemahkan dalam bahasa Sunda. Perlu diketahui, bahwa tradisi Maca Seh tidak hanya dibaca secara rutin pada setiap malam Jum’at oleh seseorang yang mempunyai kepentingan tertentu, tetapi seperti disinggung pada awal tulisan terkait pula dengan tradisi lain, misalnya pada tradisi marhaban, yaitu selamatan syukuran dan pemberian nama bayi pada usia 40 hari, selamatan pernikahan, selamatan rumah baru, dan sebagainya masyarakat setempat hampir tidak melupakan tradisi Maca Seh: walaupun pada praktiknya tidak seluruh isi naskah yang dimaksud dibaca hingga selesai. askah tersebut ditulis dalam aksara Arab (Arab Pegon) dengan menggunakan bahasa Jawa. Bentuknya adalah wawacan. Wawacan adalah cerita yang ditulis berdasarkan aturan tertentu yang disebut pupuh. Sajak atau puisi tradisional yang disebut pupuh ini terdiri atas beberapa satuan yang membedakan antara satu pupuh dengan pupuh lain. Oleh karena itulah umumnya cerita yang berbentuk wawacan ini mengenal sebutan 17 pupuh. Satu cerita dapat saja terdiri atas beberapa (penggunaan) pupuh. Dan satu pupuh yang merupakan sub atau bab dari rangkaian sebuah cerita, dapat pula terdiri atas beberapa buah yang disebut bait. Demikianlah, sebuah naskah Abdul Qadir Jaelani, menurut Informan, terdiri atas sekurang-kurangnya 40 bab (pokok cerita) dengan menggunakan beberapa pupuh. Dalam praktiknya, tradisi Maca Seh ini tidak dibaca sekaligus tamat, tetapi berlangsung secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Biasanya dilakukan seminggu sekali yaitu pada malam Jumat. Dengan demikian mudah dimengerti apabila seseorang yang berhajat membaca riwayat Seh ini dilakukan dalam tempo 40 kali malam Jumat. Itu artinya setiap kali membaca dilakukan sebanyak 1 (satu) pupuh (bab). Di dalam cara membacanya pun, dulu kata informan, dilakukan dengan cara seni Beluk. Namun saat ini cukup dilakukan oleh seorang saja sebagai pemandunya (pemimpinnya), sementara orang yang berhajat cukup memperhatikan atau mengamininya. Ketika informan memperagakan bagaimana tradisi Maca Seh dilakukan, maka hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah membaca hadiah (sarsilah) dan tahlilan. Membaca doa hadiah untuk para karuhun atau leluhur mereka yang dimulai dari Rasulullah SAW, para sahabat, para tabiin, Seh Abdul Qodir Jaelani hingga pendiri kota Banten. Informan menyebut doa hadiah ini dengan sebutan membaca sarsilah. Setelah itu dilakukan dengan tahlilanyakni mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia. Barulah kemudian pembacaan "Maca Seh" dimulai. Pembacaannya pun tidak melulu dalam bahasa Jawa, tetapi dilakukan sebagaimana layaknya seseorang membaca Al-Quran dalam sebuah tayangan televisi. Artinya setelah dibacakan ayat-ayat Al-quran, maka orang lain bertindak sebagai pembaca sari tilawah. Demikian pula halnya dengan seorang pemimpin Maca Seh; ia melantunkan sair-sair dalam pupuh tertentu kemudian diterje askah tersebut ditulis dalam aksara Arab (Arab Pegon) dengan menggunakan bahasa Jawa. Bentuknya adalah wawacan. Wawacan adalah cerita yang ditulis berdasarkan aturan tertentu yang disebut pupuh. Sajak atau puisi tradisional yang disebut pupuh ini terdiri atas beberapa satuan yang membedakan antara satu pupuh dengan pupuh lain. Oleh karena itulah umumnya cerita yang berbentuk wawacan ini mengenal sebutan 17 pupuh. Satu cerita dapat saja terdiri atas beberapa (penggunaan) pupuh. Dan satu pupuh yang merupakan sub atau bab dari rangkaian sebuah cerita, dapat pula terdiri atas beberapa buah yang disebut bait. Demikianlah, sebuah naskah Abdul Qadir Jaelani, menurut Informan, terdiri atas sekurang-kurangnya 40 bab (pokok cerita) dengan menggunakan beberapa pupuh. Dalam praktiknya, tradisi Maca Seh ini tidak dibaca sekaligus tamat, tetapi berlangsung secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Biasanya dilakukan seminggu sekali yaitu pada malam Jumat. Dengan demikian mudah dimengerti apabila seseorang yang berhajat membaca riwayat Seh ini dilakukan dalam tempo 40 kali malam Jumat. Itu artinya setiap kali membaca dilakukan sebanyak 1 (satu) pupuh (bab). Di dalam cara membacanya pun, dulu kata informan, dilakukan dengan cara seni Beluk. Namun saat ini cukup dilakukan oleh seorang saja sebagai pemandunya (pemimpinnya), sementara orang yang berhajat cukup memperhatikan atau mengamininya. Ketika informan memperagakan bagaimana tradisi Maca Seh dilakukan, maka hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah membaca hadiah (sarsilah) dan tahlilan. Membaca doa hadiah untuk para karuhun atau leluhur mereka yang dimulai dari Rasulullah SAW, para sahabat, para tabiin, Seh Abdul Qodir Jaelani hingga pendiri kota Banten. Informan menyebut doa hadiah ini dengan sebutan membaca sarsilah. Setelah itu dilakukan dengan tahlilanyakni mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia. Barulah kemudian pembacaan "Maca Seh" dimulai. Pembacaannya pun tidak melulu dalam bahasa Jawa, tetapi dilakukan sebagaimana layaknya seseorang membaca Al-Quran dalam sebuah tayangan televisi. Artinya setelah dibacakan ayat-ayat Al-quran, maka orang lain bertindak sebagai pembaca sari tilawah. Demikian pula halnya dengan seorang pemimpin Maca Seh; ia melantunkan sair-sair dalam pupuh tertentu kemudian diterje askah tersebut ditulis dalam aksara Arab (Arab Pegon) dengan menggunakan bahasa Jawa. Bentuknya adalah wawacan. Wawacan adalah cerita yang ditulis berdasarkan aturan tertentu yang disebut pupuh. Sajak atau puisi tradisional yang disebut pupuh ini terdiri atas beberapa satuan yang membedakan antara satu pupuh dengan pupuh lain. Oleh karena itulah umumnya cerita yang berbentuk wawacan ini mengenal sebutan 17 pupuh. Satu cerita dapat saja terdiri atas beberapa (penggunaan) pupuh. Dan satu pupuh yang merupakan sub atau bab dari rangkaian sebuah cerita, dapat pula terdiri atas beberapa buah yang disebut bait. Demikianlah, sebuah naskah Abdul Qadir Jaelani, menurut Informan, terdiri atas sekurang-kurangnya 40 bab (pokok cerita) dengan menggunakan beberapa pupuh. Dalam praktiknya, tradisi Maca Seh ini tidak dibaca sekaligus tamat, tetapi berlangsung secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Biasanya dilakukan seminggu sekali yaitu pada malam Jumat. Dengan demikian mudah dimengerti apabila seseorang yang berhajat membaca riwayat Seh ini dilakukan dalam tempo 40 kali malam Jumat. Itu artinya setiap kali membaca dilakukan sebanyak 1 (satu) pupuh (bab). Di dalam cara membacanya pun, dulu kata informan, dilakukan dengan cara seni Beluk. Namun saat ini cukup dilakukan oleh seorang saja sebagai pemandunya (pemimpinnya), sementara orang yang berhajat cukup memperhatikan atau mengamininya. Ketika informan memperagakan bagaimana tradisi Maca Seh dilakukan, maka hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah membaca hadiah (sarsilah) dan tahlilan. Membaca doa hadiah untuk para karuhun atau leluhur mereka yang dimulai dari Rasulullah SAW, para sahabat, para tabiin, Seh Abdul Qodir Jaelani hingga pendiri kota Banten. Informan menyebut doa hadiah ini dengan sebutan membaca sarsilah. Setelah itu dilakukan dengan tahlilanyakni mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia. Barulah kemudian pembacaan "Maca Seh" dimulai. Pembacaannya pun tidak melulu dalam bahasa Jawa, tetapi dilakukan sebagaimana layaknya seseorang membaca Al-Quran dalam sebuah tayangan televisi. Artinya setelah dibacakan ayat-ayat Al-quran, maka orang lain bertindak sebagai pembaca sari tilawah. Demikian pula halnya dengan seorang pemimpin Maca Seh; ia melantunkan sair-sair dalam pupuh tertentu kemudian diterje askah tersebut ditulis dalam aksara Arab (Arab Pegon) dengan menggunakan bahasa Jawa. Bentuknya adalah wawacan. Wawacan adalah cerita yang ditulis berdasarkan aturan tertentu yang disebut pupuh. Sajak atau puisi tradisional yang disebut pupuh ini terdiri atas beberapa satuan yang membedakan antara satu pupuh dengan pupuh lain. Oleh karena itulah umumnya cerita yang berbentuk wawacan ini mengenal sebutan 17 pupuh. Satu cerita dapat saja terdiri atas beberapa (penggunaan) pupuh. Dan satu pupuh yang merupakan sub atau bab dari rangkaian sebuah cerita, dapat pula terdiri atas beberapa buah yang disebut bait. Demikianlah, sebuah naskah Abdul Qadir Jaelani, menurut Informan, terdiri atas sekurang-kurangnya 40 bab (pokok cerita) dengan menggunakan beberapa pupuh. Dalam praktiknya, tradisi Maca Seh ini tidak dibaca sekaligus tamat, tetapi berlangsung secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Biasanya dilakukan seminggu sekali yaitu pada malam Jumat. Dengan demikian mudah dimengerti apabila seseorang yang berhajat membaca riwayat Seh ini dilakukan dalam tempo 40 kali malam Jumat. Itu artinya setiap kali membaca dilakukan sebanyak 1 (satu) pupuh (bab). Di dalam cara membacanya pun, dulu kata informan, dilakukan dengan cara seni Beluk. Namun saat ini cukup dilakukan oleh seorang saja sebagai pemandunya (pemimpinnya), sementara orang yang berhajat cukup memperhatikan atau mengamininya. Ketika informan memperagakan bagaimana tradisi Maca Seh dilakukan, maka hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah membaca hadiah (sarsilah) dan tahlilan. Membaca doa hadiah untuk para karuhun atau leluhur mereka yang dimulai dari Rasulullah SAW, para sahabat, para tabiin, Seh Abdul Qodir Jaelani hingga pendiri kota Banten. Informan menyebut doa hadiah ini dengan sebutan membaca sarsilah. Setelah itu dilakukan dengan tahlilanyakni mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia. Barulah kemudian pembacaan "Maca Seh" dimulai. Pembacaannya pun tidak melulu dalam bahasa Jawa, tetapi dilakukan sebagaimana layaknya seseorang membaca Al-Quran dalam sebuah tayangan televisi. Artinya setelah dibacakan ayat-ayat Al-quran, maka orang lain bertindak sebagai pembaca sari tilawah. Demikian pula halnya dengan seorang pemimpin Maca Seh; ia melantunkan sair-sair dalam pupuh tertentu kemudian diterje ika seseorang mempunyai maksud tertentu (gaduh maksad), misalnya membuat rumah, atau sukuran atas karunia Tuhan, atau ingin bertambah rezeki, atau ingin pula mempunyai kelebihan dari orang lain, maka undanglah pembaca "Maca Seh". Begitulah kira-kira maksud dari tradisi Maca Seh ini. Jangan pula dilupakan syarat- syarat yang harus diperhatikan pengundang, yaitu sesajian berupa kopi manis dan kopi pahit, Nasi kabuli (liwet), bawang merah, telur, cabe merah, air putih serta makanan ala kadarnya untuk makan bersama. Naskah tersebut ditulis dalam aksara Arab (Arab Pegon) dengan menggunakan bahasa Jawa. Bentuknya adalah wawacan. Wawacan adalah cerita yang ditulis berdasarkan aturan tertentu yang disebut pupuh. Sajak atau puisi tradisional yang disebut pupuh ini terdiri atas beberapa satuan yang membedakan antara satu pupuh dengan pupuh lain. Oleh karena itulah umumnya cerita yang berbentuk wawacan ini mengenal sebutan 17 pupuh. Satu cerita dapat saja terdiri atas beberapa (penggunaan) pupuh. Dan satu pupuh yang merupakan sub atau bab dari rangkaian sebuah cerita, dapat pula terdiri atas beberapa buah yang disebut bait. Demikianlah, sebuah naskah Abdul Qadir Jaelani, menurut Informan, terdiri atas sekurang-kurangnya 40 bab (pokok cerita) dengan menggunakan beberapa pupuh. Dalam praktiknya, tradisi Maca Seh ini tidak dibaca sekaligus tamat, tetapi berlangsung secara terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Biasanya dilakukan seminggu sekali yaitu pada malam Jumat. Dengan demikian mudah dimengerti apabila seseorang yang berhajat membaca riwayat Seh ini dilakukan dalam tempo 40 kali malam Jumat. Itu artinya setiap kali membaca dilakukan sebanyak 1 (satu) pupuh (bab). Di dalam cara membacanya pun, dulu kata informan, dilakukan dengan cara seni Beluk. Namun saat ini cukup dilakukan oleh seorang saja sebagai pemandunya (pemimpinnya), sementara orang yang berhajat cukup memperhatikan atau mengamininya. Ketika informan memperagakan bagaimana tradisi Maca Seh dilakukan, maka hal yang terlebih dahulu dilakukan adalah membaca hadiah (sarsilah) dan tahlilan. Membaca doa hadiah untuk para karuhun atau leluhur mereka yang dimulai dari Rasulullah SAW, para sahabat, para tabiin, Seh Abdul Qodir Jaelani hingga pendiri kota Banten. Informan menyebut doa hadiah ini dengan sebutan membaca sarsilah. Setelah itu dilakukan dengan tahlilanyakni mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia. Barulah kemudian pembacaan "Maca Seh" dimulai. Pembacaannya pun tidak melulu dalam bahasa Jawa, tetapi dilakukan sebagaimana layaknya seseorang membaca Al-Quran dalam sebuah tayangan televisi. Artinya setelah dibacakan ayat-ayat Al-quran, maka orang lain bertindak sebagai pembaca sari tilawah. Demikian pula halnya dengan seorang pemimpin Maca Seh; ia melantunkan sair-sair dalam pupuh tertentu kemudian diterjemahkan dalam bahasa Sunda. Dalam pada itu tradisi Maca Seh tidak hanya dibaca secara rutin pada setiap malam Jumat oleh seseorang yang mempunyai kepentingan tertentu, tetap

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047