Bedhaya Tejanata Pakualaman

Tahun
2018
Nomor Registrasi
201800699
Domain
Seni Pertunjukan
Provinsi
DI Yogyakarta
Responsive image
Kesenian ini berawal dari sebuah cerita kanjeng Gusti yang ke VII yang akan menikah dengan seorang putri dari solo. Putri solo yang merupakan Putri terkasihya PBXI ( BRA Retna Puwasa), saat proses ini berlangsung situasi sosial di Pakualaman secara politis sedang tidak bagus dan sedang merosot. Jadi, proses pernikahan ini juga merupakan sebuah proses diserahkannya Tejanata ke Pakualaman yang diartikan sebagai sebuah hadiah pernikahan. Teja memiliki makna sebagai sinar dan Nata adalah raja yang secara keseluruhan diartikan sebagai Sinar Raja Solo ( cahaya raja yang memancar) yang kemudian apabila dikaitakan pada proses pernikahan tersebut berarti pancaran sinar itu memancar sampai pada Pakualaman serta merupakan sebuah simbol kewibawaan seorang Raja. Masa PB XI setelah sampai di Pakualaman sudah tidak ditarikan lagi di Surakarta. Jadi kesenian Tejanata ini benar – benar sebuah kesenian tari yang diberikan langsung oleh PB XI. Dalam perkembangan lanjut, BRA Retna Puwasa yang juga seorang penari bedhaya, merawat Bedhaya Tejanata di lingkungan istana Pakualaman, bahkan mengenalkan dan mengajarkan srimpi dan bedhaya surakarta di pura pakualaman. Bedhaya Tejanata sampai sekarang menjadi penanda penting keberadaa tari-tarian klasik di Pura Pakualaman. Di samping keindahan gerakan tarian yang memancarkan kesederhanaan bedhaya dengan dipenuhi pancaran wibawa aura makna, Bedhaya Tejanata juga mengawal suatu momentum, ( 1) Penanda budaya terkait peristiwa monumental, perkawinan antara dua kerajaan penting di tanah jawa; (2) penanda persentuhan dua kekuatan besar gaya tari klasik jawa, Yogyakarta dan Surakarta., yang mengaksentuasikan bahwa mereka berasal dan tetap berada dalam satu rangkum trah Mataram;(3) penanda arti penting adanya keragaman dalam basis budaya internal ( jawa) yang disatukan dalam semangat untuk saling menguatkan. Perkawinan Sri Paku Alam VII- BRA Retno Puwasa ( Putri Sri Susuhunan Paku Buwono X ) pada januari 1909, sering dianggap sebagai titik waktu masuknya tarian Surakarta ke dalam istana Pura Pakualaman. Lepas dari sejarah tersebut, memang masih banyak masyarakat yang melihat bahwa ini adalah seni tradisi tari dari solo, namun solo sendiri tidak merasa bahwa ini adalah gaya solo tutur tutur Ibu Hermien sebagai pemerhati salah satu kesenian Bedhaya ini. Kesenian Tejanata ini telah mengalami beberapa rombakan, di Solo kesenian ini ditarikan oleh sembilan orang penari dan di pakualaman ditarikan tujuh orang penari. Rombakan lainnya ada pada aksesoris dalam koreografi tari yaitu memakai perisai dan keris yang sebelumnya memakain senjata pisau di solo. Namun, seiring berjalannya waktu Kanjeng Gusti tidak menyukai dalam tarian itu memakai senjata, maka kemudian ada perubahan dalam estetika tarian. Misalkan saat adegan perang itu diubah menjadi diubah menjadi komunikasi antar dua orang atau percintaan. Hilangnya aksesoris dalam tarian juga di nilai mempunyai sebuah kisah atau makna komunikasi antara Raja ( PA VII) dengan Solo, baik komunikasi kepada mertuanya, komunikasi PA VII dengan isterinya dan sebagai bentuk gambaran relasi komunikasi PA VII dengan Kesultanan Yogyakarta. Konon, perhelatan upacara ”jangan menir”pada 19 januari 1909 diadakan secara besar-besaran di Pura Pakualaman dengan mengundang Sri Mangkunegara VII dan Sri Sultan Hamengku Buwana VII serta pembesar – pembesar Belanda. Suatu momentum yang tepat buat mempertunjukan Bedhaya Tejanata. Kedudukan Bedhaya Tejanata bila dibandingkan dengan Bedhaya lainnya memang lebih tinggi. Bedhaya Tejanata ini tidak sembarangan untuk di pertunjukan dan ditarikan diluar kraton. Dan, tidak mudah untuk ditarikan oleh sebagian orang, walaupun bedhaya ini masih sering disalah artikan sebagai Bedhaya yang paling mudah. Karena ada faktor – faktor kedalaman yang perlu penari pelajari yaitu Saat menari wajah harus tampak dengan intensitas ekspresi tertentu ( datar dan tetap tenang luruh) dan mampu menahan diri. Bedhaya Tejanata Memperlihatkan keagungan dan wibawa gerak , nyaris tidak mereportase peristiwa apapun. Murni ekspresi rasa gerak untuk pancaran cahaya kewibawaan raja. Pada akhir perjalanan tari, tujuh penari itu tidak undur menggunakan motif gerak kapang – kapang. Mereka geser ke arah kanan pendapa (kiri penonton) dengan bergerak dan bergeser perlahan setelah sebelumnya para penari mencabut dan menebarkan dhadhap ( semacam perisai/ kipas) di tangan kanannya. Alat menari itu mereka bawa sambil bergerak dan bergeser meninggalkan area pertunjukan. Perihal Bedhaya Tejanata, tidak sebatas bagaimana bedhaya itu ditarikan, dimainkan, dan dipergelarkan melainkan juga bedhaya yang memancarkan kewibawaan dalam memaknai, menghayati, dan mengelola keragaman. Yang beda jangan disamakan, yang sama hagan dibedakan. Meski bukan bedhaya pusaka, Bedhaya Tejanata mampu berperan sebagai bedhaya yang berkarakter dan beridentitas khas Pakualaman. Telah terengkuh dalam khazanah kekayaan budaya pemilikannya yang memberi kontribusi kepada masyarakat pengguna dan pendukungnya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Komunitas Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

Maestro Karya Budaya

Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018
   Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya


Kontak kami

  • Alamat
    Komplek Kemdikbud Gedung E Lt 10,
    Jln. Jenderal Sudirman Senayan Jakarta, 10270.
  • Email: kemdikbud.wbtb@gmail.com
  • Telp: (021) 5725047, 5725564
  • Fax: (021) 5725047